Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Amin Rais dkk Hasilkan Risalah Istiqlal: Metamorfosis “Poros Tengah” Hadapi Pilkada DKI 2017?

19 September 2016   09:15 Diperbarui: 20 September 2016   05:51 3442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ribuan umat muslim menggelar tabligh atau silaturahim akbar 'Doa untuk Kepemimpinan Ibu Kota' di Masjid Istiqlal, Jakarta (rihadin)

DetikNews (18/9/16) melaporkan Silaturahmi Akbar yang dilaksanakan di Masjid Istiqlal Jakarta menghasilkan 9 poin risalah. Sejumlah poin penting intinya adalah menolak pemimpin non Muslim. Tokoh-tokoh penting yang hadir antara lain Amin Rais, Habib Riziek, Hidayat Nur Wahid, Yusril Ihza Mahendra dan lainnya. 

Dari sembilan poin itu, setidaknya empat poin terkait dengan himbauan supaya memilih calon yang beragama Islam. Sementara lainnya berkaitan dengan himbauan untuk menggunakan hak pilih, serta himbauan kepada KPUD termasuk RT/RW agar mengawasi jalannya Pilkada sehingga terjamin berjalan jujur dan adil.

Poin terakhir mengimbau partai pengusung calon non muslim supaya mencabut dukungannya, dan bila tidak mengindahkan maka diserukan kepada umat untuk tidak memilih partai tersebut. Karena terkait Pilkada DKI, tentu himbauan itu ditujukan kepada partai Nasdem, Hanura, dan Golkar yang sejauh ini telah memberikan dukungan formal kepada Basuki Tjahja Purnama (Ahok) untuk maju di Pilkada 2017.  Apabila PDIP dalam pertimbangan mengusung Ahok maka tentu saja himbauan tersebut juga menyasar PDIP. Soal, apakah himbauan itu akan mempengaruhi sikap PDIP terutama Megawati Soekarnoputri, itu hal lain.

Mengamati langkah Amin Rais dkk ini mengingatkan kita pada strategi “Poros Tengah” besutan Amin Rais, Yusril dan teman-temannya dalam pemilu 1999. Strategi super canggih itu berhasil menggagalkan Megawati Soekarnoputri yang memenangkan Pileg sehingga di atas kertas berhak atas kursi Presiden.  Namun, begitulah kelihaian Amin Rais dkk.  Dengan alasan yang “sangat Islami,” sebagai perempuan Megawati dianggap haram menjadi pemimpin. Lagu-lagu Islami disuarakan dalam forum persidangan DPR/MPR itu, dan suasana terasa menegang, cenderung mencekam.   

Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Minggu 18/9/2016 (Nursita Sari).
Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Minggu 18/9/2016 (Nursita Sari).
Ketika itu Partai-prtai Islam memperoleh “hanya” 34,2% suara di pemilu Legislatif. Berkat Poros Tengah yang berhasil “mempersatukan partai Islam,” Gus Dur akhirnya memenangkan Pilpres. Sebagai “upah” bagi kecerdasan dan jerih payahnya Amin Rais dijatahi kursi Ketua MPR. Padahal partainya Amin Rais (PAN) hanya meraih 7,2% suara di Pileg.  Bagaimana pun, Poros Tengah akhirnya bangkrut setelah Amin Rais dan teman-temannya, entah alasan esensial apa, sukses melengserkan Gus Dur dan melantik Megawati sebagai penggantinya. Sebuah ironi dan inkonsistensi? Tetapi begitulah rekam jejak Amin Rais.

Pada Pemilu 2004 raihan partai-partai Islam di Pileg meningkat menjadi sekitar 40%.  Namun, belum ada figur yang cukup kuat untuk dimajukan di Pilpres. Semenjak 2004 raihan suara partai-partai Islam terus melorot.

Pada Pileg 2004 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi pemenang di DKI dengan perolehan suara sekitar 20%  (13 kursi), namun dalam Pilkada DKI yang dilaksanakan 2007 calon yang diajukan PKS yaitu Adang-Dani kalah dari Fauzi-Prijanto yang diusung gabungan partai-partai nasionalis dan partai lainnya. PKS begitu percaya diri bergerak sendiri, mengira telah sepenuhnya menggenggam massa Islam di DKI.

Di Pilkada DKI 2012 kolaborasi partai Islam bersama Golkar, Demokrat dan lainnya mendukung Fauzi (Foke) berhadapan dengan Jokowi-Ahok yang diusung PDIP. Jokowi-Ahok menang telak. Kolaborasi besar ini masih solid dan terus terawat hingga Pilpres 2014 dengan mendukung Prabowo. Sekali lagi, kalah dari calon yang dimajukan PDIP yaitu Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Nasib partai besutan Amin Rais (PAN) dan Yusril Ihza Mahendra (PBB) tidak mujur. Perolehan suaranya terus menurun. Bahkan, di Pemilu 2014 PBB terpaksa keluar dari arena karena tidak memenuhi syarat minimum perolehan suara (electoral treshold) yang ditetapkan 3,5%. Nasib yang sama, meskipun nampak sedikit lebih baik, dialami PKS dan PPP.  Hanya PKB yang bertengger di urutan 5 partai perolehan suara terbanyak, sementara urutan pertama sampai keempat dikuasi partai nasionalis.

Amin Rais tentu berpikir keras. Di Pilpres 2014 dia telah bekerja keras mendukung Prabowo, dan ikut dalam pembentukan KMP, bahkan mengumumkan Pilpres sebagai perang badar. Mungkin, maksudnya supaya menyatukan pemilih muslim dalam satu kekuatan untuk memberi dukungan penuh kepada Prabowo. Namun, hasilnya Jokowi-JK memenangkan 'perang badar' di pilpres. Amin Rais sendiri sesumbar akan berjalan kaki dari Jogja ke Jakarta apabila Jokowi-JK yang menangi Pilpres. Hingga saat ini ia tidak merealisasikan janjinya.

Yusril Ihza Mahendra dalam pertemuan Akbar di Istiqlal (http://poskotanews.com/)
Yusril Ihza Mahendra dalam pertemuan Akbar di Istiqlal (http://poskotanews.com/)
Berdasarkan hal-hal di atas, sangat mungkin dalam imajinasi Amin Rais, “Risalah Istiqlal” merupakan bentuk lain dari “strategi poros tengah,” untuk mempersatukan pemilih muslim guna memenangkan Pilkada DKI 2017. Sebuah strategi antara (test case) menuju Pileg dan Pilpres 2019. Meski belum menyebutkan siapa calon yang akan diajukan, kehadiran Yusril Ihza Mahendra dalam Silaturahmi Akbar itu bisa dibaca sebagai sebuah sinyalemen. Dengan sikap “humble” dan seolah tidak gila kuasa Yusril tidak ikut berbicara di forum itu, bahkan pulang sebelum acara selesai. Tetapi mudah diduga bahwa merupakan pilihan rasional bila memajukan Yusril sebagai kandidat jagoan dari pihak Amin Rais, dkk. Kecuali mengasumsikan himbauan lewat risalah itu begitu ampuh sehingga siapa pun yang dimajukan, asalkan Muslim pasti akan dipilih oleh semua warga beragama Islam. Sebuah asumsi yang terlalu meremehkan kecerdasan warga!

Yang jelas, strategi Amin Rais dan teman-temannya ini nampak hanya mengandalkan hubungan emosional sesama Muslim untuk memenangkan Pilkada. Terlihat dari berbagai “kampanye terselubung” dan statemen-statemen yang disampaikan di berbagai forum. Hal-hal penting terkait kualitas calon, integritas, rekam jejak, program dan strategi membangun Jakarta, dan hal kualitatif lainnya nampak dibelakngkan atau berada diluar kriteria. Maka, bayangan pemimpin yang dihasilkan dari sepak terjang Profesor (politik) Amin Rais, dengan didukung Profesor (hukum tata negara) Yusril Ihza Mahendra adalah semata-mata mendapatkan pemimpin beragama Islam. Pokoknya harus Muslim. Dan, tentu diharapkan adalah yang akan bekerja sepenuhnya untuk kepentingan Muslim, atau lebih tepatnya kepentingan Amin Rais, CS.

Amin Rais nampak tidak pernah belajar dari pengalaman. Awal munculnya PKS, terutama di Pemilu 2004, PKS berhasil memoles citranya sebagai partai berbasis moral (inklusif) dengan “pura-pura” menyembunyikan asas perjuangan sebenarnya, yaitu menegakkan Syariat Islam.  PKS berhasil meraup suara. Namun, begitu para elitnya tersangkut berbagai kasus moral (korupsi dan “cabe-caben”) suaranya menjadi ambruk di pemilu 2009 dan terus menyusut.  Model “jualan” yang hanya semata-mata mengandalkan emosi “persaudaraan Islam,” tanpa didukung rekam jejak dan integritas tidak akan pernah memberi hasil positif di negara yang plural dan berdasarkan Pancasila ini.  Itulah poin penting yang tidak pernah diperhatikan, sehingga membuat Amin Rais dkk selalu gagal move on.  Mereka mengandaikan masih hidup di abad pertengahan, dimana solidaritas mekanistik masih terbangun atas dalil agama sebagai “pusat edar” yang menentukan semua gerak pikir dan dinamika tingkah. Apa yang dikatakan ulama selalu harus benar, dan sertamerta dipanuti secara membeo oleh umat.

Dalam model macam ini, pertanyaannya adalah di mana posisi Pancasila, UUD’45 dan Bhineka Tunggal Ika? Apakah bisa berharap akan ditegakkannya keadilan dan kesetaraan dalam “model rekruit kepemimpinan" ala Amin Rais, CS ini? Apakah dua profesor yang dibiayai negara ini memiliki kualitas nasionalisme yang bisa diandalkan?  Lebih dari itu, apakah strategi poros tengah ini akan memberi hasil menggembirakan bagi partai-partai Islam, terutama juga dalam persiapan menuju Pileg dan Pilpres 2019, atau malah makin membenamkannya?

Kita lihat saja nantinya, di TKP!

Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun