Kuulangi beberapa kali kalimatmu, kumaknai, dan kupikirkan dalam-dalam.
“Di sanakan ada ibumu, Bas? Beliau selalu memikirkan kita, kurang apa lagi?”
Sejurus kemudian, wajahmu memutar sembilan puluh derajat. Sekarang, kamu menatap lurus ke depan. Menelanjangi halaman depan. Bisa jadi, kamu menatap burung gereja yang sedang bermain di dahan pohon jambu itu, atau, menikmati tarian daun kelapa yang mengikuti alunan merdu angin pagi ini. Ternyata tidak, matamu berusaha membantu otakmu untuk mencari jawaban sederhana untukku. Jawaban sederhana, yang bisa ditelaah oleh otakku yang dangkal.
“Apakah ibu akan menyebut dan memikirkan kita saat sakratul maut, An?”
“Entahlah…” Gumamku.
“Beliau pasti memikirkan kita, tapi…” Kalimatmu menggantung di sana.
“Tapi apa, Bas?”
“Ia belum tentu sempat menyebut nama kita, berbeda dengan Muhammad. Beliau menyebut kita tiga kali, An. Tiga kali. Umatku, Umatku, Umatku!”
“Jadi?”
“Pulang itu, kembali ke tempat Muhammad. Jalannya harus sama dengan jalan yang ditempuhnya. Tempat kembali Rasulullah adalah Allah. ‘Rumahnya’ adalah Allah. Apakah itu rumah yang bagus, An?”