Mohon tunggu...
Semuel Joris
Semuel Joris Mohon Tunggu... -

setiap anak punya potensi, mari bantu wujudkan tiap potensi mereka...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sisca oh... Sisca...

14 Agustus 2013   10:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:19 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aryo tampak lemas. Barusan ditelepon sama pacar gelapnya Sisca. Siapa yang tak mau menyimpan Sisca? Tubuh aduhai dengan majah manis adalah salah satu alasan Aryo berhubungan dengan Sisca. Tapi sekarang Aryo bingung! Tak tahu harus berbuat apa. Pacarnya yang seorang model majalah itu tiba-tiba menghubunginya di nomor telepon yang biasa digunakannya untuk urusan kantor. Ternyata Sisca bosan disimpan terus. Sisca ingin tampil kemuka bersama Aryo kekasihnya yang adalah seorang komisaris polisi. Telepon itu putus begitu saja. Aryo sedang menangani sebuah kasus. Kasus jambret. Dua orang jambret itu sedang diproses di TKP. Mereka menjambret seorang perempuan muda yang sedang berjalan bersama nenek tua. Sang nenek tua langsung terkapar di jalan saat dijambret. Rupanya tas yang dipegangnya dilekatkan erat-erat di pergelangan tangannya. Sehingga pas dijambret, seketika itu juga si nenek tua terjerembab.

Apartemen Sisca bukanlah sebuah apartemen mewah. Biasanya Sisca tinggal dirumahnya bukan di apartemen ini. Tapi inilah tempat aman. Tempat para saksi disembunyikan. Hanya segelintir orang yang tahu apartemen ini. Hanya sebagian orang yang punya kuncinya. "Pass Key", begitu biasanya para empunya kunci menyebut kartu plastik itu.

Sisca kesal, dibantingnya telepon genggam tadi. Sisca bosan. Hubungan dengan Aryo makin tak jelas. Karirnya juga tak menanjak semenjak berhubungan dengan Aryo. Apalagi akhir-akhir ini Sisca curiga dengan perubahan tubuhnya. Sisca takut dirinya hamil. Makanya buru-buru diteleponnya Aryo. Meskipun tak yakin Aryo akan melakukan permintaannya, Sisca tetap berharap mudah-mudahan Aryo mau.

Aryo pulang ke rumahnya. Rumah itu rumah yang indah. Banyak pepohonan dan taman yang sedap dipandang. Niken dan Bayu keluar menyambut Aryo. Niken berumur 5 tahun dan Bayu berumur 3 tahun. Anak-anak yang ganteng dan cantik buah perkawinan Aryo dengan Dini selama hampir tujuh tahun. Dini tersenyum melihat Aryo. Aryo menghempas dirinya ke sofa. Pikirannya masih kalut. Niken yang berlari ingin duduk di pangkuan Aryo terpaksa menelan kecewa. Bapaknya lagi "nggak mood" saat itu. Bayu hanya sibuk dengan permainan balok kayu. Niken akhirnya bergabung dengan Bayu. Tapi Bayu ternyata tak ingin teman. Mereka ribut. Bayu menangis. Niken menangis. Aryo makin pusing.

Aryo bangkit dari sofa menuju pintu ruang tamu. Ditekannya tuts-tuts telepon genggam itu. Tak tahu siapa yang dia hubungi. Mimik mukanya tampak serius.

"Bagaimana? Sudah?" tanya Aryo. Terdengar suara berisik menjawab. Aryo tampak tersenyum. Pikiran galaunya tampaknya mendadak sirna. Dia kembali ke ruang tamu. Kembali menghempas dirinya di sofa itu. Sofa hadiah perkawinan dari mertuanya, orang tua Dini. Diseruputnya kopi panas buatan Dini. Dinyalakannya televisi menonton berita. Setelah itu Aryo pergi mandi.

"Siapa?" tanya Sisca. Seharusnya tidak ada tamu siang itu. Biasanya Aryo memang datang di siang hari sekedar bertemu Sisca. Melepas kangen. Melepas segalanya. Tapi siang itu tak ada janji bertemu Aryo.

"Wawan... saya disuruh pak Aryo.."

Sisca membuka pintu. Tampak dua orang bercelana hitam dan berkemeja sekadarnya di luar. Keduanya masuk.

"Ada apa?" tanya Sisca lagi. Rupanya keduanya diminta oleh Aryo untuk memberitahu Sisca agar menyerahkan "pass key" kepada mereka. Sisca tak boleh lagi menggunakan apartemen itu. Sisca marah. Dia menolak menyerahkan kunci apartemen itu. Kedua orang tadi mengancam agar Sisca menyerahkan saja kunci itu dan segera pergi meninggalkan apartemen. Tapi Sisca tetap menolak. Sisca mengancam berteriak. Kedua orang itu pergi keluar. Sisca melirik lewat lubang intip yang ada di pintu. Benar, keduanya rupanya sudah pergi.

Bergegas diambil Sisca tas tentengnya. Dimasukkannya semua barang miliknya ke dalam tas tadi. Sisca keluar apartemen menuju kantornya. Di kantor, Sisca tak lama. Rasa takut menggelayutinya. Jangan-jangan dua orang tadi akan kembali, pikirnya. Segera Sisca keluar, mobil distarter. Menuju kos-kosan.

"Fin, halo Fin?" suara Sisca terdengar ketakutan.

"Iya, Sis, ada apa?" suara itu suara Fino rekan Sisca di kantor.

"Kayaknya aku dibuntutin nih... dari tadi ada sepeda motor yang ngikut di belakang" jawab Sisca lagi.

"Coba kamu belok terus belok lagi Sis, nanti cek apa masih diikuti apa tidak, atau coba minggir sebentar, lihat apa maunya mereka.. " saran Fino terdengar di telepon.

Sisca tak mengikuti saran Fino. Malah mobil itu dipacu makin cepat. Masuk kos-kosan, Sisca melambat. Sejenak ditengoknya ke belakang. Tak ada sepeda motor tadi. Syukurlah, pikirnya. Mungkin hanya perasaanku saja. Mobil itu masih menyala di depan pagar. Sisca turun hendak membuka pagar.

"Ahhh... " teriak Sisca. Dua orang tiba-tiba muncul. Suara motor meraung keras. Dua orang dan satu motor. Satu orang memegang sejenis golok. Darah mengalir. Sisca terjatuh.

"Lepas...lepas.." suara seorang yang lebih muda terdengar. Jatuhnya Sisca rupanya menimpa orang yang diboncengnya. Masih sadar, Sisca berusaha memegangi orang yang dibonceng itu.

"Tancap saja, nanti juga lepas sendiri..." sahut yang dibonceng. Motor meraung makin keras. Tubuh Sisca terseret. Tapi Sisca bertahan. Akhirnya pegangan itu lepas seiring dengan regangnya sang nyawa.

Pagi itu, cuaca tampak cerah. Tak sedang musim hujan di kota ini. Berita demi berita berganti. Seorang model ditemukan tewas di jalan. Ada luka bacok, ada luka terseret.

Kontroversi merebak. Bnayak kejanggalan. Banyak misteri. Tak ada yang tahu kenapa Sisca. Tak ada yang tahu kenapa Wawan dan kenapa Ade. Yang jelas Ade mengaku. Wawan otaknya, katanya. Keduanya masih ada hubungan darah. Paman dan keponakan katanya.

Rekening itu awalnya dibuka untuk dana tujuh belasan. Seorang bapak tua tampak menuju mesin ATM, mengecek saldo. Tersenyum puas. Uang itu cukup untuk sekedar hidup bertahun-tahun.

Koran-koran ramai memberitakan. Tapi tak ada yang mengungkapkan. Polisi hanya membuat satu pernyataan, "Terbunuhnya Sisca murni kasus kriminal alias penjambretan belaka", begitu katanya.

Catatan: Nama dan peristiwa di atas hanya rekaan saja alias fiktif belaka. Mohon maaf jika ada persamaan nama dan peristiwa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun