Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Toleransi dari Keluarga Mbah Mardi di Salatiga

28 Agustus 2016   14:18 Diperbarui: 30 Agustus 2016   08:09 10958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbah Amin (Siti Aminah) berbaring tenang dan damai di antara kuburan lainnya yang beragama Islam (Foto: DOKPRI)

Demikianlah, dari keluarga mbah Mardi banyak kita temukan kultifikasi nilai-nilai toleransi dan harmoni. Ini harusnya miniatur masyarakat Indonesia. Kita berebeda secara agama, etnis, dan lainnya. Namun, kita juga adalah saudara, setidaknya saudara sebangsa dan se-tanah air.

Inilah sepenggal kisah tentang berbinarnya cahaya damai dan toleransi dari kota sejuk Salatiga. Dari dalam keluarga mbah Mardi. 

Maka, ketika di kebaktian Minggu 28 Agustus 2016  Pendeta mengakhiri khotbahnya dengan pertanyaan reflektif, “apakah Gereja sudah meng-Indonesia?”, saya akan menjawab, “datanglah ke rumah mbah Mardi dan belajarlah bagaimana menjadi Indonesia.”  Saya jug aingin tegaskan, bahwa masih terdapat sejumlah “mbah Mardi” lainnya di kota Salatiga. 

Sepulangnya, ketika berbelok ke arah rumah saya di Pulutan Lor, terbentang di hadapan saya persawahan luas, Merbabu yang berdiri kokoh di batas pandang persawahan dan puncak-puncak dedaunan nyiur  yang melambai, saya meggumamkan salahsatu lagu favorit saya, “betapa kita tidak bersyukur, bertanah air kaya dan subur, lautnya luas gunungnya megah, menghijau padang, bukit dan lembah. Itu semua, berkat karunia, Allah yang Agung Maha Kuasa.” 

Sungguh indah dan kayanya alam kita, dan lebih indah bila berpadu dengan sikap toleransi dan suasana damai sentosa seperti Salatiga ini. Dan, semua itu bisa dimulai dari dalam keluarga, seperti keluarga mbah Mardi!

Salam Kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun