Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wajah Korupsi di Panggung DPD: Ngeri-ngeri Tak Sedap!

21 September 2016   20:53 Diperbarui: 21 September 2016   22:21 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua DPD RI Irman Gusman keluar dari gedung KPK Jakarta menuju ke mobil tahanan KPK usai diperiksa, Sabtu (17/9/2016) (TRIBUNNEWS/HERUDIN)

Menyaksikan diskusi korupsi Irman Gusman  (IG) di ILC, rasanya menyaksikan parodi korupsi dalam sebuah pentas. Saya sebut parodi, bukan hanya karena penuh paradoks, kental ironi, sinis (cynical), satire, tetapi juga penuh aroma falaccy. Logika dan nalar dibolak-balik untuk menyimpangkan esensi. Tidak terlalu salah disebut sebuah pentas banyolan tak lucu yang diperankan oleh orang-orang terhormat di negeri Panacasilais ini, yang menikmati fasilitas dan gaji istimewa berlipa-lipat atas status terhormat itu!   

Kita awali dari ruang Rapat Paripurna DPD di gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Senayan. Seperti dilaporkan media, rapat diwarnai perdebatan sengit antar yang mendukung pemberhentian IG dan yang tidak.  Perdebatan terjadi karena Badan Kehormatan DPD memutuskan memberhentikan IG sebagai Ketua DPD. Kelompok pro IG berargumentasi bahwa IG belum terbukti bersalah. Bayangkan, sudah terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK masih dianggap belum tentu bersalah?? 

Ini logika macam apa? Demikiankah nalar para senator terhormat kita? Bahkan, ketika Surat KPK tentang penetapan tersangka bagi IG dibacakan pun kelompok pro IG tetap bersikeras tidak setuju IG diberhentikan. Hebatnya pula, sang ketua, tuan IG yang sudah sementara ditahanan KPK pun menolak diberhentikan oleh DK!!!!?? Seorang yang telah jadi pesakitan (tersangka) masih bisa memberi perlawanan. Rasa malu, oh rasa malu, dimana nian? Makin sempurna pentas parodi kita. Sulit memutuskan sikap, apakah harus tertawa sinis atau menangis perih?

Di acara Indonesi Lawyers Club (ILC), parodi itu terlihat makin seru. Tuan Fahri Hamzah yang berbicara berapi-api, sebagai layaknya pidato sang Proklamator di awal kemerdekaan, begitu hebat membela IG. Dengan suara yang kadang meninggi, menggelegar, raut yang menggambarkan kegeraman, ia seakan memuntahkan semua uneg-unegnya dengan “gaya lembut dan kesantunan” yang kurang terukur. Sampai-sampai AM.Fatwa, Ketua BK DPD marah  dan ingin melempar mic ke Fahri. Fahri  menyebut IG pasti “dijebak, ada brainwash,  ia sudah 21 tahun kenal pak Irman sebagai orang baik sehingga tak mungkin korupsi, ada mafia hukum yang ikut bekerja, KPK sinting,” dsb. Bahkan kasus Ahok terkait Sumber Waras dan Reklamasi dibawa-bawa, termasuk Presiden Joko Widodo yang disebutnya tidak paham apa-apa. Begitu hebat dan bartubi-tubi argumentasi yang dilebarkan ke mana-mana demi membenarkan tersangka OTT Irman Gusman.   


Untuk mendapatkan informasi lebih banyak saya googling dengan keyword: Fahri Hamzah di kasus Irman Gusman. Dari Suara.com Fahri Hamzah bernostalgia tentang hubungannya dengan IG, dimana ketika masih mengerjakan skripsi tahun 1995 ia sempat bekerja untuk IG. IG diceritakannya sebagai orang baik,terhormat dan kaya sehingga tidak mungkin “mengkorupsi uang recehan 100 juta.”  Di sinilah letak kesesatannya.  

Perhatikan percakan di bawah ini, yang saya kutib dari karya Thomas Cathcart dan Daniel M.Klein (Berfilsafat dengan Anekdot: Plato ngafe bareng Singa Laut).

Ted bertemu temannya Al dan berseru, Al! Aku dengar kamu mati!”

Sama sekali tidak,” kata Al sambil tertawa. Seperti yang kamu lihat, saya sangat-sangat hidup.”

Tidak mungkin,” kata Ted. Orang yang memberitahu aku adalah orang yang lebih dapat dipercaya daripada kamu.”

Dalam ilmu logika jenis falacy (kesesatan pikir) ini disebut argumentum ad verecundiam,yaitu penyimpangan argumen karena didasarkan pada kehormatan dan otoritas.  Karena kehormatan fakta pokok diabaikan!

Jenis kesesatan nalar itulah yang dilakukan oleh yang terhormat anggota DPR, tuan Fahri Hamzah. Masih dari Suara.com  Fahri melanjutkan penjelasannya, bahwa orang tua IG juga pengusaha terhormat. Bahkan sejak kakeknya sudah kaya. Dengan itu, Fahri menegaskan, “Dia (Irman) tidak boleh dikategorikan sebagai orang jahat. KPK itu tidak bisa membedakan mana yang disebut dengan kejahatan, mana yang disebut kekeliruan, kesalahan.”

Tidak ada pretensi meragukan kebaikan dan kekayaan IG. Saya toh tidak kenal sama sekali kecuali melalui media. Tetapi, menggunakan “fakta aksidental” itu (kaya, terhormat) sebagai dasar untuk menggugurkan fakta “tangkap tangan KPK” jelas sesat nalar. Kenyataan kebaikan dan kekayaan Iman Gusma tidak dapat menghilangkan fakta tertangkap tangan menerima uang. Jumlahnya pun tidak ada hubungan, karena yang menjadi alasan ditangkap bukanlah jumlah melainkan tindak kejahatan korupsi atau grafitasinya.

Bentuk kesesatan ini kerap bermain di pikiran kebanyakan orang, terutama bila terkait dengan orang-orang berpengaruh, orang yang punya otoritas, bahkan Tuhan. Para politisi dan pebisnis kerap memanfaatkan dengan baik kesesatan ini. Misalnya, korupsi yang dilakukan dalam “bisnis perhajian,”dan kejahatan terkait yang berbau agama jelas bermain dalam hukum logika sesat ini. “Masak sih,  urusan agama dan Tuhan atau hal-hal kerohanian disimpangkan?? Masak sih, dia ulama besar akan lakukan korupsi atau pelecehan seksual? Masak sih, orang baik dan relijius seperti dia akan ingkar janji? Kan ga mungkin!”

Demikian seterusnya!Tidak mengherankan, kalau di musim kampanye Pileg, Pilkada, atau Pilpres kita banyak mendengar para kandidat begitu fasih mengutib-ngutib ayat suci, membawa-bawa nama tuhan, dan sejenisnya. Dengan membawa otoritas kitab suci dan tuhan, mereka berharap fakta pokok terkait posisi mereka seperti rekam jejak, kinerja, dan lainnya yang sebenarnya buram, dapat tersembunyikan dengan rapih.  

Itulah kesesatan nalar. Para pembela IG berargumentasi dalam hukum nalar sesat ini. Akibatnya, terlihat upaya sengaja mengaburkan fakta pokok dengan menghamburkan fakta lain. Dan, ini menyadarkan kita, betapa korupsi yang kita sepakati sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), ternyata juga dilindungi secara luar biasa oleh para elit yang katanya terhormat itu.

Kalau demikian, kapan korupsi bisa diatasi? Apa yang bisa kita harapkan dari para elit senator di DPD dan DPR terkait pengentasan korupsi? Haruskan DPD tetap dipimpin oleh yang terhormat tuan Irman Gusman? Nampak korupsi menampilkan wajah yang makin mengerikan. Ngeri-ngeri tak sedap!

Salam Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun