Ketersediaan benih atau sumberdaya genetik tanaman khususnya pada wilayah yang tersisolasi termasuk wilayah pulau-pulau kecil dimana suplay benih dari wilayah lainnya sulit dilakukan, merupakan salah satu faktor determinan dalam praktek usaha tani dan dengan demikian ketahanan pangan. Ketersediaan jenis/kultivar tanaman dalam keragaman yang tinggi, beradaptasi baik secara lokal, selain mendukung diversitas tanaman pangan dan nutrisi, juga berperan penting dalam perbaikan genetik spesies tanaman yang berkaitan. Â Hilangnya sumberdaya genetik tanaman pangan, dengan demikian, merupakan suatu bentuk peringatan dini bencana ketahanan pangan atau kelaparan dimasa depan.
Dengan memahami kondisi nutrisi suatu negara/wilayah, dapat diduga kepekaan suatu populasi manusia terhadap cekaman dan meningkatkan kemampuan membuat asumsi berdasarkan kondisi nyata, terkait kondisi ketahanan pangan dimasa mendatang. Indikator nutrisi dinilai dengan menganalisis beberapa data yang dikumpulkan termasuk data sejarah prefalensi nutrisi dan kematian yang diamati pada negara/wilayah yang bersangkutan, membuat catatan khusus untuk tiap negara/wilayah terkait tendensi kekurangan gisi dan analisis penyebabnya, membuat suatu penuntun yang melibatkan/memasukkan nutrisi dan kematian kedalam peringatan dini bencana kelaparan dan selanjutnya mengumpulkan data primer pada wilayah yang bersangkutan, sebagaimana dilakukan jaringan kerja internasional FEWS NET.
Majoritas orang miskin di berbagai negara, kota maupun desa, bergantung pada pasar untuk mendapatkan makanan pokoknya, memperoleh diversifikasi dalam asupan gisinya, menjual hasil-hasil usaha taninya serta mendapatkan pekerjaan sederhana. Harga dan ketersediaan bahan pangan di pasar ditentukan oleh permintaan dan penawaran yang dipengaruhi oleh penyedia, pedagang dan pembeli dan dengan demikian aliran perdagangan yang mendukung pasar dapat berpengaruh pada ketahanan pangan ataupun bencana kelaparan.
Melalui analisis mata pencaharian atau cara bagaimana masyarakat memperoleh makanan, pendapatan dan melakukan perdagangan, akan diperoleh pamahaman sebarapa pekanya masyarakat terhadap kejadian-kejadian tertentu. Analisis ini juga memberikan pemahaman tentang pola perubahan mata pencaharian pada setiap kelompok masyarakat pada setiap tingkatan pendapatan serta interaksi dan saling ketergantungan mereka. Â Pendekatan mata pencaharian secara praktis dimanfaatkan untuk memahami bagaimana kelompok mayarakat miskin mengatasi cekaman atau bahaya seperti banjir, kekeringan, kerusakan pasar atau konflik tertentu, bencana letusan gungung berapi dan seterusnya.
Penutup
Tanggapan terhadap bencana sejauh ini di Indonesia umumnya bersifat kuratif. Menghitung dengan akurat jumlah anggota masyarakat/penduduk yang meninggal, luka-luka maupun jumlah pengungsi, jumlah desa (wilayah administratif) atau luasan wilayah geografis termasuk lahan pertanian yang terimbas, jumlah ternak, rumah yang rusak dan harta benda yang hilang, jumlah jembatan yang ambruk, jalan-jalan yang terputus dan seterusnya kemudian memberikan bantuan berupa upaya evakuasi, penyediaan tempat-tempat pengungsian, pengobatan, penyediaan bahan pangan, penyediaan pakan untuk ternak, pemberian bantuan keuangan, bantuan benih, pupuk serta input pertanian lainnya, pembangunan kembali sarana irigasi, jembatan, jalan-jalan yang rusak maupun bantuan lainnya.
Tanggapan secara pre-emptif atau peringatan dini, khususnya terhadap bencana ketahanan pangan, tidak banyak dilakukan atau mungkin tidak banyak terekspose meskipun diketahui bahwa prefalensi kurang gisi terjadi dimana-mana, pasar-pasar tradisional semakin tergeser oleh mini/super markt, pengangguran (kehilangan mata pencaharian) tinggi di berbagai tempat, kehilangan sumberdaya genetik (plasma nutfah) tanaman terjadi dengan sangat pesat, produktifitas lahan pertanian tidak meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan seterusnya yang kesemuanya terbungkus dalam jumlah/presentasi kemiskinan yang masih cukup  tinggi.
Jelas diperlukan penelitian yang lebih detail untuk mendapatkan data/informasi yang lebih akurat terkait kondisi yang sebenarnya, khusunya pada wilayah-wilayah spesifik yang diduga ada kecenderungan kearah bencana ketahanan pangan dan dengan demikian tindakan-tindakan yang lebih sistematis dan terarah dapat diupayakan menanggapi kondisi yang dihadapi.
Biaya yang harus dikeluarkan sebagai tindakan kuratif sebagaimana data diatas, 13,78 trilliun, untuk kurun waktu bencana hampir 2 bulan, saat ini membengkak menjadi 26,75 trilliun (Kertiasa, 2014). Biaya yang harus dikeluarkan dalam sekali bencana di Maluku Tenggara beberapa waktu lalu 11,32 millyard (Antara, 2014). Â Sebagai suatu gambaran manfaat peringatan dan tanggap dini bencana, dikemukakan penjelasan dari Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho bahwa negara USA mengivestasikan 1 juta dolar US untuk antisipasi terjadinya bencana dan berhasil mengurangi potensi kerugian bencana hingga menjadi 7 juta dollar US. Â Uni Eropa menginvestasikan 1 juta dollar US dan mengurangi potensi kerugian bencana hingga mencapai 10-40 juta dollar US (Albasit, 2014). Â Indonesia dapat mengikuti hal serupa agar biaya penaggulangan bencana dapat lebih dihemat.Â
Pustaka
Albasit A. (2014) Bencana Awal 2014 Timbulkan Kerugian Rp13,87 Triliun. Metrotv.com, 17 February 2014.