Mohon tunggu...
Dinan
Dinan Mohon Tunggu... Abdi Masyarakat -

Seorang yang ingin belajar menulis dengan nama pena Dinan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Pulang Itu?

15 Agustus 2016   13:05 Diperbarui: 15 Agustus 2016   13:26 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: capslocknet.com

 Semesta akan terhenti kala kita tak tahu jalan pulang, katamu pada suatu pagi. Aku tak tahu makna dari perkataanmu itu, keningku hanya berkerut, dan kamu tak menggubrisnya. Kamu selalu saja membuat pernyataan filosofis saat kita sedang berdua. Menurutku, hanya Tuhan dan kamu yang tahu apa maknanya.

Pulang? 

Bukankah kita sudah punya rumah kecil di kampungmu, mengapa kamu tak tahu jalan pulang?

Hatiku bertanya sendiri.

Kamu tetap saja tak mendengar bisikan dan tanya di dalam hatiku. Kamu hanya asyik dengan pergulatanmu sendiri. Pikiranmu sendiri.

“Kamu tahu jalan pulang, An?” Tanyamu membuyarkan lamunanku. Ditambah lagi, mata tajammu menusuk masuk ke dalam mataku, bukan hanya mataku tapi sampai di relung terdalam hatiku. Seandainya matamu punya telinga, mungkin, kamu akan mendengar ocehannya. Atau mungkin, hatiku belum tamat SD, hingga tak mampu menulis dan matamu tak mampu membacanya.

“Tentu saja, kan rumah kita sudah ada di dekat rumah ibumu, Bas.”

“Begitu yah?”

Kamu memainkan rambutmu dengan telunjuk, memelintir dan memainkannya semaumu. Sampai akhirnya mulutmu terbuka lagi, “Di sana sudah tak ada yang memikirkan kita,”desahan napasmu terdengar jelas di telingaku, “bukankah jalan pulang adalah jalan menuju tempat di mana ada orang yang senantiasa memikirkan kita, An?”

 

Pulang adalah tempat di mana ada orang yang senantiasa memikirkan kita.

Kuulangi beberapa kali kalimatmu, kumaknai, dan kupikirkan dalam-dalam.

 

“Di sanakan ada ibumu, Bas? Beliau selalu memikirkan kita, kurang apa lagi?”

Sejurus kemudian, wajahmu memutar sembilan puluh derajat. Sekarang, kamu menatap lurus ke depan. Menelanjangi halaman depan. Bisa jadi, kamu menatap burung gereja yang sedang bermain di dahan pohon jambu itu, atau, menikmati tarian daun kelapa yang mengikuti alunan merdu angin pagi ini. Ternyata tidak, matamu berusaha membantu otakmu untuk mencari jawaban sederhana untukku. Jawaban sederhana, yang bisa ditelaah oleh otakku yang dangkal.

“Apakah ibu akan menyebut dan memikirkan kita saat sakratul maut, An?”

“Entahlah…” Gumamku.

“Beliau pasti memikirkan kita, tapi…” Kalimatmu menggantung di sana.

“Tapi apa, Bas?”

“Ia belum tentu sempat menyebut nama kita, berbeda dengan Muhammad. Beliau menyebut kita tiga kali, An. Tiga kali. Umatku, Umatku, Umatku!”

“Jadi?”

“Pulang itu, kembali ke tempat Muhammad. Jalannya harus sama dengan jalan yang ditempuhnya. Tempat kembali Rasulullah adalah Allah. ‘Rumahnya’ adalah Allah. Apakah itu rumah yang bagus, An?”

Aku terdiam, terhentak oleh pernyaataan terakhirmu. Tak pernah aku memikirkan makna pulang, makna rumah, apalagi makna kembali kepada Allah.

“Sepertinya, sudah saatnya kita pulang, Bas.”

Akhirnya, kilatan cahaya di matamu berpendar. Kamu sangat senang dengan kalimat terakhirku. Posisi dudukmu kali ini terlihat santai.

Terima kasih telah menjadi suamiku. Bas. Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun