Atas dasar di atas, dengan ditopang “rekam jejak serta orientasi” ketiga paslon, juga “garansi” ketiga kingmakers di baliknya, patut diharapkan sebuah kampanye yang diwarnai adu program, adu strategi, kemampuan berorasi untuk meyakinkan publik, serta adu rekam jejak dan hal positif-edukatif lainnya. Sebuah kampanye yang jauh dari black campaign, kampanye negatif, nuansa SARA, dan sejenisnya.
Dalam “gaya kampanye Pancasilais” ini, yang perlu dikendalikan adalah ketidakmampuan tim menahan godaan untuk kembali terjebak melakukan kampanye gaya lama. Semua itu kontraproduktif. Berdasarkan pengalaman, person-person dalam sejumlah partai politik biasanya tidak bisa tahan diri. Tidak hanya partai-partai berbasis Islam, melainkan juga oknum-oknum di parpol lainnya termasuk parpol berideologi nasionalis, sangat kerap melakukan kampanye zaman primitif itu. Faktor inilah yang ikut berkontribusi bagi “jatuhnya” salah satu paslon.
Bagaimana pun kita patut berharap, semoga para tim kampanye dan masa pendukung dapat dikendalikan oleh ketiga paslon serta “ketiga jenderal pendukungnya” sedemikian sehingga kampanye pilkada DKI 2017 benar-benar berjalan sesuai dengan idealisme kita. Lalu, menjadi model bagi politik pilkada di negeri ini, sekarang dan di masa depan. Semoga!
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H