Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Mundur, Djarot-Heru Pimpin DKI

7 April 2016   23:26 Diperbarui: 16 April 2016   11:24 5732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Djarot-Heru, pasangan alternatif di Pilkada DKI 2017"][/caption]Hampir enam bulan terakhir tulisan-tulisan terkait Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dan Pilkada 2017 sangat mendominasi pemberitaan maupun tulisan di berbagai media, baik medsos, media elektronik mapun cetak. Munculnya berbagai kandidat “calon lawan Ahok,”  mulai dari menteri (mantan) hingga artis, pengusaha dan politisi yang ikut ramai mendekorasi isu semakin memicu tensi politik di DKI, seolah-olah Pilkada sudah di depan mata.  Apalagi dengan berbagai gaya dan jurus serangan makin kencang mengarah Ahok (yang ironisnya nampak makin kokoh), variasi intrik menarik perhatian dan simpati publik, didukung aksi dan tuntutan (pokoke) mem-pidana-kan Ahok membuat suasana makin gaduh-riuh. Frase populer dari Sutan Batugana, mantan politisi Partai Demokrat "Ngeri-ngeri sedap," mungkin cukup tepat menggambarkan situasi. Sebuah kondisi yang apabila tidak dipikirkan “jalan tengahnya” dapat berpotensi mengkreasi instabilitas, tidak saja di DKI melainkan nasional. Lantaran bobot ngerinya lebih hebat dari sedapnya!

Saya mencoba mengajak kita berpikir alternatif. Ahok tidak harus maju di Pilkada DKI 2017. Ahok sebaiknya mundur lalu mendukung Djarot Syaiful Hidayat (Djarot) berpasangan dengan Heru Budi Hartono (Heru) atau Djarot-Heru maju lewat PDIP. Bila Nasdem dan Hanura tetap di kubu ini, ditambah dengan dukungan para pendukung Ahok (tentu tidak bisa diharapkan semuanya) yang telah memberikan komitmen melalui foto copy KTP di Teman Ahok (TA), maka pasangan ini dipastikan menang mutlak. 

Bahkan, dengan dukungan PDIP + TA saja, calon pasangan Djarot-Heru akan sulit dikalahkan. Prinsipnya, kepemimpinan Ahok harus tetap dipakai untuk posisi lain sehingga perubahan ideal seperti yang menjadi impian TA (dan para pendukung yang telah memberikan KTP) dari kepemimpinan Ahok tetap terakomodir.  Ini salah satu pra-kondisi (prasyarat) yang harus diandaikan agar aspirasi dan kepentingan pendukung Ahok yang cukup banyak itu terjamin terakomodasikan.

Adapun alasan-alasan Ahok sebaiknya mundur dan memajukan Djarot-Heru adalah sebagai berikut:

Pertama; Ahok (yang melanjutkan pekerjaan Jokowi) sebagai Gubernur DKI telah berhasil memperjelas “master plan” dan membuat “roadmap” pembangunan DKI, lalu mengarahkan semua energi potensil untuk meletakkan arah pembanguan pada rel yang tepat. Sejumlah “batu sandungan” yang sangat berpotensi sebagai penghalang telah diratakannya agar menjamin bergulir-mulusnya roda pembangunan DKI. Dengan demikian, pelanjut Ahok tinggal meneruskan apa yang telah dan sedang berjalan saat ini. Bagaikan lahan yang telah ditebas, digamburkan dan dipersiapkan, bahkan sebagian bibit unggul telah disemai para pelanjut tinggal menanam, merawat dan memelihara hingga bisa panen dengan baik. Para pencuri dan perampok pun telah dibuat kapok, sehingga setidaknya bila akan mencuri lagi mereka berhitung banyak, dan itupun jumlah pencurinya sudah tinggal sedikit.

Kedua; Djarot selama ini telah mendampingi Ahok sebagai wagub sehingga sudah menguasai peta permasalahan serta karakter masyarakatnya. Selain Djarot punya track record yang bagus selama menjadi walikota Blitar (2 periode), ia juga pernah menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Timur. Bonus lainnya, ia sebelumnya adalah dosen di Untag Surabaya. Dengan demikian Djarot punya pengalaman komprehensif. Bermodalkan pengalaman yang amat kaya dan variatif seperti itu, didukung oleh rekan jejak yang terandalkan, Djarot sangat sanggup memimpin DKI. Potensi yang justru akan mandek bila tidak diberi kesempatan mengembangkannya.  

Ketiga; sebagai pemimpin yang sama-sama berprestasi waktu  menjadi kepala daerah masing-masing di Belitung Timur dan Blitar, Ahok maupun Djarot layak masuk dalam “daftar pemimpin nasional yang bersih dan teruji.” Bila tetap berpasangan, Djarot cenderung tenggelam karena kapasitas kepemimpinannya terbatasi oleh luasan kewenangan sebagai “hanya” Wagub.  Padahal, negara ini masih sangat defisit pemimpin bersih dan berkinerja bagus. Dalam kondisi krisis kepemimpin, sebaiknya para pemimpin yang telah teruji sukses ini jangan biarkan “numpuk” di satu posisi, satu daerah, atau satu lembaga. Apalagi mengadu-domba mereka yang hanya berakibat saling mengalahkan sehingga kita makin terperosok dalam krisis dan status defisit pemimpin.

Keempat; dengan  memasangkan Djarot dengan Heru, Djarot “mempersiapkan” Heru untuk kelak melanjutkan kepemimpinan di DKI. Ini diperlukan agar menjamin kontinuitas pembangunan. Tanpa bermaksud mengabaikan mekanisme demokrasi dalam Pilkada, atau kerja Parpol maupun relawan (jalur perseorangan) dalam menyeleksi dan menghadirkan kandidat, setiap pemimpin memang seharusnya memikirkan dan mempersiapkan kader pelanjut. Bahwa, kelak ia terpilih atau tidak, itu soal lain. Bukankah suksesnya seorang pemimpin harus diukur dari kemampuannya mempersiapkan pemimpin?

Sebab, meski tidak terpilih nantinya, bila kepemimpinannya telah teruji selama menjadi wagub, Heru sudah sepantasnya dipercayakan menduduki posisi lain yang lebih tinggi. Djarot sendiri, pasca menjadi Gubernur dapat dipromosikan ke posisi lain yang lebih tinggi, termasuk misalnya ikut dalam kontestasi Pilpres.  Idealnya, dalam pilpres 2019 Djarot sudah “naik posisi,” lalu Heru melanjutkan kepemimpinan di DKI, sambil mempersiapkan kadernya (wakilnya).  Dengan cara ini (diasumsikan juga dilakukan di daerah lain), makin banyak terseleksi pemimpin-pemimpin kompeten dan berintegritas sehingga akan mempercepat pemulihan dari krisis kepemimpinan yang kita alami.

Kelima; bila Djarot  berpasangan dengan Heru akan menjadi win win solution (bahkan triple win solution) bagi Ahok dan PDIP, juga bagi TA dan masyarakat DKI. Harus diakui, meskipun kecil penolakan terhadap Ahok terlihat makin gencar.  Hingga, seolah-olah para lawan Ahok bersatu dalam semangat “asal bukan Ahok.” Ini makin terbukti, ketika M.Sanusi yang ketua Komisi  di DPRD DKI tertangkap tangan terlibat suap, justru Ahok yang didemonstrasi dan dituntut untuk ditangkap oleh KPK. Sebuah kondisi yang jelas tidak ideal. 

Meski tidak harus meragukan kesanggupan Ahok mengatasi berbagai gangguan, disebabkan pilkada 2017 akan segera disusul Pemilu dan Pilpres 2019 dikhawatirkan suasana kurang kondisif di DKI akan ikut mewarnai persiapan Pemilu dan Pilpres. Alasan lain adalah pasca memilih maju Pilkada 2017 lewat jalur independen, hubungan Ahok-PDIP sedikit terganggu.  Maka, dengan Ahok mundur dan memajukan Djarot-Heru akan menjadi alternatif terbaik yang patut dipertimbangkan, demi masa depan DKI dan juga Indonesia. 

Keenam; lalu Ahok kemana? Orang macam Ahok cocok ditempatkan di banyak posisi. Tetapi menurut saya, posisi paling ideal untuk Ahok adalah Mendagri, Menpan, menteri ESDM, Kabulog, dan lainnya. Presiden Joko Widodo sudah mengenal Ahok sehingga beliau tentu lebih tahu di mana posisi yang paling cocok. Meski kinerja Mendagri, Tjahjo Kumolo saat ini nampak tidak buruk, Tjahjo bisa diberikan posisi lain bila Ahok dianggap lebih cocok di Mendagri. Sesungguhnya saya lebih favoritkan Ahok di pos ini. Karakter macam Ahok sangat diperlukan untuk “menertibkan dan mendisiplinkan” para kepala daerah nakal yang kerap tertangkap terlibat korupsi, narkoba, kejahatan perpajakan, dan lainnya. Ia akan menjadi suri-teladan (dalam hal transparasni dan anti korupsi), sekaligus guru dan mentor  bagi kepala-kepala daerah seluruh Indonesia. E-budgeting seperti yang telah sukses dilakukannya di DKI akan menjadi standar pelayanan birokrasi seluruh Indonesia. Penggajian dan tunjangan berbasis kinerja akan “memaksa” para kepala daerah dan pimpunan birokrasi bekerja keras melayani rakyat, dan akan menjadi lebih produktif, yang segera diperkuat penerapan key performance index bagi PNS di DKI, yang diberlakukan per Mei 2016.

Demikian sejumlah pertimbangan mengapa perlu memikirkan Ahok tidak usah maju dalam Pilkada DKI 2017, dan membiarkan Djarot-Haru pimpin DKI. Teman-teman tentu bisa menambahkan alasan lain. Tetapi, bagaimana pun juga, ini hanyalah pikiran alternatif.  Mungkin hanya mimpi. Meski akan lebih indah kalau jadi kenyataan!    

Salam kompasiana!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun