Seperti dilansir http://nasional.harianterbit.com., Presiden Joko Widodo menyatakan akan menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) jika pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Tax Amnesty (Pengampunan Pajak) di DPR mandek. "Kita sudah siapkan PP kalau tax amnesty di sana (DPR) punya masalah," kata Presiden usai membuka Indonesia E-Commerce Summit and Expo di Indonesia Convention and Exhbition (ICE) Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (27/4/2016). Artinya, Presiden Jokowi sudah mengantisipasi ketidaksiapan DPR mensahkan RUU tax amnesty, yang menurut pemerintah sangat dibutuhkan saat ini.
Rupanya, sebelum Panama Papers diumumkan ke publik Internasional, melalui Menteri Keuangan dan Direktur Pajak, Presiden Jokowi sudah dan sementara Membuat Daftar “para pelanggar pajak,” yang bisa disebut sebagai Jokowi Papers. Jokowi Papers bersumber dari otoritas pajak negara-negara kelompok G-20. Lewat kerjasama bank antar negara itu, Jokowi Papers akan memuat daftar aset milik orang Indonesia yang tidak dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahuanan pajak. Jadi, "tim kerja Jokowi Papers” menggunakan setidaknya empat sumber, yaitu selain yang sudah disebutkan di atas juga ditambahkan dengan data Panama Papers, data dari inetelejen via BIN, dan sumber utama yaitu dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Dalam Dialog Publik 30 Maret 2016 di Balai Kartini, Presiden Jokowi menekankan era keterbukaan, dimana data semua bank akan dibuka sehingga di negara mana pun dana seseorang disimpan akan ketahuan. “Kamu simpan uang di Singapura, di Swis, berapa triliun, berapa miliar, kita semua akan tahu. Jadi bapak ibu kalau ada simpanan di Swis, Singapura, Hong Kong, nanti tidak bisa ditutup lagi, jadi bagi yang simpanannya banyak, hati-hati,” demikian Jokowi memberi peringatan keras.
Secara detail Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro, seperti dilansir beritateratas.com., menjelaskan bahwa telah disetujui perjanjian Sistem Pertukaran Informasi Otomatis atau Automatic Exchange System of Information (AEoI) antarnegara oleh forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Turki pada November 2015. Menurut Bambang, AEoI artinya data-data nasabah perbankan tidak lagi menjadi satu kerahasiaan melainkan bisa diakses oleh otoritas negara manapun dunia. Sebagai sistem yang mendukung pertukaran informasi rekening wajib pajak antarnegara, melalui sistem ini wajib pajak yang membuka rekening di negara lain akan langsung terlacak oleh otoritas pajak negara asal. Wooooow!
Negara-negara anggota G-20 telah menyepakati untuk mengadaptasi ketentuan keterbukaan informasi perbankan itu, yang secara global baru akan dimulai 2018. Namun Indonesia dan sejumlah negara lain memutuskan akan mempercepat penerapannya. Rencananya Indonesia akan berlakukan per September tahun 2017.
Inilah makna “tzunami” dari Jokowi Papers. Bom nuklir bagi para penjahat perpajakan, pengemplang pajak!
Mengapa? Tahun 2017 adalah momentum Pilkada serentak Gelombang II yang dilakukan di 7 Provinsi, dan 94 Kabupaten/kota. Artinya, semua bakal calon harus memastikan diri bukan bagian dari penjahat perpajakan. Sebab, nama-nama itu akan dibuka dan publik mengetahunya. Meski jadwal pilkada Gelombang II dilakukan lebih awal (Februari 2017), sudah pasti nama-nama yang tercantum di Jokowi Papers ketika diumumkan, walau sudah terpilih dan mungkin sudah dilantik sebagai kepala daerah, tentu akan menghadapi masalah serius.
Pun, setelah pilkada serentak Gelombang II tahun 2017 akan segera disusul Pilakada Serentak Gelombang III sekitar Juni 2018. Lalu diikuti Pileg dan Pilpres yang diselenggarakan secara serentak 2019. Bayangkan, semua yang balon kepala daerah, legislatif di tingkat Kabupaten dan Kota, juga DPRI yang jumlahnya puluhan ribu, mesti bersih dari “buku suci” Jokowi tersebut. Kampanye-kampanye politik akan banyak merujuk “Jokowi Papers” dan rasanya bagi mereka yang namanya terkait sudah pasti menjadi musuh masyarakat dan musuh negara (common enemy).
Tidak hanya di situ. Kesempatan untuk menduduki jabatan karier maupun jabatan publik sudah harus bercermin pada “daftar pendosa” di Jokowi Papers itu. Artinya, mereka yang kelak menjadi pemimpin dipastikan bukanlah “penjahat perpajakan,” melainkan pembayar pajak yang dapat dijadikan teladan. Daftar kekayaan harus jelas dan dilaporkan secara berkala. Dibawah pemerintahan Jokowi, sebagian besar masyarakat sudah merasakan manfaat langsung dari membayar pajak ke negara, sehingga mereka akan lebih kritis terhadap perilaku sesama warga, apalagi pejabat yang mencoba menghindari pajak.
Bukankah dengan demikian, Jokowi Papers jauh lebih mengerikan daripada Panama Papers? Makanya, pastikan nama Anda pun tidak tercantum didalamnya, kalau ingin menjadi warga negara teladan dalam hal membayar pajak. Terutama bagi yang berkepentingan dengan Pilkada, Pileg, Pilpres, dan jabatan-jabatan publik lainnya, jangan coba-coba!