[caption caption="Sumber: ceritamedan.com"][/caption]Marilah kita mulai belajar melintasi garis deparpolisasi yang aneh dan lucu itu. Itu hanyalah cemburu buta partai politik (parpol), khususnya PDIP karena merasa jagoannya direbut anak-anak muda cerdas, kreatif, cantik gemulai dan bekerja selalu dengan target terukur. Kata pepatah, cemburu adalah manifestasi cinta yang paling jujur. Ya, itu anggap saja sebuah kejujuran cinta!
Betapa tidak terukur? Mengumpulkan hampir 800-an ribu KTP di Ibukota Jakarta yang terkenal macet, bahkan di jalur tol, dibarengi kesibukan penduduknya yang hampir 24 jam, dalam waktu relatif singkat bukanlah pekerjaan mudah. Dilakukan dengan biaya sendiri dan pas-pasan, sambil mencari dana dengan hanya “jualan asesoris,” sembari melakukan aktivitas rutin mereka sendiri seperti kuliah, bekerja, mungkin juga berpacaran seperti kepantasan anak muda. Apalagi, ambisi kuat mereka mengejar target 1 juta! Itu bukanlah pekerjaan mudah. Makanya, untuk menghadiri undangan acara prestisius di ILC bertajuk “Siapa Penantang Ahok” saja gak sempat (hehehe). Gaya kerja yang bersemangat dan bertarget itu bersenyawa dengan Ahok, tokoh idola mereka. Chemistry-nya amat kuat, demikian kira-kira sebutan para metafisikus (istilah keren beraroma intelelek untuk para peramal).
Melangkah lebih maju, melompat ke depan untuk memikirkan bagaimana parpol bisa merebut kembali hati rakyat. PDIP pernah menjadi idola baru di awal keruntuhan Orde Baru. Di pemilu pertama pasca Orba, rakyat berbondong-bondong ke TPS-TPS menitipkan aspirasinya ke PDIP. Alhasil, PDIP keluar sebagai pemenang Pemilu 1999, yang mencatatkan rekor mutlak 33,74% (sekitar 11 persen lebih tinggi dari pemenang kedua Golkar yang hanya 22%). Sebuah angka yang tidak pernah lagi dicapai oleh parpol mana pun hingga pemilu 2014. Legitimated!
Apa yang membuat PDIP dijadikan idola waktu itu? Citra Megawati sebagai simbol perlawanan rezim status quo, juga bersama PDIP sebagai pihak yang selalu di-dzalimi, gagasan-gagasan cerdas tokoh-tokoh baru yang bukan pakem Orba, dan sebagainya. Rakyat menaruh banyak harapan. Ingin melihat gerak cepat, lincah, fresh dan terutama keberpihakan riil bagi rakyat kecil sebagaimana semboyannya: “partainya wong cilik” .
Tetapi, apa yang terjadi? Kita sudah tahu kelanjutan kisahnya. Nasib yang sama, tentu dengan narasi yang sama pula dialami parpol lainnya. Awalnya diberi kepercayaan oleh rakyat di satu pemilu, kemudian dicabut (ditandai dengan berkurangnya prosentasi hasil) di pemilu berikutnya. Hingga pada akhirnya lahirlah “jalur independen” seperti dikenal karena sedang kinclong menggoda saat ini.
Apa yang perlu dilakukan, agar merebut kembali hati rakyat?
Pertama. Mulai saja dengan yang paling aktual (mumpung lagi keluar di running text di monitor TV tuh), yaitu parpol dorong kadernya di DPR-RI supaya segera selesaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan masukkan ke KPK. Kalau kelamaan, atau bahkan ditunda-tunda pengisiannya, rakyat pasti curiga ada apa-apanya. Sudah pasti kelakuan kader-kader yang bandel dan lamban seperti itu berimbas ke kepercayaan publik pada parpol. Jangan marah kalau rakyat makin tidak percaya!
Kedua. Dalam mempersiapkan kandidat untuk jabatan publik, baik di Pilkada, posisi menteri, anggota legislatif, atau posisi lainnya seperti Kapolri, Jaksa Agung, dsb, pastikan kader yang diajukan itu bersih dari korupsi atau bentuk kejahatan lainnya. Bersih, artinya bersih! Bukan sekadar karena “belum ada status hukum tetap”, melainkan bersih dari berbagai indikasi, dari kecurigaan dan sejenisnya.
Ketiga. Akan lebih bagus kalau kader yang diajukan, sebagaimana butir kedua di atas, merupakan idola dan pilihan masyarakat. Jangan buat survei abal-abal untuk memanipulasi persepsi publik. Itu percuma, bahkan berbahaya. Karena publik punya mata nalar lebih tajam, daya penciuman yang lebih sensitif mengendus berbagai bau bangkai meski disembunyikan di balik bungkusan tisu wangi. Hakikat survei hanyalah “mendokumentasikan” apa yang terjadi sesungguhnya di tengah masyarakat, dirasakan dan disaksikan oleh masyarakat. Jadi bukan menempelkan angka-angka bombastis pada jaket kandidat lalu berharap persepsi publik terseret mencium dan mengidolakannya. Angka merupakan scoring terhadap kinerja dan kualitas kebaikan seseorang di masyarakat, bukan kebalikannya.
Keempat. Tidak terlibat korupsi itu sudah mutlak! Tidak ada tawar menawar. Itu hitam putih! Lebih dari itu, berikanlah hukuman tegas dan keras sekeras-kerasnya kepada kader yang terbukti korupsi. Jangan tunggu sampai ada bukti hukum tetap, tetapi langsung saja berikan sanksi Partai, sesuai bobot kesalahannya. Usahakan parpol-lah yang lebih dahulu memberi hukuman. Tokh, kalau kelak tidak terbukti bisa dipulihkan lagi, bahkan bisa difasilitasi partai untuk menuntut pemulihan nama baik, baik baginya pribadi maupun bagi parpol sebagai tempatnya bernaung.
Kelima. Hentikanlah semua cara-cara adu domba dan adu ayam di Pilkada. Para kader pemimpin daerah yang telah berkualitas (apapun parpol pengusungnya) dan diidolakan masyarakat setempat, janganlah dirampas untuk diadu di daerah lain. Pilkada bukanlah kasino politik tempat beradu untung. Pilkada juga bukan panggung tinju, tempat legal bagi orang berantem sampai berdarah-darah sementara penyelenggara dan penonoton menyaksikannya dengan riang gembira.
Keenam. Biarkanlah Ahok maju dengan dukungan jalur independen. Itu sudah punya payung hukum. Rakyat sudah tahu itu. Jangan coba kaburkan, sebab akan terkesan parpol sangat meremehkan kecerdasan publik. Kalau memang ada kandidat parpol yang dianggap punya program kerja strategis, lebih efektif, dan lebih meyakinkan untuk memajukan Jakarta, silahkan diajukan menurut mekanisme parpol. Ahok dan TA juga memilih maju dengan mekanisme jalur independen. Masing-masing jalur punya mekanisme, jadi saling menghargailah.
Ini hanya enam catatan kecil, yang sifatnya sekadar mengingatkan, sebab saya yakin parpol pun sangat memahaminya. Bahkan, lebih paham dan pasti sudah menginventarisasi lebih banyak jurus untuk merebut kembali hati rakyat. Jadi, lakukan saja dengan tulus. Karena rakyat juga punya ketulusan dalam menilai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H