Mohon tunggu...
Dinan
Dinan Mohon Tunggu... Abdi Masyarakat -

Seorang yang ingin belajar menulis dengan nama pena Dinan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Mimpi Ibrahim

15 Agustus 2016   15:40 Diperbarui: 15 Agustus 2016   17:55 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: jamalswb.wordpress.com

Ibrahim tersadar dari mimpinya. Napasnya saling memburu, antara napas satu dan lainnya 'jaraknya' hanya satu detik, sangat cepat. Jantungnya berdetak kencang. Tubuhnya bermandikan keringat.

Ternyata hanya mimpi.

Mengapa mimpi itu menghampirinya? Sampai saat ini, ia belum tahu mengapa mimpi disebut juga bunga tidur? Padahal mimpi tak selamanya indah. Tak jarang, beberapa mimpi membuat kita ketakutan atau penasaran ketika terbangun. Seperti mimpinya malam ini.

Dalam mimpinya, Ibrahim sedang berada di gurun pasir yang terhampar luas. Matahari terasa panas menyengat kulit halusnya. Sepanjang penglihatannya hanya ada pasir. Angin menyapu lembut butiran pasir. Membawanya hilir mudik tak tentu arah. Di sana, ia bagai butiran kecil pasir. Terhempas ke utara atau ke selatan. Jalan tergopoh-gopoh. Keringatnya mengalir di setiap inci tubuhnya. Tak ada sumber air di sekitarnya. Kehausan. Tak tahu harus ke mana. Mencari apa.

Di mana ini?

Awan hitam tiba-tiba menyarungi matahari. Kali ini Ibrahim tak merasa sepanas sebelumnya. Hawanya sedikit sejuk, ditambah lagi, angin berhembus sepoi-sepoi, membelai tubuhnya dengan kesejukan. Ia pun memutuskan tuk sedikit saja beristirahat. Duduk santai sembari menatap butiran pasir di depannya.

Tiba-tiba, pada pasir di depannya tertulis suatu kalimat.

Apakah kamu tak ingin menyurat untuk Tuhan, Ibrahim?

Ibrahim pun membalas dengan menuliskan kalimat,

Memangnya bisa menyurat kepada Tuhan lewat hamparan pasir ini?

Lama Ibrahim menunggu jawaban dari tanyanya. 'Sarung' matahari di langit biru semakin 'besar' dan 'kainnya' bertambah 'tebal'. Sejurus kemudian, sesuatu yang ditunggu Ibrahim akhirnya nampak jua.

Tulislah suratmu di Pasir ini, sebanyak yang kamu ingin, Ibrahim. Semoga Tuhan membacanya. Bukankah Dia membaca dunia nyata dan mimpi? Dia Penggenggam Semua Dunia.

Setelah memikirkan beberapa menit, akhirnya, Ibrahim menuliskan suratnya pada hamparan pasir di depannya. Ia menyentuh butiran-butiran pasir. Tak lagi panas seperti sebelumnya. Untung saja, 'sarung' itu menaungi butiran pasir.

Bismillahirrahmanirrahim... dengan telunjuknya ia menuliskan surat untuk Tuhan.

Tuhan,

Jubahku terasa berat akhir-akhir ini. Ke mana sepotong kekuatanku itu Tuhan? Terhempas oleh maksiat atau aku memakai jubah yang tak sesuai dengan kemampuanku?

Saat ini, aku harus pergi mengelana lagi, lagi, dan lagi. Sampai kapan ini akan berakhir, Tuhan? Sampai aku tak mampu lagi mengelana atau sampai aku mati? 

Tuhan,

Kapan air mata ini mengering? Tiap lembaran hidupku bertintakan air mata. Berpena perpisahan. Dan, napasku membukukannya dalam kesunyiaan.

Aku yakin, sangat yakin. Kamu bersama orang-orang yang khusyuk  dan sabar. Tapi khusyukku digerogoti oleh fana sedang sabarku dibanting oleh nafsuku.

Tuhan,

Semua pinta Hamba-Mu pasti Kamu penuhi. Bergantung dari keringatnya saat mengemis kepada-Mu. Aku merasa keringatku telah menenggelamkan tubuhku. Belum cukupkah?

Engkau melarang kami berandai. Detik ini, bolehkah aku berandai walau sekali Tuhan? Seandainya raga kami bernaung dalam satu atap, maka kan kupangkas seluruh semak belukar menuju jalan-Mu. Betapa mutualismenya. Maaf.

Tuhan,

Semesta akan berakhir pada kalbuku. Di dalamnya, ada lubang hitam nan hampa. Keberadaan hakikatnya adalah kehampaan. Betulkah kesimpulanku Tuhan?

Tanah ini terasa menyesatkan. Bolehkah aku meminta Langit?

Dari Hamba-Mu yang serakah...

 Setelah menulis suratnya, Ibrahim menggambar bingkai. Berharap suratnya tak diterbangkan angin atau terhapus oleh kalajengking gurun. Ia pun membacanya berulang-kali, jangan sampai ada diksi yang kurang sopan. Surat ini untuk Raja Semesta. Tak boleh sembarangan.

Kiamat kecil menghampiri Ibrahim. 'Sarung' itu memuntahkan air ke gurun pasir. Tak berapa lama, suratnya terhapus oleh butir-butir air. Ia pun meratap sedih.

Apakah Tuhan sempat membaca suratku?

Butir-butir air itu juga membasahi tubuh Ibrahim. Perubahan suhu tubuhnya dari panas menjadi dingin membuatnya menggigil. Demam membungkus sekujur tubuhnya. Ratapannya semakin menggila. Di ikuti matanya yang memburam. Entah karena demam atau air hujan yang menutupi pandangannya.

 Ibrahim terbangun dari ranjang. Matanya menelanjangi kamarnya. Pada lantai dekat kipas anginnya, ada sesuatu yang aneh.

Kun Fa Yakun

Ditulis dengan butiran pasir...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun