Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Aksi Membela Islam atau Membela Politik?

16 Oktober 2016   18:57 Diperbarui: 17 Oktober 2016   09:24 1416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rizieq Shihab sedang berorasi di atas sebuah mobil saat berlangsungnya unjuk rasa di Jakarta, 14 Oktober 2016. FOTO/Avit Hidayat

Fragmen penistaan agama yang dituduhkan sebagian penganut Muslim radikal terhadap Ahok makin memasuki adegan klimaks. Tegangan demi tegangan bermunculan. Setelah tuntutan supaya Ahok minta maaf dipenuhi, diikuti penyamapaian sikap MUI, lalu diskusi di ILC yang memanas, kini muncul tuntutan  supaya Ahok ditangkap polisi.  

Babakan baru ini berbentuk demontrasi massa  yang mengusung tema “Aksi Membela Islam.” Tujuan pokok aksi ini sesungguhnya adalah supaya Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) tidak maju di Pilkada DKI 2017. Aksi yang dipelopori Habieb Risieq dan Front Pembela Islam (FPI) ini dinamai aksi damai. Namun, gaya dan isi tuntutan tak sepenuhnya  menyiratkan substansi damai.  Bagaimana mungkin, dalam aksi keluar seruan menggelegar bernada ancaman akan membunuh Ahok. 

Seperti dikutip Tempo.co (14/10/16): “Ketua FPI Muhammad Rizieq Shihab menuntut agar kepolisian menangkap dan memenjarakan Ahok atas kasus penistaan agama. Jika tidak, Rizieq akan membawa ribuan massa mendatangi Balai Kota dan membunuh Ahok. Mereka menganggap Ahok telah menghina umat muslim di seluruh dunia.” Wah, sudah disebut damai saja ada ancaman membunuh, apalagi tak damai? Dan, sungguhkah ini wajah agama?

Tulisan saya sebelumnya menyebutkan bahwa intensi para pembajak agama bukanlah menghidupkan substansi agama bagi kemslahatan banyak orang. Melainkan sekadar menunggangi agama bagi kepentingan politik. Dalam kasus Ahok, mereka  berusaha menggeser esensi dari “pelecehan terhadap pembajak” kepada “pelecehan agama.” 

Substansi pidato Ahok di Kepulauan Seribu jelas melecehkan para pembajak agama, yang terbiasa menuggangi agama demi meraih kepentingan-kepentingan sempit. Mereka sejatinya petualang kuasa berwajah religius. Semacam singa berbulu domba. Sebagai catatan, yang dimaksud di sisni bukanlah para tokoh agama, melainkan setiap orang yang bertendensi memanfaatkan agama bagi kepentingan politik.

Upaya menggeser isu itu sukses. Sebuah kreasi momen dimana para pembajak agama mengkalibrasi kepentingan dengan kepentingan kelompok Islam radikal macam FPI dan Amien Rais. Dengan itu mereka bisa bersembunyi sambil merayakan kesuksesannya memprovokasi massa untuk memaksakan kepentingan politik mereka, sambil menunggu saat memanen hasilnya.

Berdasarkan substansi tuntutan aksi, sulit menghindari kesimpulan kentalnya nuansa politik ketimbang religius. Tuntutan yang sama sudah pernah diajukan kelompok ini pada tahun 2014, yang ketika itu mendesak mekanisme pemilihan Gubernur lewat DPRD, dan menuntut Ahok mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai Gubernur maupun Wakil Gubernur DKI (Sumber)  Meski dalam demonstrasi Jumat (14/10/16) beberapa kali ditekankan tidak ada kaitan dengan Pilkada DKI 2017, namun isi tuntutan bagaikan lagu lama yang dinyanyikan berulang-ulang, terang benderang punya muatan Pilkada DKI.

Pertama; dengan gaya meledak-ledak dan kata-kata yang juga jauh dari santun itu menuntut penangkapan Ahok. Frase ini sengaja saya gunakan untuk menegaskan bahwa kritik terhadap kekasaran dan ketidaksantunan Ahok bagaikan cermin bagi diri sendiri. Bedanya, Ahok tidak merusak fasilitas publik seperti taman balaikota, dan meninggalkan tumpukan sampah di sekitaran balaikota. Bisa dinilai sendiri, apakah gaya demikian lebih bersifat religius atau politis?

Kedua; isi tuntutannya adalah supaya Ahok ditangkap. Ahok seolah sudah divonis bersalah sebagai penjahat. Jadi, tuntutan demonstran adalah supaya vonis mereka atas Ahok dieksekusi oleh aparat hukum, institusi negara. Ini sebuah kecerdikan lain yang jelas nuansa politiknya begitu kental.  Juga, simak pernyataan Habieb Rizieq: “Jika ada Cagub yang mencuri atau memperkosa atau menggunakan narkoba atau menganiaya atau menista agama, maka tetap harus diproses hukum, bahkan harus disegerakan dan diprioritaskan sebelum Pilkada digelar, agar didiskualifikasi oleh KPU dari pencalonan (oh..oh..kamu ketahuan!)

Ketiga; mereka mengintervensi kepolisian dengan meminta kepolisian jangan diintervensi. Habieb Rizieq menyatakan akan mengawal proses supaya kepolisian tidak diintervensi. Maksudnya supaya memastikan Ahok diproses dan ditangkap. Sebuah tindakan yang esensinya sudah mengintervensi kepolisian. Dan, itu jelas tindakan politik.

Di mana Posisi Dua Paslon?

Diamnya para pesaing pasangan calon (paslon) Ahok-Djarot bisa dibaca sebagai bentuk dukungan kepada isi tuntutan kelompok radikal. Yang jelas, kedua paslon mengambil manfaat dari aksi tersebut. Sebagai pesaing, cara paling efektif untuk menang atas petahana adalah mencegahnya maju di Pilkada. Adu kinerja dan program jelas terasa amat berat. Juga adu rekam jejak. 

Sikap mem-walk-out-kan pesaing guna memenangkan perlombaan tak sportif  dan ciri pecundang. Apalagi, PAN sebagai partai besutan Amien Rais memang pendukung paslon Agus-Sylvi makin mempertegas “kewajaran” sikap tak sportif itu. Dalam orasinya, Amien Rais dengan lantang menyatakan, “semoga dengan adanya aksi ini Ahok segera mundur, PDIP punya kader lebih baik dari Ahok. Kenapa harus Ahok hok..hok..hok..” ucap Amien Rais yang disambut takbir peserta demo.  Entah apa yang membuat Amien Rais merasa perlu mendikte PDIP?  

Dalam diskusi ILC Jumat 11 Oktober 2016 kita juga sudah mendengar pandangan para pendukung kedua paslon, seperti Fadli Zon, Fahri Hamzah dan lainnya menunjukkan posisi politik mereka. Tentu saja tidak logis mengharapkan pandangan kedua paslon mendukung Ahok. Namun, pandangan kritis mereka akan membantu masyarakat mengukur kadar nasionalisme kedua paslon. Sikap diam menggambarkan karakter lemah yang hanya ingin mengail di air keruh.  

Implikasi politik dan Catatan Kritis

Apa impilikasi logis dari tuntutan Amien Rais dan Habib Rizieq ini? Meskipun atas nama konstitusi saya yakin aparat negara tidak akan menyikapi kasus ini dalam persepektif demonstran. Seberapa banyak pun gelombang demonstrasi dilakukan lagi (seperti ancaman Habieb Rizieq), aparat hukum akan bertindak dalam kerangka konstitusi.  Pada tulisan saya sebelumnya, saya sudah tegaskan bahwa dalam persinggungan antara teks suci agama dan teks suci negara perspektif aparat akan berdiri teguh di atas konstitusi.

Implikasi logis dari tuntutan Profesor (politik) Amien Rais dan sohib seideologinya Habieb Rizieq perlu dipertimbangkan. Dengan tidak diikutkannya Ahok dalam pilkada DKI 2017 menunjukkan bahwa desakan kepentingan yang promordial menang atas kepentingan negara. Ini akan menjadi modal besar bagi gerakan radikalis. Lalu, modus yang sama sangat potensil dilanjutkan ke daerah lain. 

Awalnya, daerah-daerah yang mayoritas Muslim, tetapi kemudian, “karena sudah berhasil menunggangi negara” akan dipaksakan juga ke daerah-daerah non Muslim seperti Papua, Sulawesi Utara, dan NTT. Ini sebuah alur logis sederhana yang mudah dipahami. Tuan Profesor Amien Rais dan teman-temannya tentu paham implikasi ini.  Dan, itu berarti NKRI dalam ancaman nyata.

Sebagai kritik, bila tujuannya membela Islam sesuai tagline aksinya, saya ternyata gagal melihat nuansa religius dari “ritual” demonstran ini. Yang terlihat nyata adalah tuntutan supaya DKI harus dipimpin seorang Gubernur beragama Islam. Kalau demikian, siapa yang berkeberatan? Sah saja. Mekanisme konstitusi memberi ruang luas bagi semua warga negara. 

Pun, sejak awal proses semua elemen masyarakat telah menempuh jalur konstitusi itu. Termasuk Kelompok FPI dan aliran Islam radikal lainnya, Yusril Ihza Mahendra dengan inovasi intrik dan triknya, juga Amien Rais, menggunakan semua jalur konstitusi yang tersedia. Lewat konvensi gubernur pada Februari 2016  Habib Rizieq bersama  MTJP (Majelis Tinggi Jakarta Beryariah) dan sejumlah ormas Islam telah ikut melakukan penjaringan calon Gubernur untuk diikutkan dalam Pilkada DKI 2017. Pun, FPI pernah mengangkat Gubernur Tandingan yaitu Kiai Haji Fahrurozi Ishaq per 1 Desember 2015.  Artinya, sudah banyak upaya digunakan Rizieq dan faksinya dalam upaya merintis jalan menuju kemimpinan DKI.

Penetapan tiga paslon di Pilkada DKI 2017 merupakan hasil akhir dari proses panjang, dimana semua elemen masyarakat telah mengikutinya. Dengan kata lain, ketiga paslon yang telah ditetapkan KPUD tanggal 23 September 2016 ini merupakan “konstetan unggulan” yang lolos dari sejumlah babakan penyaringan politik.  Lainnya telah gagal dan gugur. Itulah tahapan proses dalam Pilkada.

Kegagalan kelompok radikal dan Amien Rais meloloskan kader (berkualitas) di konstetasi Pilkada 2017 itulah yang hendak dicoba dengan cara lain. Yaitu, mendesakkan aspirasi politik lewat cara-cara non-prosedural, namun memiliki justifikasi politis yang niscaya. Dari ketiga paslon yang ada, mereka terpaksa memilih dua lainnya, yaitu antara Agus-Sylvi atau Anies-Sandi. Tidak percaya diri pada kualitas paslon itulah yang membuat mereka mencoba jalan pintas, dengan menunggangi agama memaksa negara menggugurkan  atau mendiskualifikasi petahana dari konstetasi Pilkada. 

Sebagai simpulan, negara sudah seharusnya memproses kasus ini dengan kacamata konstitusi. Dalam negara demokrasi, tuntutan setiap elemen masyarakat kepada negara sah sebagai bentuk partisipasi politik. Hakikatnya semua tuntutan dan artikulasi kepentingan ditujukan untuk memengaruhi keputusan politik. Itu wajar, bahkan dibutuhkan. Tugas nNegara memrosesnya menurut sistem kontitusi yang ada, lalu memastikan semua bentuk dinamika dan pasrtisipasi politik itu memperkuat kehidupan bernegara.  

Bentuk partisipasi politik yang disuarakan Habieb Rizieq, dkk lewat aksi 14 Oktober 2016 itu jelas sebuah tuntutan politik. Sebuah gerakan untuk membela kepentingan politik faksi kekuasaan di Pilkada DKI 2017, bukan kepentingan agama.

 Salam Kompasiana!                                                 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun