Mohon tunggu...
Dinan
Dinan Mohon Tunggu... Abdi Masyarakat -

Seorang yang ingin belajar menulis dengan nama pena Dinan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Melipat Kenangan

23 September 2017   22:01 Diperbarui: 23 September 2017   23:11 1456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kejernihan matamu tak sebanding dengan kejernihan mataku." Kamu mengangkat kedua sudut bibir tipismu. Tersenyum puas.

Aku hanya bisa menghela napas. Bukan hanya sekali tapi empat kali.

Itulah salah satu keanehanmu, kamu mampu melihat hal gaib seperti sayap malaikat. Dan, hampir tiap ada kesempatan, kamu terus berusaha menujukkannya kepadaku, walau sampai detik ini mataku belum mampu melihat itu.

Bila malam telah melengserkan siang, kamu hanya terduduk manis di ruang belajarmu sambil membaca buku-buku yang tak satupun bisa masuk dalam otakku. Temanya terlalu berat. Sudah puluhan buku kamu lahap, mulai dari tema psikologi, filsafat sampai sejarah islam. Dan semua itu, hanya bisa menjadi pengantar tidurku.

Gelas bermotif Doraemon yang berisi cokelat hangat akan selalu menemanimu. Kamu menaruhnya di sudut yang sama tiap saat, di sudut kanan atas mejamu.

"Gelas ini harus di situ. Aku sudah menandainya dengan spidol merah. Tepat disitu." Telunjukmu mengarah ke gambar kotak dengan garis merah di sudut kanan meja belajarmu. Kamu melanjutkan, "bila aku menaruhnya di sudut lain maka gelas itu akan jatuh ke lantai dan cokelatku akan tumpah. Hidup adalah keteraturan. Ketidakteraturan berarti kematian."

 Lagi, aku hanya membisu.

Saat matahari mulai merayap di timur kamu sudah siap dengan pakaian olahraga berwarna putih yang kamu beli dari salah satu situs online kepercayaanmu. Kamu menarikku keluar dari kamar dengan paksa, "titik awal harus senantiasa diisi dengan peluh dan senyum jangan hanya bisa menguap."

Dengan pakaian yang kupakai tadi malam, kamu terus menyemangatiku sambil berlari dan berteriak dengan lantang, "Ayo semangat!" Aku hanya membalasnya dengan menguap dan mataku mulai terbuka setengah, begitupula kesadaranku setengahnya lagi masih di atas bantal empuk di kasur kita.

Itulah kamu, Nayla. Tiap hembusan napasmu selalu dipenuhi aura positif dan produktif. Sedang saya... Ah, sudahlah.

Tapi, ada satu hal yang tak bisa aku tolerir darimu, Nayla. Caramu membuat kopi susu yang jauh dari harapanku. Sudah dua setengah tahun kita bersama, tak pernah sekalipun kamu membuat kopi yang bisa membuat lidahku berdecak. Tidak. Sangat parah. Tetap saja aku akan meminumnya sampai tetes terakhir, karena bila tidak, maka jatah makan malamku akan berubah menjadi lembar-lembar buku Aristoleles, Plato, Imam Al Ghazali, bahkan sampai Umar Bin Khatab. Dan itu, akan membuatku kelaparan sampai pagi hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun