Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Katabelece Fadli Zon: Kolonialisasi Privat, Ruang Politis dan Idul Fitri

6 Juli 2016   17:45 Diperbarui: 6 Juli 2016   21:49 3131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jauh merujuk ke akar pemikiran filsafat Yunani kuno, filsuf politik berkebangsaan Jerman yang menjadi migran di Amerika, Hannah Arendt melacak asal muasal praktek kekuasaan yang menjadi basis pertarungan politik seperti lazimnya. Berbeda dengan kelaziman itu, Arendt justru menemukan konstruksi kuasa sebagai fenomena apolitis atau pra-politik yang diproduksi dalam kelembagaan keluarga (oikos). 

Dalam keluarga, terutama dalam konteks masyarakat Yunani antik, kekuasaan dipraktikkan sebagai penguasaan atas budak, laki-laki atas perempuan, kepala keluarga atas anggota keluarga, penguasaan atas harta milik, bahkan juga budak atas hewan gembalaan. Kekuasaan lahir dan mendapatkan bentuknya dalam interelasi di ranah privat (keluarga). Karenanya, kekuasaan sama sekali bersifat apolitik, bahkan anti politik.

Sebagaimana khasnya imajinasi pemikiran filsafat Yunani, kehidupan ideal manusia tercipta dalam kehidupan bersama atau polis. Aristoteles misalnya, mengajarkan bahwa hanya melalui polis manusia merealisasikan potensialitas dirinya, yaitu  lewat tindakan praksis (praxis). Jadi, manusia tidak eksis untuk terkurung dalam kesendirian, juga dalam “gua modern” oikos. 

Melainkan, keluar dari lingkup domestiknya dan bertemu dengan manusia-manusia lain untuk menghidupkan sebuah sistem kehidupan dimana kebaikan bersama (agathon) dihidupkan dan dikelola. Inilah cikal bakal polis: pelembagaan relasi intersubyek yang beragam, plural, dan mencakup kemanusiaan jamak guna menghadirkan agathon

Para “calon warga polis” ini adalah individu-individu bebas yang telah keluar dari “kategori-kategori primitif” oikos yang ditandai keterikatan pada relasi kuasa-menguasai, determinasi, perintah-diperintah, kekerasan, pemaksaan dan sejenisnya. Maka, polis atau ruang (pelembagaan) politik sepenuhnya adalah kumpulan orang-orang bebas dan setara yang terikat oleh hasrat bersama untuk menciptakan kebaikan umum.  

Di sini komunikasi dan hukum menjadi prasyarat mutlak guna menjamin proses konsolidasi dan bangunan solidaritas, serta penegasan batas-batas demarkasi antara kategori yang privat dan yang politik.

Ketabelece DPR untuk putri Fadli Zon (Foto : Ist)
Ketabelece DPR untuk putri Fadli Zon (Foto : Ist)
Disinilah letak problematika yang menjadi  proyek renungan filosofis Hannah Arendt. Tarik menarik antara yang privat dan yang politik, antara atribut-atribut primitif subyektif dan atribut polis-manusia jamak atau sosialitas, antara yang apolitis dan yang politis. Lebih dari sekadar tarik menarik, kecenderungan yang satu merambah dan menciutkan yang lainnya.

Lewat skema pandangan filosofis di ataslah, saya ingin mencoba memahami berbagai praktek dalam lanskap politik kontemporer Indonesia, dengan menjadikan “katabelece Fadli Zon” sebagai (sekadar) contoh kasus.

Kalau spirit liberalisme dalam peradaban (politik) modern lahir untuk melindungi kepentingan atau kebebasan indvidu dari intervensi negara, maka sebaliknya, Arendt mengkhawatirkan kolonialisasi yang privat atas ruang publik. Menurut saya, perspektif ini menjadi penad digunakan untuk meneropong selubung fenomena “katabelece Fadli Zon” terkait instruksi implisitnya kepada KBRI di Washington DC lewat KJRI untuk memfasilitasi anak gadisnya, Shafa Sabila Fadli yang akan mengikuti sebuah kegiatan dalam kategori kepentingan privat  di Amerika Serikat.

Kasus ini tidak bisa dilihat sebagai sekadar “kesalahan prosedur teknis dengan kerugian materil hanya 100 dollar US,” seperti dipersepsikan oleh Fadli Zon. Dibalik fenomena itu, terpendam motif  kuat dahaga ekpansif  dari “yang privat” atas “yang politik,” atau yang apolitis atas yang politis.  

Struktur kepentingan privat membuncah dan merambah. Di ujung dari ekspansi ini, yang sesungguhnya  menjadi kekhawatiran Arendt  adalah pembusukan tubuh polis, dengan potensialitas meluluhlantakkan respublika atau bangunan politik sebagai tatanan hidup bersama bangsa.

Dengan membahas Fadli Zon, saya tidak bermaksud membahas sang Wakil Ketua DPR-RI dari partai Gerindra itu semata. “Katabelece Zon” mewakili banyak perilaku berkategori apolitis. Kasus sejenis yang masih hangat di ingatan adalah katabelece yang pernah melibatkan Menpan RB Yuddy Chrisnandi, juga anggota DPR-RI lainnya dari partai Gerindra yaitu Rachel Maryam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun