Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Intan Marbun Martir, Ahok Tersangka, Negara Alpa?

17 November 2016   11:34 Diperbarui: 17 November 2016   11:48 1393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Lukisan Intan Olivia karya Toni Malakian (Toni Malakian/Facebook) & http://Sumber: KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG

Sumber Gambar: 1, 2

Berbagai tuduhan dan spekulasi liar yang berhembus sebelumnya seolah-olah Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengintervensi kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Basuki Tjahja Purnama (Ahok) tidak terbukti. Presiden menepati janji, sebagaimana berulangkali ditegaskannya, bahwa kasus itu ditangani secara profesional, transparan dan independen oleh kepolisian, dalam hal ini Bareskrim Polri. Penegasan repititif dilakukan untuk memastikan posisinya di hadapan tuduhan tak berujung pangkal dari para lawan politik maupun pembenci Ahok.

Ahok telah ditetapkan sebagai tersangka sejak Rabu, 16 November 2016.  Sebelumnya, Minggu 13 November 2016 sebuah bom molotov dilempar ke halaman gereja Oekumene Samarinda, tepat ketika kebaktian minggu sedang berlangsung dan anak-anak bermain di teras gereja. Bom meledak dan minciderai empat balita. Satunya, Intan Olivia Marbun, setelah dilarikan ke rumah sakit nyawanya tidak tertolong. Tiga perempat bagian tubuh balita cantik yang belum genap tiga tahun itu hangus terbakar.

Bisa dibayangkan betapa menderitanya bayi tak berdosa itu sebelum meregang nyawa. Mengapa harus anak-anak ini menjadi tumbal? Presiden Joko Widodo mengekpresikan simpati dalam:“Tidak ada kata yang dapat menggambarkan betapa dalam rasa duka saya atas meninggalnya Intan. Itu sudah di luar batas kemanusiaan,” demikian Jokowi dalam Siaran Pers Istana Kepresidenan, Selasa (15/11/2016) seperti dilansir Tempo.

Sebelumnya, beredar kabar lewat medsos adanya ancaman bom di sejumlah tempat. Antara lain, di Tangerang dan Batu Malang. Di Kalimantan Barat, Vihara Budi Dharma Singkawang sempat dilempari bom pada Senin (14/11/2016). Kalau gereja dan Vihara menjadi sasaran, apakah mungkin hanya kebetulan saja terkait identitas Ahok, yaitu Kristen dan Cina? 

Mungkin terlalu terburu-buru mengaitkan kedua even itu: teror bom dan kasus tuduhan penistaan agama Ahok. Namun, menganggapnya tidak berhubungan pun sama terburu-burunya. Butuh kerja intelejen untuk menemukan jawaban sesungguhnya. Dan, kita percaya intelejen dan aparat kita sudah punya jawaban itu. Pasalnya, bila kita bersikap seolah-olah tidak terkait, padahal ternyata terkait malah akan berbahaya bagi masa depan kehidupan berbangsa.

Thomas Hobbes, filsuf emperisme asal Inggris pernah menggugat kausalitas itu. Bahwa, dua even bisa saja hanya berurutan tanpa tersambung oleh hubungan sebab-akibat. Kokok ayam dan matahari terbit mungkin contoh ekstrim yang menggambarkan keruntunan dua even tanpa keterhubungan kausal. Tetapi, menganggap api dan asap tidak punya kaitan sebab akibat juga tidak memiliki nalar empirik. Bahkan, alam dan dunia pengalaman keseharian kita di menyajikan banyak contoh adanya sebuah sebab dengan sejumlah akibat beruntun. Permainan domino misalnya.

Ketua DPR-RI, Ade Komarudian (Akom) termasuk yang berpendapat bahwa kedua kejadian itu tidak terkait. Menurutnya, mungkin ada pihak yang memanfaatkan kasus penistaan agama Ahok. “Ini sepertinya ada yang sengaja melakukan ini, mengail di air keruh namanya,” demikian Akom, seperti dilansir Okezone. Selanjutnya, “Bukan ada hubungan, ada yang memanfaatkan situasi, kemarin gereja sekarang vihara, apalagi nanti.” (Sumber)

Betapa pun derita keluarga dan kematian Intan Marbun adalah derita bangsa ini, kita masih perlu bersyukur bila saja kedua kejadian itu tidak terkait. Dan, meski untuk sementara kita mengabaikan kepedihan oleh rasa syukur,  toch kita harus sadari, bahwa negara telah ternyata gagal menciptkan keamanan dan ketertiban bagi warganya. Sehingga mengakibatkan anak-anak yang sedang bermain riang dalam kepolosan, tanpa disadari diincar oleh predator liar berbahaya yang tak terdeteksi sistem negara.

Mengapa kanak-kanak kita bisa dibunuh  di halaman rumah ibadat, bahkan mungkin di rumahnya sendiri? Seorang tanpa hati bisa bebas berkeliaran membawa-bawa bom aktif dan melemparkannya begitu saja di halaman rumah atau tempat keramaian sehingga mencabut nyawa tak bersalah. Kita, orang tua, politisi dan aparat di negeri ini harus malu, sebab tak mampu menjaga dan melindungi anak-anak bangsa ini dari sikap ganas para pembunuh terlatih. Kematian Intan Olivia Marbun merupakan “martir” bagi kebhinekaan NKRI, dan simbol kegagalan negara menciptakan keamanan dan perlindungan bagi warga.

Tetapi, kalau kedua kejadian itu memiliki hubungan sebab akibat, maka proses demokrasi dan kehidupan kebangsaan kita senyatanya dalam ancaman dan kondisi kritis. Sekelompok orang akan terbiasa mendesakkan kepentingan dan memaksakan kebenaran primordialnya dengan metode pengerahan massa plus teror bom dan ancaman anarkis.

Negara dan semua perangkatnya  seolah ditaklukkan oleh massa yang beringas dan menyasar apa pun demi meningkatkan daya tekan mereka. Diberi kelonggaran pada satu tuntutan mereka bergerak ke tuntutan lain, lalu lainnya lagi, dan lagi, hingga berhasil mengambil alih negara. Mereka menyebut itu dengan revolusi damai (????!). Dan, kita tahu bahwa bila terus dibiarkan merupakan manifestasi sempurna anarkisme, dimana secara de facto massa liar berkuasa dan mendikte negara. Negara kehilangan signifikansi dalam kondisi demikian. 

Kita saksikan dengan terang  benderang betapa sejumlah elit negara terlibat langsung dalam pengerahan massa, bahkan ikut berunjuk rasa 4 November 2016 dan berorasi menyemangati dan menginspirasi massa.  Batas antara negara (jabatan mereka sebagai elit politik dan pejabat negara) dengan massa tidak lagi ada. Tidak saja memprovokasi, mereka juga melecehkan simbol-simbol negara. Maka, kesimpulan kita tidak bisa lain kecuali bahwa massa sukses berkonspirasi dengan oknum elit negara, lalu menggerogoti serta melakukan pembusukan dari dalam. Negara untuk batas tertentu telah disusupi musuh real.

Sebagai warga negara kita ingin memastikan kehidupan bernegara tetap berjalan dalam bingkai NKRI. Kita ingin pastikan negara memiliki semacam “mekanisme pertahanan diri” untuk membersihkan elit-elit benalu yang diam-diam maupun terang-terangan “menghisap darah” NKRI dengan rakusnya. Apakah tidak ada regulasi atau kode etik untuk itu membersihkan para benalu ganas itu? Kalau ya, saatnya negara membutuhkannya. Tetapi kalau sudah ada, saatnya ditegakkan setegak-tegaknya! Negara tidak boleh lagi membiarkan agen-agen kerusuhan menyusup, menggunakan fasilitas negara memperkuat kelompok basis mereka lalu balik menyerang negara.  

Kita juga ingin memastikan negara tidak bisa membiarkan kelompok tertentu memaksakan kehendak dan mendikte negara. Teror dan tindakan anarkis harus dihadapi dengan tegas dan keras. Pelecehan simbol-simbol negara, baik Presiden sebagai kepala negara dan aparat negara,  Pancasila, UUD’45, Bhineka Tunggal Ika, dan sebagainya harus segera dihentikan! Hanya dengan cara itu ketertiban bisa diciptakan dan wibawa negara dipelihara. Negara ada untuk melindungi warganya, bukan membiarkan kelompok perusuh membunuh warga lain demi kepentingan sempit mereka.

Kita memiliki harapan karena Presiden telah menjanjikan “sebuah narasi besar” untuk menjamin ketertiban dan keamanan warga negara. Kita belum tahu apa bentuknya. Konsolidasi  Presiden, TNI, Polri dan berbagai komponen bangsa menjadi dasar bangunan berharap kita. Sebagai rakyat kita menaruh kepercayaan penuh pada janji Presiden. Dan dengan semangat menantikannya. Tidak lain harapan kecuali negara menegakkan wibawanya dan menciptakan kehidupan bersama yang aman dan kondusif.

Cukuplah keempat balita di Samarinda menjadi korban keliaran terakhir. Cukuplah seorang Intan Marbun melayang nyawa seolah sebagai martir. Jangan lagi ada intan-intan lainnya. Darah serta nyawa para korban tak berdosa ini akan tetap teroterh di lembaran sejarah peradaban bangsa ini. Jerit tangis dan pekik ketakutan membaur bersama ledak bom memekak akan selalu terngiang di gendang telinga peradaban kita.

Sekali lagi, jangan lagi ada martir lain di kemudian hari. Bahkan pun, bila Ahok harus dikorbankan oleh permainan hukum dan tawar menawar kepentingan, asalkan keliaran dan anarkisme bisa dihentikan di negeri ini, biarlah terjadi demikian. Tetapi pemerintah yang mewakili negara dan telah diberi kepercayaan oleh rakyat, tegakkanlah wibawa negara, lawanlah para perusuh dan pembantai anak-anak bangsa. Mereka bukan hanya musuh negara tetapi musuh-musuh peradaban. Kembalikan peradaban, toleransi, kedamaian dan rasa aman di bumi pertiwi ini.

Tegak dan kuatlah NKRI, merdeka!

Salam Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun