Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wajah Korupsi di Panggung DPD: Ngeri-ngeri Tak Sedap!

21 September 2016   20:53 Diperbarui: 21 September 2016   22:21 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jenis kesesatan nalar itulah yang dilakukan oleh yang terhormat anggota DPR, tuan Fahri Hamzah. Masih dari Suara.com  Fahri melanjutkan penjelasannya, bahwa orang tua IG juga pengusaha terhormat. Bahkan sejak kakeknya sudah kaya. Dengan itu, Fahri menegaskan, “Dia (Irman) tidak boleh dikategorikan sebagai orang jahat. KPK itu tidak bisa membedakan mana yang disebut dengan kejahatan, mana yang disebut kekeliruan, kesalahan.”

Tidak ada pretensi meragukan kebaikan dan kekayaan IG. Saya toh tidak kenal sama sekali kecuali melalui media. Tetapi, menggunakan “fakta aksidental” itu (kaya, terhormat) sebagai dasar untuk menggugurkan fakta “tangkap tangan KPK” jelas sesat nalar. Kenyataan kebaikan dan kekayaan Iman Gusma tidak dapat menghilangkan fakta tertangkap tangan menerima uang. Jumlahnya pun tidak ada hubungan, karena yang menjadi alasan ditangkap bukanlah jumlah melainkan tindak kejahatan korupsi atau grafitasinya.

Bentuk kesesatan ini kerap bermain di pikiran kebanyakan orang, terutama bila terkait dengan orang-orang berpengaruh, orang yang punya otoritas, bahkan Tuhan. Para politisi dan pebisnis kerap memanfaatkan dengan baik kesesatan ini. Misalnya, korupsi yang dilakukan dalam “bisnis perhajian,”dan kejahatan terkait yang berbau agama jelas bermain dalam hukum logika sesat ini. “Masak sih,  urusan agama dan Tuhan atau hal-hal kerohanian disimpangkan?? Masak sih, dia ulama besar akan lakukan korupsi atau pelecehan seksual? Masak sih, orang baik dan relijius seperti dia akan ingkar janji? Kan ga mungkin!”

Demikian seterusnya!Tidak mengherankan, kalau di musim kampanye Pileg, Pilkada, atau Pilpres kita banyak mendengar para kandidat begitu fasih mengutib-ngutib ayat suci, membawa-bawa nama tuhan, dan sejenisnya. Dengan membawa otoritas kitab suci dan tuhan, mereka berharap fakta pokok terkait posisi mereka seperti rekam jejak, kinerja, dan lainnya yang sebenarnya buram, dapat tersembunyikan dengan rapih.  

Itulah kesesatan nalar. Para pembela IG berargumentasi dalam hukum nalar sesat ini. Akibatnya, terlihat upaya sengaja mengaburkan fakta pokok dengan menghamburkan fakta lain. Dan, ini menyadarkan kita, betapa korupsi yang kita sepakati sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), ternyata juga dilindungi secara luar biasa oleh para elit yang katanya terhormat itu.

Kalau demikian, kapan korupsi bisa diatasi? Apa yang bisa kita harapkan dari para elit senator di DPD dan DPR terkait pengentasan korupsi? Haruskan DPD tetap dipimpin oleh yang terhormat tuan Irman Gusman? Nampak korupsi menampilkan wajah yang makin mengerikan. Ngeri-ngeri tak sedap!

Salam Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun