"Fin, halo Fin?" suara Sisca terdengar ketakutan.
"Iya, Sis, ada apa?" suara itu suara Fino rekan Sisca di kantor.
"Kayaknya aku dibuntutin nih... dari tadi ada sepeda motor yang ngikut di belakang" jawab Sisca lagi.
"Coba kamu belok terus belok lagi Sis, nanti cek apa masih diikuti apa tidak, atau coba minggir sebentar, lihat apa maunya mereka.. " saran Fino terdengar di telepon.
Sisca tak mengikuti saran Fino. Malah mobil itu dipacu makin cepat. Masuk kos-kosan, Sisca melambat. Sejenak ditengoknya ke belakang. Tak ada sepeda motor tadi. Syukurlah, pikirnya. Mungkin hanya perasaanku saja. Mobil itu masih menyala di depan pagar. Sisca turun hendak membuka pagar.
"Ahhh... " teriak Sisca. Dua orang tiba-tiba muncul. Suara motor meraung keras. Dua orang dan satu motor. Satu orang memegang sejenis golok. Darah mengalir. Sisca terjatuh.
"Lepas...lepas.." suara seorang yang lebih muda terdengar. Jatuhnya Sisca rupanya menimpa orang yang diboncengnya. Masih sadar, Sisca berusaha memegangi orang yang dibonceng itu.
"Tancap saja, nanti juga lepas sendiri..." sahut yang dibonceng. Motor meraung makin keras. Tubuh Sisca terseret. Tapi Sisca bertahan. Akhirnya pegangan itu lepas seiring dengan regangnya sang nyawa.
Pagi itu, cuaca tampak cerah. Tak sedang musim hujan di kota ini. Berita demi berita berganti. Seorang model ditemukan tewas di jalan. Ada luka bacok, ada luka terseret.
Kontroversi merebak. Bnayak kejanggalan. Banyak misteri. Tak ada yang tahu kenapa Sisca. Tak ada yang tahu kenapa Wawan dan kenapa Ade. Yang jelas Ade mengaku. Wawan otaknya, katanya. Keduanya masih ada hubungan darah. Paman dan keponakan katanya.
Rekening itu awalnya dibuka untuk dana tujuh belasan. Seorang bapak tua tampak menuju mesin ATM, mengecek saldo. Tersenyum puas. Uang itu cukup untuk sekedar hidup bertahun-tahun.