Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sudahlah Jenderal, Saatnya Pensiun dan jadi Negarawan!

5 Februari 2016   19:49 Diperbarui: 6 Februari 2016   01:09 2645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

4. Mengandalkan kritik dan “permusuhan” terhadap penguasa yang memungkinkan mereka menyatukan emosi massa yang kurang puas dengan kekuasan.

5. Intrik-intrik belakang layar dengan kekayaan modifikasi dan ragam kreatifitasnya.

Ketika tzunami reformasi meluluhlantakkan pilar-pilar bangunan rezim, dengan modalitas politik yang telah diwarisi, para anak didik Orba ini mampu survive, bahkan lincah berselancar di atas goncangan besar reformasi. Mereka juga membuktikan kemampuan bisa tampil kembali di atas pentas sebagai kekuatan (seolah) baru, berjuang dibawah jargon “reformasi” dan “paradigma baru” atau sejenisnya.

Meski mewarisi resources politik yang kaya, didukung kesuksesan mengusung jargon reformasi dan paradigma baru, para jenderal politik ini sesungguhnya memiliki satu kelemahan utama, yaitu tidak menyadari bahwa zaman telah berubah! Mereka gagal membaca tuntutan zaman dan beradabtasi dengan gaya politik mutakhir mengikuti selera generasi baru.

Gagalnya parpol-parpol baru, yang dibesut oleh para “jago tua” ini membuktikan kebenaran tesis di atas. Mereka sama sekali tidak bisa mandiri melepaskan diri dari aura Cendana.  Lepas dari pesona Orba bagaikan layang-layang putus tali. Dengan mengacu kitab politik Orba, mereka  mencoba berbagai resep pemungkas, pun sudah dimodivikasi dan dipercanggih, namun tetap tidak berhasil menghipnotis massa, seperti terjadi pada era sebelumnya. Era dimana ayat-ayat majik (magic) itu dikreasi, dan masih dibawa kendali sang kreator.  

Pertarungan politik zaman mutakhir Indonesia mengandalkan jurus pemungkas yang baru, yaitu berpusat pada kinerja, rekam jejak dan integritas. Seperti kita saksikan dalam berbagai momen politik, pihak-pihak yang menggunakan lima jurus lama di atas selalu gagal panen dukungan. Justru membangkitkan kembali memori pahit masa lalu, ketika semua dikendalikan dan diatur sehingga rakyat hanya boleh bermain dalam  skenario yang telah dipersiapkan. Roh zaman telah terbentuk dan mulai rentan terhadap virus gaya lama.

Rakyat selalu elergi dan mual-mual melihat gaya kampungan itu. Maka, tokoh-tokoh pendatang baru yang masih fresh, dengan gaya politik model baru seperti disebutkan di atas menemukan forum pada puncak-puncak harapan dan imajinasi massa yang telah lama dipendam. Jokowi (Joko Widodo), Ahok (Basuki Tjahaja Purnama),  Ridwan Kamil, Risma (Tri Rismaharini), Nurdin Abdullah, Dedy Mulyadi, adalah beberapa diantaranya yang dapat digolongkan kedalam politik gaya baru ini.

Dengan latar belakang di atas, saya hendak mengatakan bahwa daya pikat Yusril Ihza Mahendra, dan para jenderal politik tua lainnya sudah lewat. Mereka sudah “nampak kaku” di atas pentas dengan disain interior yang serba baru, juga “aturan-aturan” bermain yang baru.  Selama mereka tidak bisa mengadaptasi aturan-aturan baru, dan mempercanggih gaya politik mereka untuk disesuaikan dengan kebutuhan zaman, mereka sudah harus relakan diri duduk di kursi penonton, sebagai penonton yang arif nan bijaksana.

Mengatakan hal di atas tidak berarti saya tidak mendukung Yusril maju sebagai Cagub DKI 2017. Bahkan, nama Prabowo Subianto juga sempat disebut-sebut  (http://seword.com/2016/01/30/prabowo-anis-paling-ideal-lawan-ahok-2/), atau oleh kompasioner Asaaro Lahago (tulisan Kompasiana, terbit 31 Januari 2016), katakanlah sebagai “calon ideal” lawan Ahok di Pilgup DKI 2017.  Calon lain yang hendak dimajukan dari kategori ini silahkan. Dan, semua bisa maju dengan dukungan lintas parpol atau semacam konvensi besar. Saya berharap keinginan itu terealisasi, karena mau membuktikan tesis saya, bahwa “para jenderal politik” masa lalu sangat sulit beradabtasi dengan kebutuhan zaman. Gaya bertinju mereka sudah ketinggalan sehingga tidak lagi mampu bergerak lincah di atas ring yang butuh kecepatan dan ketepatan tinggi.

Kalau Ridwan Kamil yang berhasil dimajukan, dan saya masukkan beliau dalam kategori “politisi gaya baru” seperti halnya Ahok, saya yakin “partai final” ini lebih menarik ditonton. Sebab, kompetisinya substansial; sama-sama mengandalkan kualitas, prestasi, rekam jejak, kredibilitas, dan sejenisnya. Sehingga siapa pun yang menang di antara kedua figur ini, masyarakat DKI dan demokrasi Indonesia diuntungkan.

Sementara, para jenderal politik tua seharusnya pensiun, lalu menjadi pengamat dan negarawan. Bersikap arif bijaksana memotivasi generasi ini maju dan mensukseskan pembangunan politik nasional dengan gaya baru, dimana demokrasi substansial disemai dan ditumbuhkembangkan, kepentingan negara dan masyarakat benar-benar diutamakan, posisi dan kekuasaan dijadikan instrumen pelayanan guna mencipta kemajuan dan kesejahteraan bersama, undang-undang dan hukum menjadi panglima yang menyediakan rambu-rambu jalan menuju tercapainya tujuan hidup bernegara.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun