Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Selamatkan Kehidupan dari Ancaman Kepunahan

23 Mei 2016   21:20 Diperbarui: 23 Mei 2016   21:30 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ribuan jenis ikan mengapung mati di kawasan pinggiran Pantai Festival, Ancol, Jakarta, 21 Februari 2012. Ikan yang mati ini diduga teracuni tumpahan minyak di laut. (Rizal Adi Saputra (@chalriz) | Twitter twitter.com)

Setidaknya dua hal yang menurut saya akan membuat buku ini lebih komplit, dan dakwah intelektualnya lebih merasuk. Pertama: nilai-nilai tradisi di berbagai pelosok negeri ini sesungguhnya sangat “ramah lingkungan.” Teoretisasi pendekatan sistem ekologis Capra tentu saja memenuhi standar akademik untuk dirujuk. Namun kekayaan tradisi dan kearifan lokal yang tersedia di berbagai lingkungan budaya di Indonesia,  yang mampu bertahan ditengah ganasnya badai abrasi budaya modern yang bernafaskan paradigm Newton-Cartesian dan ditunggangi pula oleh sifat ekspansif kapitalisme (ironisnya: termasuk lewat pendidikan formal), modal sosial yang sudah “ada di sana” itu sesungguhnya akan memberi dukungan empirik dan providensi data induktif bagi “verifikasi” teori.  

Secara natural masyarakat kita sudah membangun kultur ramah lingkungan seperti yang diidealkan oleh Capra.  Ini sekaligus menjadi modal sosial (social capital) yang kuat bagi kampanye, dan desain strategi aplikatif untuk paradigma “baru” tersebut. Saya yakin, termasuk di Flores (Lembata) tempat lahir penulis buku ini pun kearifan-kearifan lokal (traditional knowledge) berbasis kehidupan berkelanjutan tersedia secara melimpah. Mungkin saja penulis menganggap tidak perlu karena tema ini (kearifan lokal) telah dibahas di buku lainnya, yaitu “Etika Lingkungan” (2002),  namun bila dikaitkan dengan paradigma Capra akan menunjukkan sebuah koherensi yang kuat antara “grand teori” dan “tradisi lokal.” Lagi pula, tidak bisa diandaikan begitu saja seolah-olah semua pembaca harus terlebih dahulu membaca karya penulis sebelumnya sebagai prasyarat membaca karya ini.

Salah satu kondisi tanah dan pepohonan di sekitar Sungai Shiyang.
Salah satu kondisi tanah dan pepohonan di sekitar Sungai Shiyang.
Kedua; Usulan strategi bagi penerapan paradigma sistemis-organis atau holistik dan berbagai turunan aplikatifnya layak diharapkan. Sebagai orang yang pernah menduduki pos tertinggi dalam pengambilan keputusan di kementrian Lingkungan Hidup, tentu penulis berkesempatan menguji model ideal (paradigma) ini, setidaknya dalam skala mikro (di kementriannya).  Berbagai sukses, tantangan, masalah, juga potensi dan peluang-peluang yang didasarkan atas hasil evaluasi penerapan kebijakan pasti akan bermanfaat. Bagian ini diharapkan memberikan gambaran, seberapa potensil “paradigma Capra” ini bisa diadopsi dalam kebijakan nasional kita. Jadi, semacam evaluasi kebijakan demi disain strategi dan disain kebijakan baru yang lebih efektif. 

Dengan demikian dapat juga dijadikan acuan oleh civil society, maupun pengambil keputusan (decision maker) di Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap masa depan kehidupan di planet biru yang sungguh indah namun sedang terancam ini. Bahkan, juga dibutuhkan usulan kerangka pikir kritis bagaimana dunia pendidikan dapat dilibatkan secara substanstif lewat disain sistem dan strategi pendidikan sebagai upaya menciptakan “kebudayaan masyarakat berkelanjutan” pengganti “masyarakat modern mekanistik kapitalistik.”

Bagaimana pun, visi buku ini sangat mulia sehingga perlu didukung. Mengingat, krisis habitat (lingkungan) sebagai akibat ulah manusia yang terkesan kian tak terkendali, berimbas pada ancaman punahnya kehidupan di atas bumi kita, maka kampanye masif berkaitan dengan kesadaran lingkungan, atau melek lingkungan (eco-literacy) menjadi kebutuhan yang tidak bisa lagi ditunda. Buku ini merupakan salah satu bagian dari upaya mulia itu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun