Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Golkar: Simbolisme Sparta yang Akan Punah?

6 Mei 2016   11:42 Diperbarui: 9 Mei 2016   08:13 1964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahkan, dengan posisinya di rangking kedua Partai Pemenang Pemilu 2014, Golkar tidak dilirik sama sekali, meski hanya untuk pasangan  Wakil Presiden.  Di koalisi KMP meski Golkar adalah yang “paling tua”  dan “paling besar” namun  perannya tidak menonjol. Lebih terkesan dijadikan figuran dalam pentas seram antagonis dari sutradara besar Fadli Zon dan Fahri Hamzah. 

images-572c1fffc0afbd3910d5dc92.jpg
images-572c1fffc0afbd3910d5dc92.jpg

Sumber: www.lagi.online

Lewat kriteria Calon Ketua Umum yang dirumuskan menjelang Munaslub, terlihat Golkar makin menegaskan diri sebagai Partai minimalis yang tertinggal di masa lalu.  Diperkuat dengan pemberlakuan syarat sumbangan 1 milyar bagi bakal calon pimpinan menunjukkan bahwa Golkar telah kolaps secara finansial. Ketujuh kriteria utama tidak saja mengesankan formalitas administratif semata, tetapi juga  memproyeksikan kesuraman nyata.

Akomodasi kepentingan klik terlihat lebih kuat daripada niat mentransformasi partai agar menyesuaikan diri dengan tuntutan masa depan. Nafsu untuk melestarikan rentang kendali lewat mekanisme pewarisan sulit disembunyikan di sini.  Munculnya Setya Novanto, yang diprediksikan berhadapan  dengan Ade Komarudin memperkuat tesis ini. Bahkan, kembali dimunculkannya  ahli waris tahkta Orde Baru, Tommy Suharto di pentas, meski secara sepintas, menunjukkan bahwa Golkar  sama sekali tidak bisa lepas dari “sang arsitek agungnya.”  Lebih kurang tujuh belas tahun dimasak dalam loyang reformasi  yang kadang sangat membara, tidak membuat partai ini menjadi lebih matang. Bahkan, seperti layakanya kakek pikun kembali merindu dekapan hangat dan puting susu induk semangnya.

Sebagai pengamat,  Golkar patut  diingatkan. Semoga tidak menjadi seperti polis Sparta, yang kebesarannya terkubur di dasar arsip sejarah perjalanan bangsa, dan kisahnya tinggal terdengar samar sebagai dongeng yang juga tidak lagi diminati generasi net-digital yang asing terhadap budaya tutur.

Salam Kompasiana!

Catatan: Artikel  ini terinspirasi dari tulisan A.Setyo Wibowo berjudul “Pendidikan Total-militer Sparta: Mewaspadai Fatamargana Isih penak Jamanku Tho?” dalam Majalah Basis No.3-4 Tahun 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun