Demikianlah, dari keluarga mbah Mardi banyak kita temukan kultifikasi nilai-nilai toleransi dan harmoni. Ini harusnya miniatur masyarakat Indonesia. Kita berebeda secara agama, etnis, dan lainnya. Namun, kita juga adalah saudara, setidaknya saudara sebangsa dan se-tanah air.
Inilah sepenggal kisah tentang berbinarnya cahaya damai dan toleransi dari kota sejuk Salatiga. Dari dalam keluarga mbah Mardi.
Maka, ketika di kebaktian Minggu 28 Agustus 2016 Pendeta mengakhiri khotbahnya dengan pertanyaan reflektif, “apakah Gereja sudah meng-Indonesia?”, saya akan menjawab, “datanglah ke rumah mbah Mardi dan belajarlah bagaimana menjadi Indonesia.” Saya jug aingin tegaskan, bahwa masih terdapat sejumlah “mbah Mardi” lainnya di kota Salatiga.
Sepulangnya, ketika berbelok ke arah rumah saya di Pulutan Lor, terbentang di hadapan saya persawahan luas, Merbabu yang berdiri kokoh di batas pandang persawahan dan puncak-puncak dedaunan nyiur yang melambai, saya meggumamkan salahsatu lagu favorit saya, “betapa kita tidak bersyukur, bertanah air kaya dan subur, lautnya luas gunungnya megah, menghijau padang, bukit dan lembah. Itu semua, berkat karunia, Allah yang Agung Maha Kuasa.”
Sungguh indah dan kayanya alam kita, dan lebih indah bila berpadu dengan sikap toleransi dan suasana damai sentosa seperti Salatiga ini. Dan, semua itu bisa dimulai dari dalam keluarga, seperti keluarga mbah Mardi!
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H