Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Safari Politik Jokowi untuk Apa dan Siapa?

13 November 2016   00:03 Diperbarui: 13 November 2016   11:59 5236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PERIKSA PASUKAN: Presiden Joko Widodo memeriksa pasukan menggunakan tank sebelum memberikan pengarahan kepada pasukan Marinir mengunjungi Markas Korps Marinir Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Cilandak, Jakarta, Jumat (11/11). FOTO: MIFTAHULHAYAT/JAWA POS

Itu pun, dua yang disebut parpol itu seperti diikat dengan rantai kendali yang hanya bergerak menurut kemauan penguasa.  Meski satunya yang esensinya adalah  “parpol plus plus” bergerak bebas, tetapi remote control-nya digenggaman Dewan Pembina, yaitu Presiden.  Setelah peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) 1974, konsolidasi politik Soeharto makin gencar. Seruan back to kampus mengamputasi atau mengkanalisasi gerakan massa mahasiswa dan kaum intelektual sebagai kekuatan utama penggerak parlemen jalanan ke kandang. Gerak massa jadi beku.

Konsolidasi politik Orba terbilang sangat sukses tetapi bersifat apolitis. Ia semata-mata hanyalah pelebaran dari ruang private penguasa. Bahasa kekuasaan dan penaklukan sangat kental. Tentara, Kepolisian, Legislatif, Yudikatif, bahkan pengusaha semuanya didalam genggaman penguasa. Tidak ada yang berbicara atau bergerak diluar kehendak penguasa. Soeharto secara cemerlang memperkuat posisi negara. Tetapi di sisi lain mengamputasi samasekali civil society

Penyeragaman kosa kata politik dikawal dan diawasi ketat. Sampai-sampai ada gurauan, “bila Soeharto masuk dalam sebuah ruang pertemuan dan terdengar seseorang batuk, akan diinvestigasi apakah batuknya itu politis atau memang murni gangguan kesehatan.” Kalau politis (dalam pandangan penguasa), akan diamankan. Frase “diamankan” tentu bersifat sarkastis, yang artinya justru membuat tidak aman. “Batuk” hanyalah metafora untuk menjelaskan akibat yang timbul bila muncul dinamika diluar kontrol penguasa. Soeharto jelas menciptakan sistem pemerintahan otoriter/totaliter yang merepresentasi penaklukan total negara atas civil society.

Maka, tidak heran kalau akhirnya memuncak pada gerakan massa besar-besaran tahun 1998 yang berhasil memaksa Soeharto mengundurkan diri. Endapan-endapan emosi massa yang berpencaran dan tercabik-cabik menggumpal lalu meledak dan melahirkan rezim baru, yaitu orde reformasi. Euforia reformasi tumpah ruah dan hampir menenggelamkan negara. Tarik menarik kepentingan, teriakan riuh dan rusuh membaur. 

Tokoh dan massa tidak beda, politisi dan korupsi membaur, menyebar ke seluruh organ birokrasi dan lembaga negara. Kebebasan membuncah kebablasan dan liar. Negara banyak kali kehilangan kendali, juga absen dalam banyak sektor kehidupan masyarakat, sementara para elit banyak yang hanya sibuk memperkaya diri.Tegangan Civil Society menjadi terlalu kuat hingga mengatasi negara, menciptakan ketidakseimbangan baru dari totalitarianisme (di era Orba) ke Anarkisme. Sebuah kegagalan lagi membangun ruang publik berkeadaban.

Di era kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyon (SBY), yang muncul sebagai Presiden pertama pilihan rakyat dengan dukungan pemilih 60-an% (dipilih hampir 70 juta pemilih), sebenarnya penguasa mengantongi modal politik yang amat kuat untuk memperbesar kekuatan state. Namun, SBY terkesan tak mampu mengelola modal potensil (di tingkat massa) tersebut, juga gagal mengkonsolidasi kekuatan-kekuatan politik di tingkat elit. Koalisi pemerintah yang dibangunya compang camping, anggotanya tak kompak dan saling sikut mempreteli. Tidak heran bila dalam kepemimpinannya ia sempat disebut “auto pilot,” seolah negara tidak ada pemimpin. Negara terlihat mati lemas dihadapan euforia kekuatan massa yang mengganas.

Gelombang eforia ini masih menghempas dan menebas hingga pilpres 2014.  Gelombang ini berhasil mempromosikan sejumlah elit demonstran jalanan 1998 ke pos-pos kekuasaan di era reformasi. Namun, sebagai produk jalanan, meski mereka sudah duduk di kursi-kursi empuk kekuasaan, dengan tata krama dan landasan hukum publik yang tersedia, mereka masih cenderung berperilaku sebagai “orang jalanan” yang terbiasa berteriak tanpa aturan. Demokrasi berkembang menjadi kerumunan liar yang saling meneriaki dan memaki. 

Politisi kehilangan orientasi dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan, lalu ikut membuat gaduh menggangu eksekutif yang sibuk bekerja. Kelompok-kelompok masyarakat bangkit mendesakkan kepentingan primordialnya ke ruang publik, saling bersaing dan menghabisi. Orang dengan mudahnya merendahkan martabat pimpinan negara, melecehkan simbol-simbol negara, menganggap diri paling mampu tanpa bukti rekam jejak yang dirujuk, dan sebagainya. Negara kehilangan daya dan membiarkan massa seenaknya menghujat dan melecehkan.Anarkisme sejati bertumbuh subur.

Gelombang besar unjuk rasa kelompok Islam pada 4 November 2016 yang tercatat sebagai salah satu pengarahan massa terbesar pasca reformasi 1998 merupakan campur aduk para ulama, umat dan masyarakat awam, profesor, mahasiswa, Ormas, anggota DPR, dan mungkin PNS, juga elit politik yang disinyalir ikut bermain di latar depan maupun belakang. 

Emosi massa juga campur aduk antara murni memperjuangkan martabat agama, niat mendiskualifikasi salah satu paslon (tepatnya Basuki Tjahaja Purnama), mengganggu posisi dan kepemimpinan Presiden Jokowi, bahkan sampai kemungkinan motif ideologis yang berpotensi mengancam fondasi kehidupan berbangsa.  Ini salah satu puncak dari “struktur” keliaran massa yang mengatasi wibawa negara.

Konsolidasi politik selalu menghasilkan kekuatan dahsyat. Sumber-sumber energi potensil di level massa dan kekuatan politik di tingkat elitditertibkan dan dikonsolidasi dalam satu kekuatan kontrol, yaituPresiden. Ini modal yang sangat besar. Seperti tongkat ajaib di tangan pesulap, ia dapat membuat segala sesuatu disekitarnya bercahaya dan penuh tawa, tetapi juga bisa menjadikannya hitam pekat dan penuh duka. Idealnya, modal politik besar itu disenergikan untukmembangun dan  menggerakkan bangsa melaju kencang meraih tujuan-tujuan ideal kehidupan bernegara atau tujuan nasional.Intinya, agar menjawab cita-cita proklamasi sebagai sekadar jembatan emas bagi tercapainya kehidupan yang adil, makmur, damai sentosa dan berkeadaban!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun