Tulislah suratmu di Pasir ini, sebanyak yang kamu ingin, Ibrahim. Semoga Tuhan membacanya. Bukankah Dia membaca dunia nyata dan mimpi? Dia Penggenggam Semua Dunia.
Setelah memikirkan beberapa menit, akhirnya, Ibrahim menuliskan suratnya pada hamparan pasir di depannya. Ia menyentuh butiran-butiran pasir. Tak lagi panas seperti sebelumnya. Untung saja, 'sarung' itu menaungi butiran pasir.
Bismillahirrahmanirrahim... dengan telunjuknya ia menuliskan surat untuk Tuhan.
Tuhan,
Jubahku terasa berat akhir-akhir ini. Ke mana sepotong kekuatanku itu Tuhan? Terhempas oleh maksiat atau aku memakai jubah yang tak sesuai dengan kemampuanku?
Saat ini, aku harus pergi mengelana lagi, lagi, dan lagi. Sampai kapan ini akan berakhir, Tuhan? Sampai aku tak mampu lagi mengelana atau sampai aku mati?Â
Tuhan,
Kapan air mata ini mengering? Tiap lembaran hidupku bertintakan air mata. Berpena perpisahan. Dan, napasku membukukannya dalam kesunyiaan.
Aku yakin, sangat yakin. Kamu bersama orang-orang yang khusyuk dan sabar. Tapi khusyukku digerogoti oleh fana sedang sabarku dibanting oleh nafsuku.
Tuhan,
Semua pinta Hamba-Mu pasti Kamu penuhi. Bergantung dari keringatnya saat mengemis kepada-Mu. Aku merasa keringatku telah menenggelamkan tubuhku. Belum cukupkah?