Perilaku lain terkategori sejenis adalah praktek korupsi, pemerkosaan, pelecehan seksual, penyelewengan penggunaan kekuasaan, pemaksaan atas individu atau kelompok lain, penggunaan kekerasan dan sejenisnya. Perilaku-perilaku apolitis ini bisa dipahami sebagai bawaan konstruksi privat-primitif yang gagal dilampaui oleh para pelakunya sehingga merembes dan terbawa ke ranah politik.
Masalahnya kita menghadapi tindakan-tindakan sejenisi katabelece Fadli Zon dalam ragam modus, seperti telah disebutkan di atas. Contoh-contoh di atas merupakan gambaran terang benderang akan ekspansi yang privat atas ruang publik.
Atas keragaman modus itu, apalagi dengan intensitas tinggi dan inovasi yang aktif diproduksi, Arendt mengingatkan kita akan implikasinya pada ancaman keruntuhan politik. Bangunan polis yang dibangun atas dasar kesetaraan dan penciptaan kebaikan bersama seolah diterobos dan dirampok oleh kepentingan privat yang belum sepenuhnya menjadi orang bebas. Padahal, kebebasan adalah prasyarat mutlak untuk masuk dalam polis. Kebebeasan dimaksud mencakup penanggalan semua atribut privat sebab polis sesungguhnya adalah keserba-keberlampuan atas kategori primordial oikos.
Setiap modus bisa diidentifikasi sebagai bom waktu yang dilemparkan di dasar bangunan agung polis. Bila kesadaran massa politis, sebagai kumpulan orang-orang bebas tidak tersentuh, lalu membiarkan ekspansi itu berlangsung intensif maka berakibat pada proses penciutan ruang polis oleh kolonialisasi privat.
Mungkin akan lebih hidup bila narasinya dipaparkan secara metaforik. Bayangkan, seorang ayah bersama anak gadisnya keluar dari oikos (rumah) lalu merangsek masuk ke wilayah publik, mengobrak-abrik tatanan yang ada lalu memaksakan dukungan fasilitas negara bagi kepentingan privat mereka.
Dalam imajinasi visual mereka secara benderang keluar dari ranah primordialnya, lalu menganeksasi atau menyeberangi garis demarkasi ruang publik dan membajak fasilitas polis sebagai obyek rampasan demi pemenuhan kebutuhan privat.
Metafora di atas memang terkesan ekstrim, semata-mata dimaksudkan untuk memberi gambaran hidup pada daya ekspansif oikos atas polis. Ketika struktur kekuasaan di ranah oikos berekspansi lalu menganeksasi wilayah polis, ia telah merusak dan membusukkan keagungan polis.
Akumulasi dari berbagai modus memberi tekanan yang bertubi-tubi dan kuat pada kecepatan penciutan wilayah atau pembusukan polis. Di sini kehidupan bersama sebagai bangsa berada dalam ancaman nyata. Maka, membaca “katabelece Fadli Zon” sebagai sekadar kesalahan administratif, atau kekeliruan prosedur teknis merupakan kekurang-hati-hatian warga politik yang dapat beresiko.
Mekanisme kontrol sosial dan kritik perlu aktif diproduksi untuk mengingatkan rapuhnya garis demarkasi antara ranah privat dan polis, serta pentingnya kesadaran luas dan komitmen besar untuk merawatnya bersama-sama.
Menariknya, Arendt tidak akan menyalahkan para kolonial atau aneksasor, perampok properti polis. Melainkan, yang disorot adalah ketak-terorganisasian warga polis menghadapi aneksasor. Melemahnya soliditas warga polis, sikap apatis dan ketidak-kiritisan bertindak, yang diidealkan bekerja melalui institusi intermediasi macam kelompok-kelompok penekan, pers dan media yang mandiri, NGO, serikat buruh, wacana-wacana publik, dan tentu saja lembaga-lembaga perwakilan seperti partai politik, dan sejenisnya memberi ruang bagi masuknya invasi primordial.
Dalam hal ini, warga polis dibaca sebagai ikut “membantu” para aneksasor memasuki dan menguasai wilayah polis. Dengan kata lain, aneksasi atas ruang publik terjadi karena kurang terkonsolidasinya warga polis untuk mengkritisi dan mengamankan batas demarkasi dari ancaman kolonialis private.