Setidaknya dua hal yang menurut saya akan membuat buku ini lebih komplit, dan dakwah intelektualnya lebih merasuk. Pertama: nilai-nilai tradisi di berbagai pelosok negeri ini sesungguhnya sangat “ramah lingkungan.” Teoretisasi pendekatan sistem ekologis Capra tentu saja memenuhi standar akademik untuk dirujuk. Namun kekayaan tradisi dan kearifan lokal yang tersedia di berbagai lingkungan budaya di Indonesia, yang mampu bertahan ditengah ganasnya badai abrasi budaya modern yang bernafaskan paradigm Newton-Cartesian dan ditunggangi pula oleh sifat ekspansif kapitalisme (ironisnya: termasuk lewat pendidikan formal), modal sosial yang sudah “ada di sana” itu sesungguhnya akan memberi dukungan empirik dan providensi data induktif bagi “verifikasi” teori.
Secara natural masyarakat kita sudah membangun kultur ramah lingkungan seperti yang diidealkan oleh Capra. Ini sekaligus menjadi modal sosial (social capital) yang kuat bagi kampanye, dan desain strategi aplikatif untuk paradigma “baru” tersebut. Saya yakin, termasuk di Flores (Lembata) tempat lahir penulis buku ini pun kearifan-kearifan lokal (traditional knowledge) berbasis kehidupan berkelanjutan tersedia secara melimpah. Mungkin saja penulis menganggap tidak perlu karena tema ini (kearifan lokal) telah dibahas di buku lainnya, yaitu “Etika Lingkungan” (2002), namun bila dikaitkan dengan paradigma Capra akan menunjukkan sebuah koherensi yang kuat antara “grand teori” dan “tradisi lokal.” Lagi pula, tidak bisa diandaikan begitu saja seolah-olah semua pembaca harus terlebih dahulu membaca karya penulis sebelumnya sebagai prasyarat membaca karya ini.
Dengan demikian dapat juga dijadikan acuan oleh civil society, maupun pengambil keputusan (decision maker) di Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap masa depan kehidupan di planet biru yang sungguh indah namun sedang terancam ini. Bahkan, juga dibutuhkan usulan kerangka pikir kritis bagaimana dunia pendidikan dapat dilibatkan secara substanstif lewat disain sistem dan strategi pendidikan sebagai upaya menciptakan “kebudayaan masyarakat berkelanjutan” pengganti “masyarakat modern mekanistik kapitalistik.”
Bagaimana pun, visi buku ini sangat mulia sehingga perlu didukung. Mengingat, krisis habitat (lingkungan) sebagai akibat ulah manusia yang terkesan kian tak terkendali, berimbas pada ancaman punahnya kehidupan di atas bumi kita, maka kampanye masif berkaitan dengan kesadaran lingkungan, atau melek lingkungan (eco-literacy) menjadi kebutuhan yang tidak bisa lagi ditunda. Buku ini merupakan salah satu bagian dari upaya mulia itu!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI