Mohon tunggu...
Semuel Leunufna
Semuel Leunufna Mohon Tunggu... Dosen - You Will Never Win if You Never Begin

Dosen Universitas Pattimura Ambon

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

I Saw Jimmy Cliff (Saya Melihat Jimmy Cliff) ... Plus Epilog

14 Desember 2022   21:51 Diperbarui: 14 Desember 2022   22:32 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber: Many Rivers To Cross-Wikipedia

 

 Kaning Tabal

 

Jika anda saat ini berumur diatas 40 tahun (2013) maka anda pasti membagi pengalaman yang sama dengan saya. Saat itu awal tahun 70-an, air wainitu masih mengalir deras melalui tiga cerobong dibawah jembatan menuju laut, orang masih dapat berenang pada bagian tengahnya yang subur ditumbuhi pohon bambu pada sisi bagian atas arah ke darat (gunung).  Air putri (legendanya dijagai seorang putri) yang berlokasi di sisi lain wilayah Wainitu-Air Putri, dengan debit air yang lebih kecil, mengalir menuju laut melalui daerah Tanah Lapang Kecil. Pohon gandaria masih tumbuh subur menutupi jalan-jalan menurun yang curam sekitar Air Putri (saat ini dipenuhi rumah-rumah penduduk), menyebar sekitar taman kanak-kanak exelsior dekat rumah tuan tanah keluarga Tahalele, hingga mendekati Jl. Dr. Kayadoe, Kudamati, sekitar belakang rumah Opa Heis Pesulima (Bapaknya Pak Broery Pesulima), daerah dimana saya pernah menjadi sparring partner tidak resmi bung Jopi (Aci) Akywen yang kemudian menjadi juara tinju nasional kelas Bantam Junior.

Saat itu daerah Kudamati sekitar Farmasi masih penuh ditumbuhi rumpun bambu, pohon mayang hingga pohon mangga yang tinggi besar dan berbuah lebat, saat dimana pak Anis Gomies dan Alex Nussi, tetangga bersebelahan, hampir setiap hari memperdengarkan lagu-lagu dari laud speaker sebesar lemari es, mungkin yang terbesar di Kota Ambon saat itu, mengelegar sepanjang Jl. Dr. Kayadoe, berlomba menunjukkan siapa paling keras, suara nyanyian yang keluar dari laud speakernya. 

Saat itu wilayah Asrama Tentara, belakang kantor Farmasi (tempat tinggal Opa Pessy, ayah Bpk angkat saya, Bapak Alex Pelupessy) hingga air Pompangi masih penuh ditumbuhi gandaria.  Bila bergelantungan diatas pohon gandaria sambil menikmati buahnya pada musimnya, orang sesekali dapat melihat pasangan muda-mudi duduk berpacaran dalam semak disekitar, dari situ juga anak-anak remaja berjalan menuju Siwang, menebang bulu patong untuk dijadikan meriam bambu pada saat bulan-bulan mulai berakhir dengan tiga kata atau bunyi -ber (September, Oktober, Nopember, Desember).

Saat itu saya masih di Sekolah Dasar Negri VIII Kudamati Ujung dekat Kuburan Cina, dimana setiap pergi dan pulang sekolah harus lebih dulu berkelahi dengan Nus Wattimena (didaerah Pais) ketika meliwati depan rumahnya. Di sekolah ini saya mendapatkan dua luka pada bagian kepala, yang dijahit di Rumah Sakit Umum (RSU) Dr. Haulusy, hanya sekitar 500 meter letaknya dari sekolah, satu pada dagu karena bermain sepak bola dan kedua pada bagian depan kepala karena menyundul sudut meja akibat takut dipukuli dengan penggaris oleh pak Guru Lohi, guru kelas yang kemudian memberi nama panggilan (nick name) pada saya, Kaning Tabal (Kening Tebal - thick eyebrow),

Saat itu perkelahian antar pemuda terjadi setiap tahun; antara daerah Tugu Dolan dan daerah Pais, antara Pais dan Asrama, Antara Tugu Dolan dan Wainitu, Antara Tugu Dolan dan Benteng, antara Jembatan Batu dan Asrama, antara Asrama dan Kristinatalia, antara Pais dan daerah Krikhof/Kampong Pisang (keluarga Krikhof adalah tuan Tanah daerah yang sekarang dikenal dengan daerah Coker itu), daerah Belakang Kamar Mayat dan daerah Sinar, Belakang Kamar Mayat dan daerah STM/ST dan seterusnya secara bergantian. Tidak ada alasan yang jelas tapi ketika itu pemuda-pemuda yang tadinya melaut (khususnya di daerah Tugu Dolan) dengan kapal udang (kapal Jepang), turun ke darat, mengambil cuti liburan Natal dan Tahun baru.

Saat itu pesta-pesta dansa dilakukan setiap minggu dengan alasan beragam; pernikahan, ulang tahun, peneguhan sidi, pembaptisan anak, saudara datang dari Kota lain, berdamai setelah perkelahian antar kampung, sampai pada tidak ada alasan sama sekali. Pesta yang dihadiri muda-mudi dalam jumlah tidak seimbang antara pemuda yang berlebihan dengan pemudi yang sedikit jumlahnya, sering membuat para pemuda tidak dapat duduk tenang, bersiap (batanjong) segera menghampiri wanita kesayangannya begitu lagu dibunyikan.  Pesta berlangsung semalam suntuk dan hampir selalu berakhir dengan perkelahian dengan alasan utama adalah wanita.

Saat itu suara Jimmy Cliff mengalun dari "piringan hitam" tetangga maupun dari radio seolah mengantar para remaja, pemuda termasuk saya yang masih anak-anak bertumbuh.  Lelaki asal Jamaika, berkulit hitam, berbadan kekar dengan rambut keriting membungkusi kepalanya, memunculkan wajah kecil pada bagian bawah lingkaran rambut yang hitam pekat itu, memiliki suara yang halus, tajam dan bernada tinggi menyanyikan lagu-lagu yang sama sekali tidak saya mengerti maknanya tetapi iramanya selalu tersimpan dihati dan setiap kali muncul kembali ketika medengarkannya.  Judul-judul lagu yang saya pelajari kemudian termasuk Vietnam, Many Rivers To Cross, Wonderfull World Beautiful People, You Can Get It If You Really Want, The Harder They Come, Hard Road To Travel.

Tapi itu semua dulu, saat muncul kemarin di lokasi Jakarta Fair pada acara Java Jazz Festival, Jimmy Cliff bukan lagi pemuda tahun 60-an tetapi seorang lelaki berumur sekitar 70-an; kerangka wajahnya atau tonjolan tulang pipinya kelihatan bahkan dari depan panggung sekitar 5 meter dimana saya berdiri.  Meskipun begitu, Jemmy Cliff dengan sangat energetik, melompat-lompat membawakan lagu-lagunya yang mengembalikan kenangan pada sat-saat awal tahun 70-an.

Begitu tirai hitam pemisah antara panggung dengan wilayah penonton yang berdiri memenuhi sekitar setengah ruangan  besar dan gelap dibuka, Crew yang dibawa Jimmy sejumlah  sekitar sepuluh musisi telah berderet di latar belakang panggung mengenakan kaos merah, masing-masing bersiap dengan alat musik yang dimainkan; piano, drum, bongo, guitar melodi, bass, sexaphone, terompet serta seorang gadis muda mengenakan topi (kepolisian), penyanyi pendukung sekaligus penari yang kemudian menari dengan gerakan-gerakan yang khas dan sangat menarik.

Salah seorang crew kemudian mengundang Jimmy Cliff untuk tampil ke panggung, disambut sorak dan tepuk tangan penonton.  Lelaki berumur itu berlari kecil menuju mikrophone pada latar depan panggung dan langsung membuka pertemuan dengan "you can get it if you really want".  You can get it if you really want, you can get it if you really want, but you must try, try and try, try and try, you'l succeed at last, suatu nasehat yang sudah banyak dibukukan tapi tetap berlaku sampai kapanpun dan dimanapun; tanpa keinginan yang kuat, usaha, kerja keras dan kesabaran, akan sulit mendapatkan apa yang diinginkan.  Saya tidak dapat menahan diri untuk tidak ikut bernyanyi, meskipun hanya memperdengarkan suara keras pada bagian dimana kata-katanya saya ketahui dengan pasti. Sebagian besar penonton bahkan ikut bergoyang, tidak hanya bernyanyi.

Lagu-lagu lainnya kemudian mengikuti, disertai sambutan penonton yang antusias. Lagu Vietnam yang tadinya tidak saya ketahui, kemudian dipahami ketika Jimmy mengganti Vietnam dengan Afganistan. Tenyata Jimmy ingin mengarahkan perhatian dunia pada wilayah-wilayah yang dihancurkan oleh peperangan. Jimmy bahkan mengajak penonton memikirkan dan menambahkan lagi nama negara yang mengalami nasib yang sama.

Pada sekitar pertengahan waktu tampil, Jimmy berjalan keluar panggung seolah mengakhiri acara, namun penonton bersorak (dengan panduan salah seorang crew), 'we want more'... we want more..., membawa Jimmy kembali melanjutkan penampilannya. Saat yang menyentuh terjadi ketika Jimmy Cliff membawakan lagu Many Rivers to Cross.  Jimmy menarik nafas sebentar, berjalan menuju latar belakang panggung, meneguk sedikit aqua dari botol yang tersedia, sementara piano membawakan introduksi. Jimmy kemudian menuju mikrophone dan meneriakkan Many Rivers to Cross but i can't seem to find my way over... Suaranya tidak lagi sehalus dan setajam yang dulu, tapi irama itu membawa kembali masa-masa kecil dulu. Jadi ingat cerita seorang teman; lagu ini enaknya dinikmati dalam pesta dansa, ketika berpelukan/berdansa dengan wanita idaman dengan empat kaki hanya dibatasi oleh bingkai seukuran satu tegel pada lantai dansa.

"I can see clearly now" merupakan salah satu lagu mengakhiri perjumpaan dengan Jimmy Cliff. Suatu lagu yang membawa harapan; ketika hujan telah berhenti, matahari memancarkan sinarnya memunculkan pelangi diujung langit, kita dapat melihat semua hambatan yang merintangi jalan, pasti akan ada hari yang cerah bermandikan sinar surya.  Saya kembali ikut menyanyikan beberapa kalimat yang diketahui..i can see clearly now the rain is gone, i can see all the obstacles in my way, gone are the dark clouds that had me blind, it's gonna be a bright, bright sunshinny day.

Sebenarnya highlight of the evening (kegiatan puncak di sore/malam itu), sesuai rencana sebagaimana juga tertera dalam schedule hari pertama dari tiga hari Java Jazz Festival itu, adalah menyaksikan penampilan Johs Stone, penyanyi Inggris yang cantik itu.  Setelah menikmati penampilan luar biasa sejumlah musisi Indonesia dari yang muda hingga yang sudah melegenda;  Raisa, Malik and d' essential, Andien, Indra Lesmana dan putrinya Ava Celia serta Barry Likumahua, Acapella sejumlah artis muda membawakan lagu-lagu Utha Likumahuwa sebagai tribut kepada almarhum, hingga penampilan Dwikky darmawan dalam kolaborasi dengan beberapa musisi asal Jepang/Korea, saya akan menutupi seluruh rangkaian kegiatan menyaksikan Nn. Stone yang tampil sekitar jam satu tengah malam. Namun suatu salah pengertian telah membuat saya membatalkan mata acara terakhir. Meskipun agak kecewa, sama sekali tidak disesali, Jimmy Cliff telah manjadi highlight of the evening. Suatu senja dan malam yang tak terlupakan.

Epilog, Desember 2022.

Tahun ini tahun kesedihan besar bagi keluarga angkat saya, ibu saya Tente Syul Pelupessy/Nanlohy meninggal dunia pada usia 86 tahun, saudara lelaki saya Waldy, teman sekolah dasar yang mebawa saya kedalam keluaga angkat, serta Welly satu dari adik permpuan kembar kami yang dulu setiap pagi saya antarkan ke TK excelsior, meninggal dunia. Semua anggota keluarga kami telah pergi; Bapak Lex Pelupessy, Luci kakak tertua, Neles, Andre telah lebih dulu dan tidak sempat saya hadiri acara pemakamannya,  tertinggal adik bungsu kami, Ince yang bekerja di daerah lain.

Saya diberi kesempatan menyampaikan ucapan terima kasih, ketika Mama Yul meninggal dunia, saya mengerti ada perbedaan pendapat diantara keluarga besar keturunan Opa Emus Pelupessy dan Oma Panci Sahilatua terkait siapa yang berhak mewakili keluarga karena begitu eratnya pertalian darah keluarga. Tadinya saat meninggalnya adik kami Welly, saudara saya Waldy meminta menyampaikan ucapan terima kasih yang secara halus saya kembalikan ke Waldy karena merasa belum berhak selama Waldy masih ada, saat saudara kami Waldy meninggal saya ingin sekali menampaikannya dan merasa berhak namun harus membicarakan dengan adik kami satu-satunya yang tertinggal dan karena bukan bermarga Pelupessy saya harus merelakannya. Saya merasa agak berlebihan karena sebagai kakak seharusnya saya langsung mengambil alih sebagaimana banyak kali terjadi dalam keluarga kami.

Saya berdiri ditengah pintu rumah tua yang baru direnovasi, rumah ini dibangun bersamaan dengan kehadiran saya dalam keluarga sekitar tahun 70-an. Suatu pekerjaan besar saat itu yang diselesaikan Ayah kami. Kami menimbun berkubik tanah pada bagian belakang membuat lahan datar yang luas dari yang tadinya berupa alor (lahan curam). Mama Yul kemudian menggunakan lahan ini beternak itik, ayam, menanam pohon buah buahan (manga berbagai jenis, belimbing, dll.) dan tanaman hortikultura lainnya.  Tanah dipikul oleh para pekerja yang langsung dibayar Bpk. Lex dengan uang rupiah ratusan yang berwarna merah dan belum lama terbit. Masih teringat pekerja merasa senang dengan uang merah yang diterima.  Rumah ini direnovasi dengan dana dari adik kami Ince, beberapa saat sebelum Mama Yul meninggal,  Almarhumah masih sempat menempati kamar depan meskipun tidak  seluas aslinya.  Lahan untuk rumah seluas lebih kurang 25 kali 50 meter tidak dibeli tetapi diperoleh secara cuma-cuma karena persahabatan dengan tuan tanah bapak Paul Soselisa seorang pensiunan TNI.   

Sebelum memulai ucapan terima kasih saya paparkan silsilah keluarga besar dari keturunan Bpk Lex yang begitu erat terekat karena kegiatan kumpul bersama yang sering diadakan baik dalam bentuk ibadah keluarga, piknik tahunan, dan persekutuan lainnya, bahkan sejak kami masih di bangku Sekolah Dasar. Sebagai yang tertua Bpk Lex dihormati dan disayangi, dan setiap keputusan yang diambil untuk keluarga besar dihargai semua saudara bersaudara yang jumlahnya delapan orang bahkan oleh bersudara dari keturunan Oma Panci  Sahilatua. Keluarga besar dan anak cucu keturunan mereka yang saya wakili dalam ucapan terima kasih.

Saya memulai ucapan terima kasih dengan meminta sidang kedukaan untuk memahami upacara  kepergian Oma Yul sebagai suatu celebrasi, perayaan kehidupan Oma Yul dimana didalamnya beliau sudah menorehkan sejumlah besar capaian hidup. Sebagai pegawai kantor Kesehatan Propinsi beliau telah banyak membangun sukses sejumlah besar perawat dan pegawai kesehatan di berbagai wilayah dengan mengetik dan menyiapkan Surat Keputusan (SK) atau bisloit mereka dengan cepat dan tepat waktu tanpa meminta tambahan apapun selain gaji bulanan yang diperoleh. Oma Yul adalah seorang bendahara Unit IV Kudamati, Jemaat GPM Rehoboth yang handal, dengan tagihan yuran unit yang lancar dan tepat waktu (banyak juga dengan bantuan saya).  Oma Yul seorang anggota paduan suara unit yang setia membawakan suara tenor, meskipun beberapa kali saya disuruh ke Oma Tin Rehatta, ketua paduan suara, untuk minta ijin karena Oma Yul berhalangan hadir. Oma Yul selalu bersedia membantu rekan yang kesulitan dan memberi pinjaman meskipun tahu bahwa tidak akan dikembalikan.  Oma Yul menanam berbagai pohon buahan termasuk pahon nagka di halaman depan. Setiap kali berbuah, dibungkus agar tidak terhinggap serangga pembawa penyakit, tetapi yang membungkus hampir selalu ibu-ibu keluarga lain yang sudah mengklaim kepemilikan buah nangka yang dibungkus.  Itu beberapa contoh kekuatan pribadi Oma Yul.  Oma Yul sangat memperhatikan pendidikan anak anak, sekian kali Oma Yul mengunjungi rumah guru atau dosen untuk meminta tolong memperhatikan anaknya yang bersekolah atau meminta maaf atas kesalahan anaknya.  Banyak orang tua terperangkap diantara mengasihi dan upaya mendisiplinkan anaknya yang sangat berguna bagi masa depannya. Saya merasa Oma Yul dan Opa Lex mengalami hal yang sama.

Sambil berbicara saya melirik ke batang pohon nangka yang tadinya membusuk di halaman tetapi sudah di anggkat untuk menyiapkan kursi bagi para pelayat. Pohon nangka yang tumbuh di sudut  kiri rumah itu merupakan tempat saya belajar, daunnya yang rimbun dan dahan yang bercabang merupakan tempat duduk bahkan tempat tidur yang baik dan terhindar dari pengamatan orang yang lewat.  Bila Oma Yul meliwati bawah pohon, biasanya berjalan pelan seolah takut mengganggu belajar atau membangunkan tidur saya. Sejumlah besar majalah bobo, trubus, bahkan majalah femina, bacaan buku-buku pemberian saksi-saksi rohani yang berkunjung diberikan kepada Oma Yul dan saya baca selain pelajaran sekolah.  Saat sakit keras dan harus tinggal dirumah berhari-hari, Oma Yul membawa pulang mesin ketik dari kantor, mengetik tugas sekolah saya  untuk dimasukkan agar nilai pelajaran tetap baik.  Setiap kenaikan kelas Oma Yul mengambil laporan pendidikan, beliau selalu bangga karena nilai saya baik dan bebeapa orang tua murid meminta beliau menunjukkan nilai nilai saya membandingkan dengan nilai anak-anak mereka. Kebanggaan tetap sama ketika mengambil laporan pendidikan dan ijasah SMA (SMAN 1 Ambon), meskipun disertai dengan pemberian kartu terlambat sebanyak lebih dari 300 kartu karena hampir setiap hari saya terlambat sekolah.

Pohon nangka yang sudah roboh dan batangnya membusuk, tetap dibiarkan dekat tempatnya berada, tidak dipindahkan selama Oma Yul masih hidup. Setiap bulan saya akan mengunjungi dan berbicara dengan Oma Yul, dan tetap menemukan batang pohon nangka itu pada tempatnya, semua pohon lain yang sudah tua dikumpulkan dan dibakar.

Menutup rangkaian pembicaraan, saya sampaikan terima kasih untuk semua anggota masyarakat dan jemaat setempat yang melayat dan Ibu Pendeta serta Majelis Jemaat yang melayani Ibadah Pemakaman, setiap organisasi gerejawi  serta pemerintah setempat yang telah  turut menyampaikan belasungkawa serta membantu memberikan kemudahan dalam mempersiapkan tempat peristirahatan terahir Oma,  Ibu kami, Ibu Syul Pelupessy/Nanlohy.

Seminyak Bali, 13.12. 2022.

SELAMAT NATAL 25 DESEMBER, 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun