Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Amin Rais dkk Hasilkan Risalah Istiqlal: Metamorfosis “Poros Tengah” Hadapi Pilkada DKI 2017?

19 September 2016   09:15 Diperbarui: 20 September 2016   05:51 3442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang jelas, strategi Amin Rais dan teman-temannya ini nampak hanya mengandalkan hubungan emosional sesama Muslim untuk memenangkan Pilkada. Terlihat dari berbagai “kampanye terselubung” dan statemen-statemen yang disampaikan di berbagai forum. Hal-hal penting terkait kualitas calon, integritas, rekam jejak, program dan strategi membangun Jakarta, dan hal kualitatif lainnya nampak dibelakngkan atau berada diluar kriteria. Maka, bayangan pemimpin yang dihasilkan dari sepak terjang Profesor (politik) Amin Rais, dengan didukung Profesor (hukum tata negara) Yusril Ihza Mahendra adalah semata-mata mendapatkan pemimpin beragama Islam. Pokoknya harus Muslim. Dan, tentu diharapkan adalah yang akan bekerja sepenuhnya untuk kepentingan Muslim, atau lebih tepatnya kepentingan Amin Rais, CS.

Amin Rais nampak tidak pernah belajar dari pengalaman. Awal munculnya PKS, terutama di Pemilu 2004, PKS berhasil memoles citranya sebagai partai berbasis moral (inklusif) dengan “pura-pura” menyembunyikan asas perjuangan sebenarnya, yaitu menegakkan Syariat Islam.  PKS berhasil meraup suara. Namun, begitu para elitnya tersangkut berbagai kasus moral (korupsi dan “cabe-caben”) suaranya menjadi ambruk di pemilu 2009 dan terus menyusut.  Model “jualan” yang hanya semata-mata mengandalkan emosi “persaudaraan Islam,” tanpa didukung rekam jejak dan integritas tidak akan pernah memberi hasil positif di negara yang plural dan berdasarkan Pancasila ini.  Itulah poin penting yang tidak pernah diperhatikan, sehingga membuat Amin Rais dkk selalu gagal move on.  Mereka mengandaikan masih hidup di abad pertengahan, dimana solidaritas mekanistik masih terbangun atas dalil agama sebagai “pusat edar” yang menentukan semua gerak pikir dan dinamika tingkah. Apa yang dikatakan ulama selalu harus benar, dan sertamerta dipanuti secara membeo oleh umat.

Dalam model macam ini, pertanyaannya adalah di mana posisi Pancasila, UUD’45 dan Bhineka Tunggal Ika? Apakah bisa berharap akan ditegakkannya keadilan dan kesetaraan dalam “model rekruit kepemimpinan" ala Amin Rais, CS ini? Apakah dua profesor yang dibiayai negara ini memiliki kualitas nasionalisme yang bisa diandalkan?  Lebih dari itu, apakah strategi poros tengah ini akan memberi hasil menggembirakan bagi partai-partai Islam, terutama juga dalam persiapan menuju Pileg dan Pilpres 2019, atau malah makin membenamkannya?

Kita lihat saja nantinya, di TKP!

Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun