Di bawah gemblengan “sistem pendidikan Orde Baru,” Golkar adalah organisasi mutakhir yang hidup dalam kedisiplinan ala militer, dengan sang Pembina di pusaran inti kekuasaan. Dialah bintang tertinggi dari semua bintang sejagat di cakrawala negeri. Pusat loyalitas mutlak dari warga “polis” Golkar, bahkan warga negara. Juga, dari pusaran inti inilah mengalir semua sumber daya kelimpahan, yang diatur dan didistribusikan secara tersistem melalui semua urat nadi orgaisasi.
Golkar menjadi tak tersaingi, apalagi dibandingkan hanya dengan dua parpol yang dibuat tak berdaya, yaitu PDI dan PPP. Dalam hal apa pun Golkar tidak bisa disaingi. Loyalitas, kedispilinan, sistematisasi pengkaderan, keahlian dan penguasaan ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Termasuk unggul dalam kelimpahan finansial dan sumberdaya politik (pos-pos kekuasaan). Semua pengusaha, semua pejabat militer, kepolisian dan sipil, mulai dari struktur terendah sejenis level RT (Rukun Tetangga) hingga Presiden adalah kader Golkar, atau setidaknya simpatisan. Bermodalkan etos kedisiplinan dan loyalitas mutlak memungkinkan sumber-sumber kelimpahan itu diatur secara terpusat. Di sini, kohesi sosial diantara warga Golkar tinggi, sebab sepenunya bergerak dibawah komando tunggal yang bekerja efektif secara hirarkhis dan dikotnrol dengan sangat ketat.
Masalah mulai muncul, ketika “pusat edar partai” terlempar dari jagad raya politik nasional. Seperti anak-anak itik kehilangan induk, atau pasukan tempur yang kehilangan komendan. Demikianlah, para kader melesat keluar dari garis edarnya, tercerai berai, lalu mencari keseimbangan baru, pusat orientasi baru. Hanya dengan modal “pendidkan Orde Baru” yang monopolitis para kader ini memiliki kemampuan survival dan daya kreasi yang tinggi untuk bertahan di pusaran kekuasaan.
Namun, rivalitas antara kader untuk memperbutkan posisi “pusat edar” yang ditinggalkan itu, dengan berbagai konsekuensi kenikmatannya tak bisa terhindarkan. Tidak ada lagi kekuatan superior, tidak ada lagi pemegang tali kendali tunggal. Rivalitas berpencar liar menyasar posisi-posisi strategis yang ada, baik di internal partai, maupun di posisi-posisi strategis di berbagai pos kekuasaan, termasuk penguasaan sumber-sumber kekayaan yang secara tradisionil merupakan “milik Golkar,” menyebabkan ambruknya kohesi sosial, loyalitas partai melemah, sikap rela berkorban menguap, sebaliknya pementingan diri merebak liar.
Sumber-sumber makin langka karena arus besar reformasi telah melululantakkan seluruh bangunan monopoli Golkar dan hak istimewa sebagai anak emas penguasa. Terbiasa dididik dalam sebuah kultur, dimana segala sesuatu diselesaikan dengan uang, fasilitas dan kemudahan tersedia, back up dari penguasa di masa lalu menyebabkan Golkar tidak fasih menggunakan jurus lain dalam mengelola organisasi (partai). Reformasi membuat Golkar kehilangan roh, kehilangan daya juang termasuk kehilangan kecerdasan.
Gamang, kalut dan gagal mereposisi organisasi untuk diarahkan mengikuti arah angin reformasi, para pekerja Golkar tergerus ke dalam suasana romantisme. Kerinduan akut untuk kembali ke masa lalu, dimana selalu ada kharisma otomatik melekat pada para pemimpin. Siapa yang menjadi pemimpin adalah yang dekat, atau direstui oleh “sang sumber.” Dan, legitimasi itu sertamerta memateraikan loyalitas komunal anggota. Tanpa reserve. Setiap simpul kepemimpinan dalam struktur merupakan pusat distribusi kelimpahan yang memberi semacam wibawa super ke diri pemimpin. Olehnya pemimpin benar-benar jadi simbol “big bos,” yang bahkan omongannya pun berkhasiat mantra alkadabra.
Sekali lagi, itu masa lalu. Kekinian Golkar adalah persaingan tanpa akhir untuk menguasai pos-pos yang banyak kali tidak lagi disadari telah kehilangan selang distribusi kelimpahan. Mereka seperti memperebutkan cheque-cheque kosong, wasiat-wasiat yang isinya daftar hutang, dan beban piutang tanggungjawab masa lalu yang membelit leher. Kekuasaan bukan lagi kelimpahan, bukan lagi kenikmatan, melainkan beban, tanggungjawab, dan kerja keras! Perbedaan mendasar ini yang tidak banyak disadari.
Lewat penyelesain konflik internal yang berlarut-larut kita mudah menyimpulkan kebenaran uraian di atas. Setidaknya telah terbelah menjadi empat Partai Politik, yaitu Golkar, NasDem, Hanura, dan Gerindra. Lalu, terbelah lagi menjadi Golkar Kubu Aburizal Bakri dan kubu Agung Laksono, yang setelah lewati jalan berliku penuh intrik dan tekanan terpaksa bersatu lagi, “hanya” untuk kepentingan penyelenggaraan Munaslub guna memilih pimpinan baru. Siapa bisa menggaransi kondisi pasca hasil Munaslub?
Kualitas Golkar mudah teramati lewat pengelolaan isu dan perumusan kriteria-kriteria calon Ketua Umum yang hendak dipilih dalam Munaslub 2016. Pasca pencetusan dan penyelenggaraan Konvensi Partai (sebuah terobosan brilian yang berkontribusi besar bagi perkembangan politik kontemporer Indonesia) di era kepemimpinan Akbar Tanjung, Golkar telah jarang memprodukisi ide-ide kreatif dan membuat terobosan. Lebih terlihat miskin inovasi. Golkar juga jarang mem-pioneri isu-isu pembangunan. Malahan terkesan tenggelam dalam hiruk pikuk permainan isu politik aktual yang bising dan liar. Justru tersedot dalam keramaian isu murahan kontra produktif dari “para pemain baru” Parpol gurem, yang makin membenamkan pamor Golkar ke dasar yang lebih dalam. Golkar seperti kakek-kakek pikun yang menjadi penghibur dan “obyek bermain” bagi cucu-cucunya.