Disamping penanganan kasus pelanggaran etika oleh MKD yang jelas-jelas setengah hati, bahkan cenderung berakrobat liar ke luar substansi, pendapat para ahli hukum seperti kita saksikan dalam dialog di acara ILC TV One beberapa waktu lalu menunjukkan ketidakpastian. Mengikuti proses MKD maupun ILC kita memperoleh kesan seolah-olah pelanggaran etik Setya Novanto (SN) lewat hasil rekaman pembicaraannya dengan MR dan MS tidak terbukti, debatable, atau setidaknya tidak dapat dikatakan sebagai pelanggaran.
Pun lewat dua sohib sehidup sematinya SN, yaitu Fadli Zon dan Fahry Hamzah selalu dipertanyakan bukti “pencatutan nama presiden” dalam rekaman percakapan itu. Dalam Surat Laporan yang dimasukan menteri ESDM, Sudirman Said (SS) ke MKD, dengan tegas disebutkan “nama Ketua DPR RI Setya Novanto, yang diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla, untuk perpanjangan kontrak perusahaan tambang PT Freeport Indonesia.” Fadli Zon misalnya di liputan 6 berkata "Saya jamin tidak ada pencatutan dalam rekaman ini, buktikan. Saya juga ahli bahasa. Tidak ada di situ dibilang minta saham 20 persen, 11 untuk presiden, 9 untuk JK. Itu tidak ada," (http://news.liputan6.com/ read /2370685/fadli-zon-sebut-sudirman-said-catut-nama-presiden)
Bagaimana membuktikan lewat rekaman itu ada peran pencatutan nama presiden?” Bagaimana membuktikan peran-peran SN lewat transkrip rekaman itu?
Terinspirasi dari tulisan Stanislaus Sandarupa di harian Kompas (9/12/15) berjudul Dekonstruksi Penutur Kasus Freeport, dimana beliau menggunakan pendekatan antropolinguistik, saya ingin mengembangkannya untuk menunjukkan peran SN. Saya berpendapat bahwa lewat pendekatan ini peran-peran SN yang mengindikasikan pelanggaran etis makin kuat.
Dengan menggunakan pendekatan dramaturgi dari Erving Goffman, yang prinsip utamanya memandang dunia sosial sebagai panggung dimana setiap orang sebenarnya melakukan permainan peran. Dengan kata lain, kehidupan sosial merupakan serentetan pertunjukan drama kehidupan di atas sebuah pentas metaforik.
Membaca Peran SN di Panggung Darmatugi
Untuk memahami “panggung dramaturgi” ini peran didekonstruksi dalam dua sudut, yaitu penutur dan pendengar. Pihak penutur disebut sebagai format produksi ujaran. Dari sisi ini terdapat tiga peran kunci:
- Peran Animator, yaitu orang yang mengujarkan kata-kata untuk menyampaikan pesan.
- Peran Author (pengarang), yaitu yang bertanggungjawab atas seleksi kata-kata dan nada bicara.
- Peran Prinsipal yaitu orang atau institusi yang bertanggungjawab atas pesan atau kata-kata yang diucapkan.
Dengan memahami ketiga peran kunci di atas, kita dapat mengamati para pemain dan peran masing-masing lewat beberapa segmen teks rekaman “papa minta saham” yang telah beredar luas, khususnya berkaitan dengan tuduhan pelanggaran etik SN (transkip lengkap bisa ditonton di http://papa.ga/ atau dibaca di http://news.hargatop.com/ 2015/12/03/isi-transkrip-lengkap-rekaman-ms-sn-mr-tentang-kasus-papa-minta-saham-freeport-part-7/4118394.html).
Secara keseluruhan, dalam transkrip itu terdapat tiga animator, yaitu Maroef Sjamsoeddin (MS), Setya Novanto (SN) dan Muhammad Riza (MR). Tetapi karena tujuan saya adalah menunjukkan peran SN, maka hanya segmen teks terkait saja yang dipotong untuk dipentaskan.
SEGMEN TEKS-1:
MR: “Kalau gua, gua bakal ngomong ke pak Luhut, janganlah ambil 20%, ambillah 11% (untuk presiden?), kasihlah JK 9%. Harus adil. Kalau nggak, ribut”
SN: iya. Jadinya pembicaraannya pak Luhut di San Diego, dengan Jim Bob, empat tahun lalu. Itu, dari 30% ...dst”
Di segmen ini jelas animatornya adalah MR yang memproduksi ujaran, sekaligus memainkan peran pengarang dan prinsipal. Tetapi dengan mengatakan “iya,” (dan seterusnya yang prinsipnya menegaskan ujaran MR), SN juga aktif memainkan peran Pengarang dan Prinsipal, karena mau tidak mau dikaitkan dengan posisinya sebagai ketua DPR. Dalam sejumlah percakapan peran formal ini coba disangkal oleh “kubu pembela Novanto,” dengan argumentasi bahwa SN bisa saja hadir dalam pertemuan itu sebagai pribadi pengusaha. Tidak sulit mematahkan argumen ini, sebab pengakuan MS sendiri bahwa itu merupakan rentetan pertemuan Freepport (MS) dengan DPR dan lembaga negara lain. Sebelum dengan DPR Freeport sudah lakukan pertemuan dengan MPR dan DPD. Bedanya, dalam rentetan dengan DPR, hanya pertemuan pertama yang terjadi atas inisiatif MS. Itupun bersifat tertutup pertemuan empat mata atas permintaan SN. Sementara dalam pertemuan sebelumnya dengan MPR dan DPD dilakukan terbuka dan dihadiri oleh tim (bukan empat mata). Dalam pertemuan dengan DPR, SN menginisiasi pertemuan lanjutan hingga terjadi 3 kali pertemuan.
Dalam segmen percakapan di atas memang tidak eksplisit menyebutkan nama Presiden atau Joko Widodo (JW), tetapi sebutan JK 9% secara eksplisit mengantar pada kesimpulan logis bahwa 11% yang dimaksudkan pasti JW (sebagai Presiden). Sebab, tidak mungkin ada “jatah” yang lebih tinggi dari Wapres selain Presiden, bukan?
Mari kita “tonton” SEGMEN-2:
SN : “sekarang sudah digarap sama Bung Reza....Saya tahu pak.”
Di sini SN berperan sebagai animator dan author, sedangkan MR berperan sebagai prinsipal.
SEGMEN-3:
SN: “Kita happy, pak, kalau Bung Reza yang mengatur.”
Dalam segmen narasi ini SN mempertegas perannya, yaitu sebagai ANIMATOR sekaligus PRINSIPAL. Sementara MR sebagai PENGARANG. SN menjamin akan happy kalau dipercayakan digarap oleh MR (lihat peran MR di Segmen-1, juga peran SN di segmen-2 di atas).
SEGMEN 4, tidak kalah penting!
SN : “Mempercantik. Tetapi kalau pengalaman kita, artinya saya dengan Pak Luhut, pengalaman-pengalaman dengan presiden, itu rata-rata 99% itu goal semua Pak. Ada keputusan-keputusan penting kayak Arab itu, bermain kita. Makanya saya tahu. Makanya Bung Riza begitu tahu Darmo, di-maintainance, dibiayai terus itu Darmo habis-habisan supaya belok. Pintar itu”.
Di segmen ini, SN memainkan sekaligus peran Animator dan Author, sementara presiden diberi peran Prinsipal.
SEGMEN-5:
SN : “Saya sendiri yakin itu, karena presiden sendiri yang kasih kode begitu dan itu berkali-kali. Yang urusan kita di DPR, itu kita ketemu segitiga, Pak Luhut, Saya dan presiden. Akhirnya setuju. Ngomongnya begini presiden. Saya sudah ketemu presiden, cocok itu. Pengalaman ya, artinya ini demi keberhasilan semua. Ini belum tentu bisa dikuasai menteri-menteri, yang gini-gini. Enggak ngerti malah bapak.”
SN tidak bisa mengelak. Dia memainkan sekali lagi peran Animator dan Author, sementara presiden sebagai Prinsipal. Dua segmen terakhir ini SN memposisikan presiden (dan pak Luhut) dalam peran Prinsipal, dan inilah yang disebut “pencatutan.” Nama presiden dijadikan penjamin.
Menarik juga disampaikan argumentasi Stanislaus Sandirupa dalam tulisan sebagaimana disebutkan didepan, berkaitan dengan apologi Fadli Zon seolah-olah rekaman itu hanyalah “pembicaraan warung kopi,” yang tidak berarti. MS sendiri juga mengakuinya dalam sidang MKD. Sandirupa mengakui adanya dukungan terhadap pandangan ini dengan mengutip John L.Austin (1962), seorang filsuf Inggris yang pernah mengontraskan tuturan resmi (serius) dengan tuturan informal, yang disebutnya etiolated speech (penggunaan tuturan parasit tidak serius). Tetapi, sekaligus mengingatkan pandangan filsuf lainnya, yaitu Peter F.Strawson (1979) yang membantah argumen tersebut dengan mengatakan bahwa perbedaan antara “tuturan formal” dan “tuturan informal” sangat bisa dipersoalkan, mengingat keputusan formal biasanya juga didahului pembicaraan informal.
KESIMPULAN
Selain kinerja MKD yang terkesan melindungi SN dan berusaha menerobos cara untuk meloloskannya, termasuk mengalihkan pokok isu, para ahli hukum pun setelah membolak balik lembaran pasal-pasal hukum (padahal di pengadilan etika) juga tidak memberi kepastian untuk memutuskan status pelanggaran etik-nya SN. Entah karena terlalu memaksakan pasal pidana pada pengadilan etik, atau memang hukum kita didisain untuk meloloskan para “konspirator” jahat seperti kasus “papa minta saham” ini. Maklum saja, hukum merupakan produk politik yang dibuat oleh orang-orang macam SN dan teman-temannya. Tentulah mereka tidak mau menyiapkan perangkap untuk diri sendiri.
Tetapi selain publik memiliki ketajaman nalar etik untuk menembus batu kanker ganas yang dicoba disembunyikan, pendekatan dramaturgi dari Erving Goffman juga membantu kita memahami lebih transparan dengan menaruh “narasi rekaman” di atas meja bedah pentas. Dengan itu, peran-peran bisa divisualkan secara mental, sehingga kita bisa melihat secara terang benderang peran aktif dari SN, termasuk dalam kaitannya dengan pencatutan nama presiden. Tuduhan itu tidak bisa disangkal. Maka, secara etik SN benar-benar melakukan pelanggaran. Entah, secara hukum???!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H