Tahun 2014 disambut masyarakat Indonesia, tidak hanya dengan bunyi terompet, petasan, meriam bambu, roket yang meledak diudara memancarkan kembang api berwarna-warni dengan formasi yang indah memukau, tetapi juga dengan bunyi-bunyian lainnya yang mengetarkan hati, membawa bencana, penderitaan dan kerugian material maupun non-material yang tidak sedikit jumlahnya. Satu diantaranya, letusan gunung berapi yang menyemburkan debu vulkanik hingga ratusan mil jauhnya, menutupi lahan dan tanaman pertanian serta sejumlah wilayah penting lainnya termasuk situs Candi Borobudur di Jawa Tengah yang tidak hanya penting sebagai satu dari tujuh keajaiban dunia tetapi juga sebagai objek wisata yang menghidupi sebagian penduduk sekitar. Lava maupun lahar (panas maupun dingin) yang mengalir dari puncak menyapu bersih setiap materi yang dilandanya, hidup maupun tak hidup, memporak-porandakan aliran sungai, tanah, gunung, bukit, lembah, lahan pertanian, pedesaan beserta perumahan penduduk.
Bunyi-bunyian lainnya adalah guruh, sambaran kilat atau lompatan listrik dari awan ke awan ataupun awan ke bumi diikuti angin kencang dan hujan deras berkepanjangan yang berlanjut pada luapan air serta bencana banjir yang menenggelamkan dan menghancurkan rumah-rumah, jalan, jembatan, memaksa penduduk desa maupun kota meningggalkan kediamannya untuk periode waktu yang tidak tentu.
Dapat diduga bahwa sejumlah besar penduduk, terpaksa membatalkan, merobah, memodifikasi atau merevisi resolusi hidupnya ataupun harus menghadapi kerja ekstra keras bila tetap ingin merealisasikan rencana pencapaian pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa yang telah dicanangkan pada akhir tahun 2013 lalu.
Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga pertengahan bulan February sejak memasuki tahun 2014, telah terjadi sejumlah 282 bencana yang menelan korban 197 jiwa meninggal dunia, 64 luka-luka, serta 1,6 juta pengungsi. Beberapa bencana besar termasuk letusan gunung Sinabung di Sumatera Utara, banjir bandang di Menado, Sulawesi Utara, banjir pantai Utara Jawa (pantura), banjir Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarata, menyebabkan kerugian total sebesar 13, 87 triliun rupiah (Albasit, 2014).
Bencana letusan gunung Kelud di Jawa Timur merupakan salah satu bencana besar terakhir (14 Februari, 2014). Dalam wawancara Prime Time News Metro TV, Mentri Pertanian RI, Dr. Suswono, mengemukakan bahwa bencana gunung Kelud tidak berdampak besar pada komuditas tanaman pangan khususnya padi, namun berpengaruh pada tanaman hortikultura termasuk cabe, tomat, apel dan lainnya. Taksasi kerugian bencana gunung Kelud belum dapat dilakukan karena sebagian lahan yang dianggap rusak oleh tutupan debu vulkanik, mungkin masih dapat dikembalikan, misalnya dengan cara pembersihan. Upaya utama yang sedang dilakukan adalah penyelamatan ternak berupa evakuasi dari wilayah terdampak besar serta pemberian pakan pada wilayah dimana tidak diperlukan evakuasi. Pengamat penanggulangan bencana yang ikut dalam wawancara, menekankan dua hal urgen untuk dilakukan pemerintah; pemasokan bahan pangan serta stabilitas harga.
Jelas bahwa ketahanan pangan (food security) menjadi tema yang dipercakapkan atau menjadi kerisauan kedua nara sumber dan tentu juga masyarakat Indonesia, khusunya pada wilayah terdampak bencana. Ketahanan pangan merefleksikan ketersediaan pangan yang cukup secara rutin untuk memenuhi kebutuhan keluarga dari berbagai sumber pangan termasuk tumbuhan, ikan, hewan ternak dan sumber lainnya. Beberapa persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam menjamin ketahanan pangan termasuk produktifitas pertanian yang menjamin ketersediaan pangan, akses pangan yang mudah termasuk distribusi yang baik, terpenuhinya unsur kesehatan yakni tidak tercemar materi fisik, kimia, biologis yang merusak kesehatan, terpenuhinya standard ke-halal-an bagi anggota masyarakat yang mensyaratkannya, serta harga yang terjangkau. Bencana yang memporak-porandakan infra-struktur suatu wilayah termasuk lahan-lahan pertanian, sarana- prasarana jalan, jembatan, pusat-pusat perbelanjan, pasar dan sebagainya, menghilangkan sumber mata pencaharian penduduk, tentu akan berdampak besar pada ketahanan pangan wilayah dimaksud.
Mengapa Bisa Terjadi?
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apa yang menjadi penyebab atau asal-muasal bencana diatas? Rasanya tidak cukup hanya dengan mengatakan “Tuhan mulai bosan dengan tingkah kita”! atau “alam mulai enggan bersahabat dengan kita”!, menirukan Pak Ebiet G. Ade. Jawaban yang, bila mungkin, sifatnya lebih ilmiah dari pertanyaan ini, kemudian mungkin akan memberi masukan bagaimana melakukan tindakan preventif, pre-emptif maupun kuratif terhadap bencana dimaksud.
Bila bencana gunung berapi dapat dikatakan merupakan suatu bencana yang harus diterima dengan pasrah, artinya tak ada yang dapat dilakukan manusia untuk mencegah terjadinya (nothing we can do about it) atau bencana dimana belum terjelaskan kontribusi manusia didalamnya karena merupakan suatu konsekuensi dari letak geografis Indonesia pada lintasan deretan gunung berapi, maka bencana banjir dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk ekstrim dari pengaruh pergeseran iklim yang bila ditelusuri kembali, berpangkal diantaranya pada penggundulan/pengrusakan hutan dan biodiversitas, termasuk pengubahan ke sistim pertanian monokultur yang adalah aktivitas manusia.
Tindakan preventif untuk bencana banjir jelas dapat dilakukan dengan sederhana, pada wilayah-wilayah yang belum terlambat dilakukan, menghentikan aktivitas manusia tadi. Menanami kembali hutan serta wilayah yang tidak bervegetasi lainnya dapat digolongkan suatu tindakan preventif lain atau dapat juga digolongkan tindakan kuratif. Tindakan menyemprotkan materi kimia tertentu, garam dapur (NaCl) misalnya, menggunakan pesawat terbang pada awan yang berpeluang hujan, memaksakan jatuhnya hujan secara menyebar dan tidak terkonsentrasi pada wilayah rawan banjir, merupakan bentuk lainnya. Namun dalam penerapannya di wilayah Jakarta beberapa waktu lalu oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) nampaknya belum berhasil.
Tindakan kuratif untuk kedua bentuk bencana, banjir dan letusan gunung berapi, secara resmi merupakan tanggungjawab pemerintah melalui BNPB; melakukan kalkulasi kerugian, memberikan bantuan, mengorganisir/mengkoordinasikan pemberian bantuan, mencegah bencana lanjutan termasuk terganggunya ketahanan pangan dst. (tentu disini tidak diupayakan untuk menjelaskan tupoksi BNPB). Tindakan pre-emptif merupakan suatu upaya yang tergolong baru dalam pengembangan dan penerapannya (khususnya untuk bencana ketahanan pangan), dilakukan dengan mengumpulkan data berbagai parameter yang berkaitan dengan bencana ketahanan pangan/kelaparan, memberikan peringatan dini (early warning) agar tindakan-tindakan awal dapat dilakukan mendahului terjadinya bencana dan dengan demikian mengurangi intensitas bencana serta kerugian akibat bencana.
Perubahan Iklim Dan Produktifitas Pertanian
Produktifitas pertanian merupakan unsur pokok dari ketahanan pangan. Unsur lainnya; aksesibilitas, kesehatan, dan harga, menyusul kemudian setelah pangan tersedia. Bencana banjir, juga kekeringan, sebagaimana dikemukakan diatas, merupakan kondisi ekstrim dari anomali iklim yang berdampak pada produktifitas pertanian. Bahkan sedikit pergeseran dalam kondisi normal unsur-unsur iklim termasuk curah hujan, suhu, konsentrasi karbondioksida (CO2) dan lainnya akan berpengaruh pada aktivitas pertanian dan produktifitas pangan.
Musim panas yang kering di Rusia bagian selatan tahun 2010 berimbas pada penyusutan produksi biji-bijian dalam negri sebesar 37% dan menyebabkan peningkatan harga secara global sebesar 80% dalam periode 6 bulan (Boer et al., 2013). Program siaran televisi Voice of Amerika (VoA) beberapa waktu lalu melaporkan adanya pergeseran/perubahan kalender penanaman dan perubahan pada komuditas tanaman kultivasi di negara bagian Kalifornia USA akibat kekeringan yang panjang. Negara yang adalah salah satu dari sekelompok kecil negara dengan kemandirian dan ketahanan pangan terbaik dunia ini (kemandirian pangan/ food self-help, didefenisikan sebagai kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat), harus mengimpor komuditas tertentu hortikultura yang tadinya diproduksi, sebagai akibat perubahan iklim yang terjadi. Perubahan unsur-unsur iklim tidak hanya berpengaruh langsung pada tanaman kultivasi, tetapi juga tidak langsung melalui pengaruhnya pada organisma dan mikroorganisma tanah yang bertanggungjawab terhadap kesuburan tanah serta kondisi CO2 karena pernapasan yang dilakukan.
Kajian spesifik lebih lanjut memberikan gambaran pekanya tanaman kultivasi terhadap perubahan unsur iklim. Suhu tinggi dapat mempercepat pertumbuhan banyak tanaman, tetapi suhu tinggi juga dapat mengurangi produksi (misalnya pada biji-bijian) karena suhu yang tinggi mempersingkat periode waktu pertumbuhan dan pemasakan biji. Pada tanaman tertentu, pengaruh peningkatan suhu akan tergantung pada suhu optimal tanaman untuk tumbuh dan berkembang. Pada beberapa daerah, suhu tinggi dapat menguntungkan tanaman yang khas untuk wilayah dimaksud. Namun bila suhu melampaui suhu optimum tanaman, produksi akan menurun. Pada daerah dengan kondisi iklim ber suhu tinggi dan curah hujan rendah, sulit mengatasi kekeringan karena kurangnya suplay air dan dengan demikian sulit memenuhi kebutuhan air tanaman.
Konsentrasi CO2 yang tinggi dapat meningkatkan produksi. Produksi beberapa tanaman seperti gandum dan kedele dapat meningkat 30% atau lebih pada peningkatan konsentrasi CO2 dua kali ganda. Pada tanaman jagung, peningkatan produksi hanya sekitar 10% dalam kondisi yang sama EAP (2014). Meskipun demikian beberapa faktor dapat menghambat potensi peningkatan produksi dimaksud; misalnya jika suhu melampaui suhu optimm atau jika air atau nutrisi tidak tersedia.
Suhu, kelembaban, dan konsentrasi CO2 yang tinggi menciptakan lingkungan yang ideal bagi berkembangnya tanaman pengganggu (gulma) tertentu serta hama dan penyakit tanaman. Kondisi ini akan merusak tanaman, terutama yang rentan terhadap hama dan penyakit atau mengurangi produksi akibat persaingan dengan tanaman pengganggu (gulma) terhadap unsur hara, air, cahaya serta unsur iklim lainnya, meningkatkan penggunaan pestisida maupun herbisida yang pada waktunya mencemari lingkungan dan merusak kesehatan manusia.
Kemarau panjang secara berulang tidak hanya berdampak pada rendahnya produksi tanaman pertanian, menyebabkan ketidaktahanan pangan suatu wilayah tetapi juga dapat berlanjut pada hilangnya kultivar-kultivar tanaman pertanian akibat konsumsi benih yang diperuntukkan bagi penanaman berikutnya oleh petani. Hal yang sama dapat terjadi pada wilayah yang terinfestasi hama dan penyakit secara berkepanjangan, sebagaimana teramati pada beberapa pulau di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) Propinsi Maluku (Leunufna, 2013).
Peringatan Dini (Early Warning) Bencana Ketahanan Pangan
Peringatan dini bencana ketahanan pangan atau kelaparan (famine) dilaksanakan dalam beberapa tahapan kegiatan sebagaimana dilakukan organisasi the Famine Early Warning Systems Network, FEWS NET (www.fews.net.) yakni dengan pertama-tama memahami konteks ketahanan pangan atau faktor-faktor yang berpengaruh terhadap atau indikator ketahanan pangan termasuk dengan mengoleksi dan menganalisis data Agroklimatologi, nutrisi, pasar dan perdagangan, serta mata pencaharian atau sumber penghidupan. Kegiatan selanjutnya adalah melakukan monitoring, menganalisis dan meramalkan kondisi yang akan terjadi, kemudian menggolongkan ketidak-tahanan pangan dalam lima stadia/tahap yakni (1) minimum atau tidak ada, yang diberi warna biru muda, (2) tercekam (warna kuning), (3) krisis (warna orange), (4) darurat (warna merah muda) dan akhirnya (5) bencana atau kelaparan (merah tua). Hasil analisis data dan informasi ini kemudian di sampaikan kepada penentu kebijakan untuk membantu mengarahkan tanggapan kemanusiaan pada wilayah-wilayah terdampak bencana.
Sebagaimana praktek usaha tani, usaha peternakan, rumputan makanan ternak maupun perikanan bergantung pada optimalnya unsur-unsur iklim, maka perubahan iklim menentukan ketahanan pangan hingga bencana kelaparan. Data iklim dan cuaca pada kondisi saat ini, masa lalu dan prediksi kedepan, dengan demikian, sangat diperlukan guna menduga produktifitas pangan dan selanjutnya kondisi kekurangan pangan yang mungkin akan terjadi. Kerjasama dari berbagai isntansi terkait penyedia data dan informasi iklim dan cuaca (curah hujan, jatuhnya salju, dst.) baik pada wilayah kontinen maupun perairan sangat diperlukan.
Teknologi pengindraan jauh (remote sensing) juga telah dimanfaatkan untuk memprediksi produksi tanaman pertanian dan dimanfaatkan sebagai data peringatan dini ketahanan pangan. Teknologi ini sukses dikembangkan untuk menduga produksi padi di lembah mekong dan dimanfaatkan dalam pengelolaan ketahanan pangan (Ha, 2013).
Ketersediaan benih atau sumberdaya genetik tanaman khususnya pada wilayah yang tersisolasi termasuk wilayah pulau-pulau kecil dimana suplay benih dari wilayah lainnya sulit dilakukan, merupakan salah satu faktor determinan dalam praktek usaha tani dan dengan demikian ketahanan pangan. Ketersediaan jenis/kultivar tanaman dalam keragaman yang tinggi, beradaptasi baik secara lokal, selain mendukung diversitas tanaman pangan dan nutrisi, juga berperan penting dalam perbaikan genetik spesies tanaman yang berkaitan. Hilangnya sumberdaya genetik tanaman pangan, dengan demikian, merupakan suatu bentuk peringatan dini bencana ketahanan pangan atau kelaparan dimasa depan.
Dengan memahami kondisi nutrisi suatu negara/wilayah, dapat diduga kepekaan suatu populasi manusia terhadap cekaman dan meningkatkan kemampuan membuat asumsi berdasarkan kondisi nyata, terkait kondisi ketahanan pangan dimasa mendatang. Indikator nutrisi dinilai dengan menganalisis beberapa data yang dikumpulkan termasuk data sejarah prefalensi nutrisi dan kematian yang diamati pada negara/wilayah yang bersangkutan, membuat catatan khusus untuk tiap negara/wilayah terkait tendensi kekurangan gisi dan analisis penyebabnya, membuat suatu penuntun yang melibatkan/memasukkan nutrisi dan kematian kedalam peringatan dini bencana kelaparan dan selanjutnya mengumpulkan data primer pada wilayah yang bersangkutan, sebagaimana dilakukan jaringan kerja internasional FEWS NET.
Majoritas orang miskin di berbagai negara, kota maupun desa, bergantung pada pasar untuk mendapatkan makanan pokoknya, memperoleh diversifikasi dalam asupan gisinya, menjual hasil-hasil usaha taninya serta mendapatkan pekerjaan sederhana. Harga dan ketersediaan bahan pangan di pasar ditentukan oleh permintaan dan penawaran yang dipengaruhi oleh penyedia, pedagang dan pembeli dan dengan demikian aliran perdagangan yang mendukung pasar dapat berpengaruh pada ketahanan pangan ataupun bencana kelaparan.
Melalui analisis mata pencaharian atau cara bagaimana masyarakat memperoleh makanan, pendapatan dan melakukan perdagangan, akan diperoleh pamahaman sebarapa pekanya masyarakat terhadap kejadian-kejadian tertentu. Analisis ini juga memberikan pemahaman tentang pola perubahan mata pencaharian pada setiap kelompok masyarakat pada setiap tingkatan pendapatan serta interaksi dan saling ketergantungan mereka. Pendekatan mata pencaharian secara praktis dimanfaatkan untuk memahami bagaimana kelompok mayarakat miskin mengatasi cekaman atau bahaya seperti banjir, kekeringan, kerusakan pasar atau konflik tertentu, bencana letusan gungung berapi dan seterusnya.
Penutup
Tanggapan terhadap bencana sejauh ini di Indonesia umumnya bersifat kuratif. Menghitung dengan akurat jumlah anggota masyarakat/penduduk yang meninggal, luka-luka maupun jumlah pengungsi, jumlah desa (wilayah administratif) atau luasan wilayah geografis termasuk lahan pertanian yang terimbas, jumlah ternak, rumah yang rusak dan harta benda yang hilang, jumlah jembatan yang ambruk, jalan-jalan yang terputus dan seterusnya kemudian memberikan bantuan berupa upaya evakuasi, penyediaan tempat-tempat pengungsian, pengobatan, penyediaan bahan pangan, penyediaan pakan untuk ternak, pemberian bantuan keuangan, bantuan benih, pupuk serta input pertanian lainnya, pembangunan kembali sarana irigasi, jembatan, jalan-jalan yang rusak maupun bantuan lainnya.
Tanggapan secara pre-emptif atau peringatan dini, khususnya terhadap bencana ketahanan pangan, tidak banyak dilakukan atau mungkin tidak banyak terekspose meskipun diketahui bahwa prefalensi kurang gisi terjadi dimana-mana, pasar-pasar tradisional semakin tergeser oleh mini/super markt, pengangguran (kehilangan mata pencaharian) tinggi di berbagai tempat, kehilangan sumberdaya genetik (plasma nutfah) tanaman terjadi dengan sangat pesat, produktifitas lahan pertanian tidak meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan seterusnya yang kesemuanya terbungkus dalam jumlah/presentasi kemiskinan yang masih cukup tinggi.
Jelas diperlukan penelitian yang lebih detail untuk mendapatkan data/informasi yang lebih akurat terkait kondisi yang sebenarnya, khusunya pada wilayah-wilayah spesifik yang diduga ada kecenderungan kearah bencana ketahanan pangan dan dengan demikian tindakan-tindakan yang lebih sistematis dan terarah dapat diupayakan menanggapi kondisi yang dihadapi.
Biaya yang harus dikeluarkan sebagai tindakan kuratif sebagaimana data diatas, 13,78 trilliun, untuk kurun waktu bencana hampir 2 bulan, saat ini membengkak menjadi 26,75 trilliun (Kertiasa, 2014). Biaya yang harus dikeluarkan dalam sekali bencana di Maluku Tenggara beberapa waktu lalu 11,32 millyard (Antara, 2014). Sebagai suatu gambaran manfaat peringatan dan tanggap dini bencana, dikemukakan penjelasan dari Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho bahwa negara USA mengivestasikan 1 juta dolar US untuk antisipasi terjadinya bencana dan berhasil mengurangi potensi kerugian bencana hingga menjadi 7 juta dollar US. Uni Eropa menginvestasikan 1 juta dollar US dan mengurangi potensi kerugian bencana hingga mencapai 10-40 juta dollar US (Albasit, 2014). Indonesia dapat mengikuti hal serupa agar biaya penaggulangan bencana dapat lebih dihemat.
Pustaka
Albasit A. (2014) Bencana Awal 2014 Timbulkan Kerugian Rp13,87 Triliun. Metrotv.com, 17 February 2014.
Antara (2014) Kerugian Akibat Bencana Alam Malra Rp11,32 Miliar. Yahoo News Network, 7 February 2014.
Boer B., Mannaerts C., de Bie K. (2013) Global Food Security. ITC News, Special Feature Food Security. Alumni Magazine, Faculty of Geo-information Science and Earth Observation, University of Twente. ISSUE 2013-3: 8-9.
EAP (US-Environmental Protection Agency) (2014) Climate Impacts on Agriculture and Food Supply. http://www.epa.gov/, last up date 19 February, 2014.
Ha Nguyen (2013) Mapping and Yield estimation for rice in Mekong – a thesis that faced 3 problems. ITC News, Special Feature Food Security. Alumni Magazine, Faculty of Geo-information Science and Earth Observation, University of Twente. ISSUE 2013-3: 15-16.
Kertiasa M. G. (2014) Penanganan Banjir & Letusan Gunung Habiskan Rp26,75 T. http://economy.okezone.com, 10 Maret 2014.
Leunufna S (2013) Community Genebank To Ensure Food Security In Small Islands Of Moluccas (A Project Proposal). Poster Presented At The 9th International Conference On Small Islands Culture (ISIC 9th), Tual and Langgur, Moluccas Province, Indonesia 10-13 July 2013.
-------------------
Sekian
Kampus Poka, Maret, 2014
Penulis
Mengucapkan Selamat Menunaikan Tugas Kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Periode 2014-2019
Publikasi pertama kali: Harian Pagi Siwalima, Kamis 20 Maret, 2014. Opini hal 6-7.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H