SN : “Mempercantik. Tetapi kalau pengalaman kita, artinya saya dengan Pak Luhut, pengalaman-pengalaman dengan presiden, itu rata-rata 99% itu goal semua Pak. Ada keputusan-keputusan penting kayak Arab itu, bermain kita. Makanya saya tahu. Makanya Bung Riza begitu tahu Darmo, di-maintainance, dibiayai terus itu Darmo habis-habisan supaya belok. Pintar itu”.
Di segmen ini, SN memainkan sekaligus peran Animator dan Author, sementara presiden diberi peran Prinsipal.
SEGMEN-5:
SN : “Saya sendiri yakin itu, karena presiden sendiri yang kasih kode begitu dan itu berkali-kali. Yang urusan kita di DPR, itu kita ketemu segitiga, Pak Luhut, Saya dan presiden. Akhirnya setuju. Ngomongnya begini presiden. Saya sudah ketemu presiden, cocok itu. Pengalaman ya, artinya ini demi keberhasilan semua. Ini belum tentu bisa dikuasai menteri-menteri, yang gini-gini. Enggak ngerti malah bapak.”
SN tidak bisa mengelak. Dia memainkan sekali lagi peran Animator dan Author, sementara presiden sebagai Prinsipal. Dua segmen terakhir ini SN memposisikan presiden (dan pak Luhut) dalam peran Prinsipal, dan inilah yang disebut “pencatutan.” Nama presiden dijadikan penjamin.
Menarik juga disampaikan argumentasi Stanislaus Sandirupa dalam tulisan sebagaimana disebutkan didepan, berkaitan dengan apologi Fadli Zon seolah-olah rekaman itu hanyalah “pembicaraan warung kopi,” yang tidak berarti. MS sendiri juga mengakuinya dalam sidang MKD. Sandirupa mengakui adanya dukungan terhadap pandangan ini dengan mengutip John L.Austin (1962), seorang filsuf Inggris yang pernah mengontraskan tuturan resmi (serius) dengan tuturan informal, yang disebutnya etiolated speech (penggunaan tuturan parasit tidak serius). Tetapi, sekaligus mengingatkan pandangan filsuf lainnya, yaitu Peter F.Strawson (1979) yang membantah argumen tersebut dengan mengatakan bahwa perbedaan antara “tuturan formal” dan “tuturan informal” sangat bisa dipersoalkan, mengingat keputusan formal biasanya juga didahului pembicaraan informal.
KESIMPULAN
Selain kinerja MKD yang terkesan melindungi SN dan berusaha menerobos cara untuk meloloskannya, termasuk mengalihkan pokok isu, para ahli hukum pun setelah membolak balik lembaran pasal-pasal hukum (padahal di pengadilan etika) juga tidak memberi kepastian untuk memutuskan status pelanggaran etik-nya SN. Entah karena terlalu memaksakan pasal pidana pada pengadilan etik, atau memang hukum kita didisain untuk meloloskan para “konspirator” jahat seperti kasus “papa minta saham” ini. Maklum saja, hukum merupakan produk politik yang dibuat oleh orang-orang macam SN dan teman-temannya. Tentulah mereka tidak mau menyiapkan perangkap untuk diri sendiri.
Tetapi selain publik memiliki ketajaman nalar etik untuk menembus batu kanker ganas yang dicoba disembunyikan, pendekatan dramaturgi dari Erving Goffman juga membantu kita memahami lebih transparan dengan menaruh “narasi rekaman” di atas meja bedah pentas. Dengan itu, peran-peran bisa divisualkan secara mental, sehingga kita bisa melihat secara terang benderang peran aktif dari SN, termasuk dalam kaitannya dengan pencatutan nama presiden. Tuduhan itu tidak bisa disangkal. Maka, secara etik SN benar-benar melakukan pelanggaran. Entah, secara hukum???!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H