Jauh merujuk ke akar pemikiran filsafat Yunani kuno, filsuf politik berkebangsaan Jerman yang menjadi migran di Amerika, Hannah Arendt melacak asal muasal praktek kekuasaan yang menjadi basis pertarungan politik seperti lazimnya. Berbeda dengan kelaziman itu, Arendt justru menemukan konstruksi kuasa sebagai fenomena apolitis atau pra-politik yang diproduksi dalam kelembagaan keluarga (oikos).
Dalam keluarga, terutama dalam konteks masyarakat Yunani antik, kekuasaan dipraktikkan sebagai penguasaan atas budak, laki-laki atas perempuan, kepala keluarga atas anggota keluarga, penguasaan atas harta milik, bahkan juga budak atas hewan gembalaan. Kekuasaan lahir dan mendapatkan bentuknya dalam interelasi di ranah privat (keluarga). Karenanya, kekuasaan sama sekali bersifat apolitik, bahkan anti politik.
Sebagaimana khasnya imajinasi pemikiran filsafat Yunani, kehidupan ideal manusia tercipta dalam kehidupan bersama atau polis. Aristoteles misalnya, mengajarkan bahwa hanya melalui polis manusia merealisasikan potensialitas dirinya, yaitu lewat tindakan praksis (praxis). Jadi, manusia tidak eksis untuk terkurung dalam kesendirian, juga dalam “gua modern” oikos.
Melainkan, keluar dari lingkup domestiknya dan bertemu dengan manusia-manusia lain untuk menghidupkan sebuah sistem kehidupan dimana kebaikan bersama (agathon) dihidupkan dan dikelola. Inilah cikal bakal polis: pelembagaan relasi intersubyek yang beragam, plural, dan mencakup kemanusiaan jamak guna menghadirkan agathon.
Para “calon warga polis” ini adalah individu-individu bebas yang telah keluar dari “kategori-kategori primitif” oikos yang ditandai keterikatan pada relasi kuasa-menguasai, determinasi, perintah-diperintah, kekerasan, pemaksaan dan sejenisnya. Maka, polis atau ruang (pelembagaan) politik sepenuhnya adalah kumpulan orang-orang bebas dan setara yang terikat oleh hasrat bersama untuk menciptakan kebaikan umum.
Di sini komunikasi dan hukum menjadi prasyarat mutlak guna menjamin proses konsolidasi dan bangunan solidaritas, serta penegasan batas-batas demarkasi antara kategori yang privat dan yang politik.
Lewat skema pandangan filosofis di ataslah, saya ingin mencoba memahami berbagai praktek dalam lanskap politik kontemporer Indonesia, dengan menjadikan “katabelece Fadli Zon” sebagai (sekadar) contoh kasus.
Kalau spirit liberalisme dalam peradaban (politik) modern lahir untuk melindungi kepentingan atau kebebasan indvidu dari intervensi negara, maka sebaliknya, Arendt mengkhawatirkan kolonialisasi yang privat atas ruang publik. Menurut saya, perspektif ini menjadi penad digunakan untuk meneropong selubung fenomena “katabelece Fadli Zon” terkait instruksi implisitnya kepada KBRI di Washington DC lewat KJRI untuk memfasilitasi anak gadisnya, Shafa Sabila Fadli yang akan mengikuti sebuah kegiatan dalam kategori kepentingan privat di Amerika Serikat.
Kasus ini tidak bisa dilihat sebagai sekadar “kesalahan prosedur teknis dengan kerugian materil hanya 100 dollar US,” seperti dipersepsikan oleh Fadli Zon. Dibalik fenomena itu, terpendam motif kuat dahaga ekpansif dari “yang privat” atas “yang politik,” atau yang apolitis atas yang politis.
Struktur kepentingan privat membuncah dan merambah. Di ujung dari ekspansi ini, yang sesungguhnya menjadi kekhawatiran Arendt adalah pembusukan tubuh polis, dengan potensialitas meluluhlantakkan respublika atau bangunan politik sebagai tatanan hidup bersama bangsa.
Dengan membahas Fadli Zon, saya tidak bermaksud membahas sang Wakil Ketua DPR-RI dari partai Gerindra itu semata. “Katabelece Zon” mewakili banyak perilaku berkategori apolitis. Kasus sejenis yang masih hangat di ingatan adalah katabelece yang pernah melibatkan Menpan RB Yuddy Chrisnandi, juga anggota DPR-RI lainnya dari partai Gerindra yaitu Rachel Maryam.
Perilaku lain terkategori sejenis adalah praktek korupsi, pemerkosaan, pelecehan seksual, penyelewengan penggunaan kekuasaan, pemaksaan atas individu atau kelompok lain, penggunaan kekerasan dan sejenisnya. Perilaku-perilaku apolitis ini bisa dipahami sebagai bawaan konstruksi privat-primitif yang gagal dilampaui oleh para pelakunya sehingga merembes dan terbawa ke ranah politik.
Masalahnya kita menghadapi tindakan-tindakan sejenisi katabelece Fadli Zon dalam ragam modus, seperti telah disebutkan di atas. Contoh-contoh di atas merupakan gambaran terang benderang akan ekspansi yang privat atas ruang publik.
Atas keragaman modus itu, apalagi dengan intensitas tinggi dan inovasi yang aktif diproduksi, Arendt mengingatkan kita akan implikasinya pada ancaman keruntuhan politik. Bangunan polis yang dibangun atas dasar kesetaraan dan penciptaan kebaikan bersama seolah diterobos dan dirampok oleh kepentingan privat yang belum sepenuhnya menjadi orang bebas. Padahal, kebebasan adalah prasyarat mutlak untuk masuk dalam polis. Kebebeasan dimaksud mencakup penanggalan semua atribut privat sebab polis sesungguhnya adalah keserba-keberlampuan atas kategori primordial oikos.
Setiap modus bisa diidentifikasi sebagai bom waktu yang dilemparkan di dasar bangunan agung polis. Bila kesadaran massa politis, sebagai kumpulan orang-orang bebas tidak tersentuh, lalu membiarkan ekspansi itu berlangsung intensif maka berakibat pada proses penciutan ruang polis oleh kolonialisasi privat.
Mungkin akan lebih hidup bila narasinya dipaparkan secara metaforik. Bayangkan, seorang ayah bersama anak gadisnya keluar dari oikos (rumah) lalu merangsek masuk ke wilayah publik, mengobrak-abrik tatanan yang ada lalu memaksakan dukungan fasilitas negara bagi kepentingan privat mereka.
Dalam imajinasi visual mereka secara benderang keluar dari ranah primordialnya, lalu menganeksasi atau menyeberangi garis demarkasi ruang publik dan membajak fasilitas polis sebagai obyek rampasan demi pemenuhan kebutuhan privat.
Metafora di atas memang terkesan ekstrim, semata-mata dimaksudkan untuk memberi gambaran hidup pada daya ekspansif oikos atas polis. Ketika struktur kekuasaan di ranah oikos berekspansi lalu menganeksasi wilayah polis, ia telah merusak dan membusukkan keagungan polis.
Akumulasi dari berbagai modus memberi tekanan yang bertubi-tubi dan kuat pada kecepatan penciutan wilayah atau pembusukan polis. Di sini kehidupan bersama sebagai bangsa berada dalam ancaman nyata. Maka, membaca “katabelece Fadli Zon” sebagai sekadar kesalahan administratif, atau kekeliruan prosedur teknis merupakan kekurang-hati-hatian warga politik yang dapat beresiko.
Mekanisme kontrol sosial dan kritik perlu aktif diproduksi untuk mengingatkan rapuhnya garis demarkasi antara ranah privat dan polis, serta pentingnya kesadaran luas dan komitmen besar untuk merawatnya bersama-sama.
Menariknya, Arendt tidak akan menyalahkan para kolonial atau aneksasor, perampok properti polis. Melainkan, yang disorot adalah ketak-terorganisasian warga polis menghadapi aneksasor. Melemahnya soliditas warga polis, sikap apatis dan ketidak-kiritisan bertindak, yang diidealkan bekerja melalui institusi intermediasi macam kelompok-kelompok penekan, pers dan media yang mandiri, NGO, serikat buruh, wacana-wacana publik, dan tentu saja lembaga-lembaga perwakilan seperti partai politik, dan sejenisnya memberi ruang bagi masuknya invasi primordial.
Dalam hal ini, warga polis dibaca sebagai ikut “membantu” para aneksasor memasuki dan menguasai wilayah polis. Dengan kata lain, aneksasi atas ruang publik terjadi karena kurang terkonsolidasinya warga polis untuk mengkritisi dan mengamankan batas demarkasi dari ancaman kolonialis private.
Untungnya, Arendt menyediakan jalan keluar, yaitu lewat tindakan politis. Tindakan politik adalah sikap sadar untuk melakukan rehabilitasi politik, yaitu dengan cara maaf-memaafkan, diikuti janji untuk tidak melakukan lagi. Kemampuan memaafkan dan berjanji memiliki akar dalam tindakan, karena hanya tindakan yang memiliki eksistensi dalam hubungan antar subyek di ruang publik.
Dengan itu, pelaku dibebaskan dari masa lalu (kategori privat) yang membelenggunya, sekaligus menjamin sebuah masa depan yang menjanjikan. Dengan mengampuni terbuka ruang untuk mengoreksi kesalahan bertindak disertai janji untuk tidak mengulangi. Seperti dikutip oleh Budi Hardiman (2005:43), “tindakan mengampuni menurut Arendt akan memproduksi kembali ruang-antara yang mengikat sekaligus memisahkan kita dengan orang-orang lain.”
Kiranya, momentum Idul Fitri dapat menyentuh kesadaran inklusif warga polis dan juga nurani Fadli Zon, beserta sesama “korban” lainnya agar masuk ke “ruang rehabilitasi politik,” dengan sikap saling memaafkan, disertai ikrar untuk kembali bersama-sama merawat garis demarkasi antara wilayah oikos dan wilayah publik.
Dengan cara itu, bangunan agung kehidupan bersama sebagai bangsa Indonesia semakin kuat dan terawat dalam kebersamaan dan kesalingan-berwacana secara setara dan beradab, melamapui kategori-kategori primitf oikos.
Sebagai warga polis yang merindukan kebebasan otentik di ruang polis beradab dan terlindung dari motif-motif primordial subyektif, lewat tulisan ini saya telah melakukan tindakan mengingatkan, sekaligus memaafkan tuan Fadli Zon dan sesama rekanan pekerja lainnya yang masih terikat pada masa lalu. Sebab, saya tidak mau tergolong sebagai warga yang berkontribusi bagi kolonialisasi privat atas ruang publik.
Salam damai menuju Indonesia jaya.
Selamat merayakan Hari Raya Iduli Fitri 1437-H bagi semua warga Kompasiana yang merayakannya, mohon maaf lahir dan bathin!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H