Semuel Leunufna*
*) Setting up a Blended Larning Program for Sustainable Inclusive Agricultural Value Chain Development in Indonesia: Indonesia - Netherlands Joint Project.
Â
Pandahuluan
Dari downtown Ambon saya isi penuh tangki motor xride dengan pertalite, mengantisipasi perjalanan jauh, mumpung tidak terlalu sering mengunjungi wilayah jazirah leitimur pulau Ambon, apalagi hingga ujungnya. Ternyata dengan kecempatan rata rata sekitar 30-40 km per jam, Latuhalat ditempuh dalam waktu sekitar setengah jam. Jarum penanda bahan bakar pun tidak terlihat bergerak turun.
Tujuan saya ke Latuhalat, tidak lain hanya ingin bertemu pengrajin cengkih yang konon hanya ada di Desa ini di pulau Ambon dan rasanya di seluruh Maluku. Seorang gadis remaja berdiri ditepi jalan, akan mengeberang, saya menepi sambil menyapa dan menanyakan dimana tempat pengrajin cengkih. "Keluarga siapa"? tanya gadis remaja. "Saya tidak tahu", jawab saya, "hanya ingin bertemu pengrajin cengkih", menambahkan. Pertanyaan gadis remaja ini ternyata punya dasar kuat, pengrajin cengkih di Latuhalat hanya tertinggal dua keluarga (famili), famili Oppier dan famili Lekatompessy. "Jangan jangan salah menunjuk keluarga yang ingin dituju", mungkin menjadi alsan pertanyaan gadis ini. Â Dengan dorongan beberapa pemuda/remaja yang sementara berkumpul di sekitar, gadis ini mengantarkan saya ke keluarga Oppier, kebetulan juga bahwa keluarga Lekatompessy sedang tidak berada di kediamannya.
Rumah keluarga pak Max Oppier, terbagi dua, satu rumah besar atau ruang tamu atau ruang tidur, letaknya di depan dekat jalan raya, materi bangunananya semen, kokoh dan dicat indah berwarna krem, kemudian satu rumah kecil, terpisah dari rumah besar, dengan materi bangunan sederhana, digunakan untuk dapur dan lainnya. Â Pada halaman depan rumah besar, di tepi jalan raya, Â agak menyamping dari rumah besar, berdiri satu papan reklame dengan tulisan Pengrajin Cengke Tiga Saudara Kecamatan Nusaniwe Latuhalat/KMP. Tupa RT 001/RW 006 Ambon.
Pak Max Oppier dan istrinya mengajak saya menuju rumah besar, istrinya kemudian meninggalkan kami. Begitu kami duduk, saya segera mengeluarkan buku kecil yang sudah disiapkan serta bolpoint, kemudian mencecar pak Max dengan berbagai pertanyaan yang sempat terpikirkan, tentu setelah menjelaskan maksud kedatangan saya. Pak Oppier menjawab tanpa ragu atau berpikir lama, tidak juga memerlukan bantuan siapapun, beliau rasanya kepala sukunya, penanggungjawab pekerjaannya.
Awal mula menekuni profesi pengrajin cengkehÂ
Pak Max menjelaskan: "kapan dimulainya produksi kerajinan cengkih, beta seng tau pasti tapi beta sudah mulai kerja tahun 1969, beta iko beta pung kaka laki-laki". Karena umur pak Max Oppier saat ini 67 tahun maka saat memulainya, beliau berumur sekitar 15 tahun. Kami sempat membicarakan keluarga Pengrajin yang satu lagi, keluarga Lekatompessy. "Yang paling aktif dari mereka adalah Alex; Â Alex hanya sempat tamat Sekolah Dasar tapi dengan kerajinan cengkeh beliau membiayai dua orang adiknya hingga menjadi guru": Jelas pak Max. Kebetulan sekali kami pernah bertemu dan menyaksikan kerja pak Alex, sekitar tahun 70 an di kelurahan Kuda Mati. Ciri tubuh yang khas dari pak Alex adalah jari telunjuk kanannya hilang/putus dari pangkalnya (tentu tidak bermaksud melecehkan beliau). Meskipun hanya dengan empat jari, kerja pak Alex Lekatompessy sangat cekatan. Hanya dalam waktu 2 sampai 3 hari, perahu cengkih dengan tiga layar, atau arumbai beserta para pendayung di setelah kiri kanan, telah selesai lengkap dengan kotak tempat memajangnya yang berbingkai gaba-gaba terbungkus kertas kap (kartas sampul buku), yang kemudian segera di bawa ke toko (pedagang keturunan Tionghoa) untuk dipajang dan dijual. Â Menurut Pak Oppier, jari yang bilang mungkin terjadi karena salah memotong bambu. Terkesan bahwa dua keluarga yang bersaing secara bisnis kerajinan cengkih ini tidak saling menjatuhkan sebagaimana lasimnya terjadi diantara pesaing bisnis. Â