Mohon tunggu...
Dinan
Dinan Mohon Tunggu... Abdi Masyarakat -

Seorang yang ingin belajar menulis dengan nama pena Dinan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Pasukan Langit

10 November 2016   15:27 Diperbarui: 10 November 2016   15:29 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demi Masa.

Semua akan bermuara pada Langit, termasuk aku. Setiap orang yang bertanya padaku, apa minatmu? Dengan terbata-bata akan kujawab, merenung. Seperti sore ini, duduk sendiri di halaman rumah sambil merenungi ‘masa’, ditemani rumput yang bergoyang lembut dibelai angin.

Masa?

Masa memberiku makna akan napas yang sedari tadi menghembus perlahan. Rasa syukurku tak seberapa atas masa yang diberikan oleh Penguasa Masa. Aku terus saja melewati masa ini dengan apa adanya, tanpa ada ‘prestasi cemerlang’ untuk sekadar ‘dilirik’ oleh Langit.

Semua berjalan dengan cepat, aku tak mampu menahan semua ini. Sampai kapan aku seperti ini? Berjalan di setapak masa yang terbatas, sedang ibadahku selalu di ujung masa. Janji selalu berceloteh di hati kecilku, aku akan beribadah di setiap inci napasku. Tapi kenyataannya tak demikian. Yang ada aku hanya terlena oleh nafsu dan maksiat yang meraja.

Andai masa bisa berulang akan kumohon kepada Penguasa Masa agar aku tak usah terlahir di dunia ini. Aku hanya perusak di semesta-Nya.

Berteriak lantang tentang kebenaran yang tak dapat kukerjakan. 

Berteriak Kafir kepada mereka yang masih mencari arti Tuhan. 

Berteriak bodoh kepada saudaraku.

Itukah akhlak langit? Sepertinya bukan. Langit tak pernah meminta, ia hanya memberi. Tujuannya hanya satu, menanguni penghuni bumi dengan hangat tanpa melihat warna dan keyakinannya. Mengapa aku tak mampu menirunya? Mungkin, aku butuh masa lagi.

Mungkin!

Detak masa akan terus berdenyut tanpa meminta izinku. Apa yang telah kulukis di masa kemarin? Memoriku mencari lukisan indah, sayang, tak kutemukan. Semuanya tak layak pajang di dinding langit. Bukankah masa ini akan berganti suatu saat nanti? 

Berganti? 

Guruku pernah berkata, “Masa yang kita lewati ini hanya sementara akan berganti menjadi masa yang lebih lama, lebih indah bagi yang berakhlak indah, sebaliknya, akan buruk bagi yang berakhlak buruk. Masa yang lama, dan abadi.” Bila masa itu lebih lama dan abadi, itu artinya, masa yang kita lewati saat ini hanya kerikil kecil tak bernilai. Untuk apa kita terlalu memikirkan sesuatu yang kecil.

Untuk Apa?

Rumput di halaman rumahku masih bergoyang lembut. Tak peduli dengan keresahan dan perenunganku. Tak apa, asalkan Langit masih peduli, itu sudah cukup bagiku.

Langit tak mungkin berpaling, Dia akan menatapmu dengan Kasih-Nya.

Yakinlah!

 

Sungguh manusia berada dalam kerugian,

Hampir semua manusia bergerak didasari pada pondasi untung atau rugi, begitu pula denganku. Tak ada manusia yang ingin merugi. Tak ada.

Tiba-tiba seorang lelaki datang, memarkir motornya di pinggir jalan depan rumahku. Ternyata Imam, sahabatku. Ia menghampiriku sambil memegang koran di tangannya. Ia berlari secepat mungkin. Sesampainya di hadapanku, ia langsung menyodorkan koran itu kepadaku.

“Lihat, mereka buat ulah lagi,” napasnya ngos-ngosan. Mukanya terlihat memerah, entah karena panas matahari atau kekesalan yang menyelimuti hatinya. Lanjutnya, “saya kapok dengan mereka, selalu saja meng-kambinghitam-kan agama kita. Kurang ajar!” Umpatnya.

“Ada apa, Imam? Sabar,” kubaca sepintas koran yang diberikan Imam. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. “Hmmm…”

“Hanya seperti itu responmu?” Imam menatapku nanar.

“Kita bukan Hakim, Imam. Biarlah Sang Hakim yang akan mengadili mereka di akhirat kelak. Bila kamu meminta pendapatku,” kutarik napas beberapa kali. Lanjutku, “Mereka melakukan itu karena mereka mengganggap dirinya Pasukan Langit yang diberi tugas untuk memberantas musuh Islam. Taapiii… “

“Tapi, kenapa?” Imam memotong perkataanku.

“Tapi mereka masih salah kaprah, menurutku.” Kalimat itu terasa berat keluar dari mulutku.

“Sekarang seluruh dunia telah menghujat kita, Dinan. Mereka mengatakan agama kita agama teroris!”

“Sabar dulu, tarik napas… tahan, hembuskan perlahan,”

Imam mengikuti permintaanku. Ia adalah ‘pengikutku’. Wajahnya sudah kembali normal.

“Duduk dulu, temani saya merenung. Akan kubuatkan es teh manis.”

Aku beranjak menuju dapur, sedang Imam duduk dengan sedikit terpaksa. Tapi wajahnya tak bisa berbohong, ia sangat ingin es teh manis.

Lima menit kemudian, dua teh manis telah tersaji di meja. Imam langsung meneguknya dengan semangat.

“Imam, manusia bergerak berdasarkan persepsinya terhadap kebenaran. Jangan pernah menghujat, cukup disampaikan, kita bukan Tuhan.” Kuteguk perlahan teh manis di depanku.

“Tapi, mereka telah merusak Islam, agama kita.” Mukanya kembali memerah, sepertinya, es teh manis belum mampu meredam emosinya.

“Itu adalah cara mereka untuk memperoleh syahid. Biarkan saja. Islam akan tetap suci karena Islam adalah agama yang mengajarkan ‘kesucian akhlak’. Yang rusak bukan agamanya, tapi pemeluknya. Tugas kita memberi contoh, inilah Islam Yang Benar, Rahmat untuk Seluruh Alam.”

Imam terdiam sejenak, ia mengelus punggung tangannya dengan lembut. Mungkin, ia sedang memikirkan kata-kataku. Matanya terlempar ke halaman, mencari objek yang entah apa.

“Kawan. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” Ucapku lirih.

 

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.

“Saya pulang dulu,” ucap Imam kemudian setelah mendengar kalimat terakhirku.

“Iya, hati-hati!”

“Assalamualaikum…”

“Walaikumsalam…”

Imam berlari menuju pinggir jalan, kemudian berlalu dengan kuda jepangnya.

Apakah dia mengerti ucapanku?

Aku masih melanjutkan renunganku sambil menunggu azan maghrib. Saat ini, terlalu banyak yang merasa dirinya Pasukan Langit. Kuambil smartphone di saku celanaku. Kutuliskan status di media sosialku…

 

Pasukan Langit…

Terima kasih,

atas suara lantangmu, keringatmu, uangmu, dan nyawamu.

Tapi…

Jangan membabi buta dengan hatimu yang buta.

 

Pasukan Langit…

Agama yang benar adalah Agama yang mengajarkan cinta kasih,

bukan pertumpahan darah.

Tapi…

Bila mereka ingin merampas tauhidmu atau wilayahmu, LAWANLAH walau nyawa taruhannya. 

 

Pasukan Langit…

Siapakah mereka?

Warga Palestina yang melawan kebiadaban zionis Israel, walau nyawa taruhannya.

Para Ulama yang berani mengatakan kebenaran jika memang benar, walau kebebasan taruhannya.

Para Pejabat yang berani menolak suap, tak sepeser pun hartanya adalah hasil korupsi, walau jabatan taruhannya.

Para pemuda yang mempelajari, menghapal, melaksanakan dan mengajarkan Al-Qur’an, walau masa muda taruhannya.

Para Insan yang ikhlas beribadah kepada-Nya, walau kesabaran taruhannya.

 

‘Kirim’

 

Entah status itu benar atau tidak, yang jelas, Kebenaran hanya milik Langit yang akan senantiasa dibela oleh Pasukan Langit…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun