Diamnya para pesaing pasangan calon (paslon) Ahok-Djarot bisa dibaca sebagai bentuk dukungan kepada isi tuntutan kelompok radikal. Yang jelas, kedua paslon mengambil manfaat dari aksi tersebut. Sebagai pesaing, cara paling efektif untuk menang atas petahana adalah mencegahnya maju di Pilkada. Adu kinerja dan program jelas terasa amat berat. Juga adu rekam jejak.
Sikap mem-walk-out-kan pesaing guna memenangkan perlombaan tak sportif dan ciri pecundang. Apalagi, PAN sebagai partai besutan Amien Rais memang pendukung paslon Agus-Sylvi makin mempertegas “kewajaran” sikap tak sportif itu. Dalam orasinya, Amien Rais dengan lantang menyatakan, “semoga dengan adanya aksi ini Ahok segera mundur, PDIP punya kader lebih baik dari Ahok. Kenapa harus Ahok hok..hok..hok..” ucap Amien Rais yang disambut takbir peserta demo. Entah apa yang membuat Amien Rais merasa perlu mendikte PDIP?
Dalam diskusi ILC Jumat 11 Oktober 2016 kita juga sudah mendengar pandangan para pendukung kedua paslon, seperti Fadli Zon, Fahri Hamzah dan lainnya menunjukkan posisi politik mereka. Tentu saja tidak logis mengharapkan pandangan kedua paslon mendukung Ahok. Namun, pandangan kritis mereka akan membantu masyarakat mengukur kadar nasionalisme kedua paslon. Sikap diam menggambarkan karakter lemah yang hanya ingin mengail di air keruh.
Implikasi politik dan Catatan Kritis
Apa impilikasi logis dari tuntutan Amien Rais dan Habib Rizieq ini? Meskipun atas nama konstitusi saya yakin aparat negara tidak akan menyikapi kasus ini dalam persepektif demonstran. Seberapa banyak pun gelombang demonstrasi dilakukan lagi (seperti ancaman Habieb Rizieq), aparat hukum akan bertindak dalam kerangka konstitusi. Pada tulisan saya sebelumnya, saya sudah tegaskan bahwa dalam persinggungan antara teks suci agama dan teks suci negara perspektif aparat akan berdiri teguh di atas konstitusi.
Implikasi logis dari tuntutan Profesor (politik) Amien Rais dan sohib seideologinya Habieb Rizieq perlu dipertimbangkan. Dengan tidak diikutkannya Ahok dalam pilkada DKI 2017 menunjukkan bahwa desakan kepentingan yang promordial menang atas kepentingan negara. Ini akan menjadi modal besar bagi gerakan radikalis. Lalu, modus yang sama sangat potensil dilanjutkan ke daerah lain.
Awalnya, daerah-daerah yang mayoritas Muslim, tetapi kemudian, “karena sudah berhasil menunggangi negara” akan dipaksakan juga ke daerah-daerah non Muslim seperti Papua, Sulawesi Utara, dan NTT. Ini sebuah alur logis sederhana yang mudah dipahami. Tuan Profesor Amien Rais dan teman-temannya tentu paham implikasi ini. Dan, itu berarti NKRI dalam ancaman nyata.
Sebagai kritik, bila tujuannya membela Islam sesuai tagline aksinya, saya ternyata gagal melihat nuansa religius dari “ritual” demonstran ini. Yang terlihat nyata adalah tuntutan supaya DKI harus dipimpin seorang Gubernur beragama Islam. Kalau demikian, siapa yang berkeberatan? Sah saja. Mekanisme konstitusi memberi ruang luas bagi semua warga negara.
Pun, sejak awal proses semua elemen masyarakat telah menempuh jalur konstitusi itu. Termasuk Kelompok FPI dan aliran Islam radikal lainnya, Yusril Ihza Mahendra dengan inovasi intrik dan triknya, juga Amien Rais, menggunakan semua jalur konstitusi yang tersedia. Lewat konvensi gubernur pada Februari 2016 Habib Rizieq bersama MTJP (Majelis Tinggi Jakarta Beryariah) dan sejumlah ormas Islam telah ikut melakukan penjaringan calon Gubernur untuk diikutkan dalam Pilkada DKI 2017. Pun, FPI pernah mengangkat Gubernur Tandingan yaitu Kiai Haji Fahrurozi Ishaq per 1 Desember 2015. Artinya, sudah banyak upaya digunakan Rizieq dan faksinya dalam upaya merintis jalan menuju kemimpinan DKI.
Penetapan tiga paslon di Pilkada DKI 2017 merupakan hasil akhir dari proses panjang, dimana semua elemen masyarakat telah mengikutinya. Dengan kata lain, ketiga paslon yang telah ditetapkan KPUD tanggal 23 September 2016 ini merupakan “konstetan unggulan” yang lolos dari sejumlah babakan penyaringan politik. Lainnya telah gagal dan gugur. Itulah tahapan proses dalam Pilkada.
Kegagalan kelompok radikal dan Amien Rais meloloskan kader (berkualitas) di konstetasi Pilkada 2017 itulah yang hendak dicoba dengan cara lain. Yaitu, mendesakkan aspirasi politik lewat cara-cara non-prosedural, namun memiliki justifikasi politis yang niscaya. Dari ketiga paslon yang ada, mereka terpaksa memilih dua lainnya, yaitu antara Agus-Sylvi atau Anies-Sandi. Tidak percaya diri pada kualitas paslon itulah yang membuat mereka mencoba jalan pintas, dengan menunggangi agama memaksa negara menggugurkan atau mendiskualifikasi petahana dari konstetasi Pilkada.