Maros, 26 Nopember 2017Â
*Â
Kemarin  ia tak seperti biasanya, tatapannya sayu dan lebih sering menghindar  jika diajak bertatap mata. Kantung matanya juga terlihat bengkak,  semalaman mungkin ia menangis tersedu.Â
"Beras  ini harganya berapa, daeng?" Tanya seorang wanita yang memakai baju  kaos sedikit ketat dengan bawahan celana jeans pendek yang  mempertontonkan paha mulusnya.Â
Ia  tak langsung menjawab, ditatapnya wanita yang berdiri dihadapannya.  Menyadari pakaian wanita itu kurang pantas, ia lalu menundukkan  pandangan. Ia memilih menatap 'wajah-wajah' beras dagangannya.Â
"Sepuluh ribu satu liter, bu," ucapnya lirih.Â
"Kenapa mahal sekali? Biasanya delapan ribuji'."Â
"Maaf  Bu, ini beras baru dan kualitasnya nomor satu di pasar ini, jika ibu  berminat silakan beli tapi kalo tidak mauki', yah, tidak masalahji'."  Jawabnya ketus.Â
Wanita itu tak menimpali dan segera berlalu meninggalkan pedagang beras itu.Â
Sejenak,  kuperhatikan tingkah laku sahabatku itu, sepertinya ia sedang ada  masalah. Masalah apa? Ia sudah jarang bercerita denganku sejak ia mengikuti kelompok yang mewajibkan anggotanya untuk mengikuti kajian  setiap malam jum'at di rumah guru besar mereka. Kalau tidak salah, rumah  guru besarnya di daerah Pallangga, Kabupaten Gowa. Itu informasi yang  kudengar dari tetanggaku yang suaminya juga salah satu anggota kelompok  tersebut.Â
*Â