“Ampun tuan, kisahnya baru akan berakhir. Ijinkan hamba melanjutkan,” demikian Nathan memohon.
“Ya, tetapi segeralah memberikan jawaban!”
“Baik tuan ku. Ketika anak sulung datang menghadap, raja pun memberkatinya, mengambil cincin dan memasukannya ke jari manisnya. Demikian pula, ketika pangeran nomor dua menghadap, ia lakukan hal yang sama. Pun, pangeran bungsu dikenakan cincin di jari manisnya. Lalu, mangkatlah sang raja.”
“Jawablah pertanyaan ku, Nathan!”, Salahuddin membentak, makin tak sabar.
“Segera, tuan ku. Begitu raja wafat, ketiga pangeran masing-masing hendak mengenakan mahkota di kepala dan menduduki singgasana dengan menunjukkan ‘cincin kerajaan’ sebagai bukti telah dipilih sang ayah sebagai pewaris takhta. Sengketa pun tak terhindarkan. Kerajaan terancam terbelah tiga.”
“Akhirnya, ketiganya membawa kasus sengketa itu ke pengadilan. Di pengadilan sang hakim mendengar kesaksian ketiganya. Sama-sama bersekukuh, bahwa cincin yang dikenakan merupakan pemberian langsung raja, sambil menuduh saudaranya mengenakan cincin palsu, pembohong, dan haus kuasa.
“Mendengar itu, hakim berkata, ‘kasus yang kalian adukan ini terlalu pelik. Pengadilan bukanlah tempat untuk menjawab teka-teki mana diantara ketiga cincin ini yang asli dan mana palsu. Tetapi, bukankah seharusnya siapa pun yang mengenakan cincin asli memiliki karakter baik, berwibawa, jujur, sabar dan penuh cinta kasih?’
Salahuddin nampak mulai maklum, menduga akhir kisah, lalu dengan tatapan bijak berkata, “lanjutkan, sahabat ku, Nathan.”
“Karena itu, baiklah kalian bertiga pulang dan memerintah di tempat masing-masing. Buktikan lewat karakter kepemimpinan, apakah cincin yang kalian kenakan itu asli atau palsu. Suatu waktu di masa depan, akan ada seorang hakim maha adil dan maha bijaksana, yang duduk di kursi ku ini, dan akan memutuskan perkara ini dengan seadil-adil dan sebenar-benarnya.”
“Demkianlah tuan ku Salahuddin, tuan kah hakim bijaksana yang dimaksud? Nathan mengakhiri ceritanya.
“Nathan, saudara ku,” sahut Salahuddin, sambil berdiri dan berjalan ke arah Nathan, memeluknya erat-erat dan penuh kasih. “Baiklah kita menunggu, hingga hakim mu itu tiba untuk memberi jawab.