Demi Masa.
Semua akan bermuara pada Langit, termasuk aku. Setiap orang yang bertanya padaku, apa minatmu? Dengan terbata-bata akan kujawab, merenung. Seperti sore ini, duduk sendiri di halaman rumah sambil merenungi ‘masa’, ditemani rumput yang bergoyang lembut dibelai angin.
Masa?
Masa memberiku makna akan napas yang sedari tadi menghembus perlahan. Rasa syukurku tak seberapa atas masa yang diberikan oleh Penguasa Masa. Aku terus saja melewati masa ini dengan apa adanya, tanpa ada ‘prestasi cemerlang’ untuk sekadar ‘dilirik’ oleh Langit.
Semua berjalan dengan cepat, aku tak mampu menahan semua ini. Sampai kapan aku seperti ini? Berjalan di setapak masa yang terbatas, sedang ibadahku selalu di ujung masa. Janji selalu berceloteh di hati kecilku, aku akan beribadah di setiap inci napasku. Tapi kenyataannya tak demikian. Yang ada aku hanya terlena oleh nafsu dan maksiat yang meraja.
Andai masa bisa berulang akan kumohon kepada Penguasa Masa agar aku tak usah terlahir di dunia ini. Aku hanya perusak di semesta-Nya.
Berteriak lantang tentang kebenaran yang tak dapat kukerjakan.Â
Berteriak Kafir kepada mereka yang masih mencari arti Tuhan.Â
Berteriak bodoh kepada saudaraku.
Itukah akhlak langit? Sepertinya bukan. Langit tak pernah meminta, ia hanya memberi. Tujuannya hanya satu, menanguni penghuni bumi dengan hangat tanpa melihat warna dan keyakinannya. Mengapa aku tak mampu menirunya? Mungkin, aku butuh masa lagi.
Mungkin!