Mohon tunggu...
Fahri Semendaway
Fahri Semendaway Mohon Tunggu... wiraswasta -

wiraswasta Olahraga Minat pada Marketing Pendidikan Akuntansi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Partai di Ujung Cinta, Teman Ahok di Ujung Tanduk

3 Maret 2016   20:15 Diperbarui: 3 Maret 2016   20:33 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Photo : SF Collections"][/caption]

Karir Politik Ahok

Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, bukanlah orang bodoh dalam hal politik. Dia faham betul dengan kata bijak “Kesempatan Tidak Datang Dua Kali”. Hal ini dapat dibuktikan dari rekam jejaknya dikancah politik, dimulai dari kota kelahirannya Belitung Timur hingga Ibukota DKI Jakarta.

Diawali dengan terpilihnya Ia sebagai Anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur dari Partai Perhimpunan Indonesia Bersatu tahun 2004 Ia memulai karir politiknya, jabatan ini hanya dijalaninya selama 1 tahun, yang kemudian mencalonkan diri menjadi Bupati Belitung Timur diusung oleh koalisi partai kecil dan terpilih, jabatan Bupati pun hanya dijalaninya selama 1 tahun yang kemudian Ahok tergiur menguji lagi peruntungannya dengan ikut pemilihan Gubernur Bangka Belitung dan apa boleh buat Ia gagal. Tahun 2009 Ia mencoba lagi karir politiknya melalui Partai Golkar dan berhasil melenggang ke Senayan. Menjelang tahun 2012 Ia sebetulnya ingin maju kembali menjadi calon gubernur namun kali ini Ia membidik Sumatera Utara namun gagal karena tidak ada partai yang mengusungnya, namun Ahok tidak putus asa Ia kembali melirik Bangka Belitung  dan sudah ada komunikasi dengan Anas Urbaningrum dan juga didukung oleh Mardzuki Ali namun terbentur kepentingan dengan Zulkarnain Karim, Ahok juga mengatakan bahwa Ia tidak akan takut dipecat oleh Golkar jika kelak jadi maju menggunakan Partai Demokrat, namun pinangan Gerindra lebih menggiurkan hatinya terlebih Ia mengetahui akan dipasangkan dengan Jokowi yang mulai menanjak popularitasnya dengan metode blusukan yang sudah dimulainya lama sebelum pencalonan, hingga Ahok akhirnya sampai ditangga puncak kekuasaan DKI1.

Pada awal Ahok resmi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, penolakan terhadap dirinya sudah terjadi dimana sebagian masyarakat dengan mengetengahkan isu etnis dan agama menunjukkan resistensi dengan membentuk Gubernur tandingan. Ahok tentunya sudah memperkirakan hal ini akan terjadi maka sebelumnya Ia sudah siap dengan merapat ke Jokowi dan PDIP dengan cara mundur dari Gerindra.

Siapa yang tidak tahu dengan reputasi dan kehebatan PDIP, apalagi saat ini mereka tampil sebagai pemenang Pemilu dan kader Partainya menjabat sebagai Presiden RI, tentunya menjadi idaman bagi setiap petualang politik untuk dapat bekerjasama dengan mereka.

Ahok sadar dengan dirinya, bahwa resistensi terhadap dirinya selama ini tidak bisa dianggap enteng bahkan jika Ia tidak hati-hati dan salah perhitungan, bisa-bisa terjungkal pada PILKADA DKI Jakarta 2017 mendatang. Posisi yang dia capai saat ini bukanlah hasil kerja keras dirinya dan bukan dari hasil menjual namanya pada 2012 yang lalu. Kelemahan yang ada pada dirinya saat ini sedapat mungkin harus dinetralisir sedemikian rupa agar tidak menjadi salah satu faktor kekalahan dirinya.

Adanya Relawan Teman Ahok yang selama ini terus berjibaku banting tulang mengumpulkan KTP dukungan dengan segala cara hanyalah sebatas ‘karpet lusuh’ yang terbentang untuk Ahok sampai keanak tangga pertama sebuah rumah panggung nan megah, sedangkan untuk menuju pintu utama dan membukanya Ahok masih harus meniti selusin anak tangga lagi yang tentunya lebih berat daripada perjalanan menuju anak tangga pertama. Selusin anak tangga yang harus di titi oleh Ahok sangat curam dan licin, Ahok membutuhkan pegangan untuk menuntunnya agar selamat dari hadangan anak tangga tersebut.

 

Strategi Politik Mulai Jalan

Pecahnya PDIP dengan Gerindra pada Pilpres 2014 membuat Ahok menjadi serba salah, kedua partai yang mengusungnya menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta harus berhadap hadapan, hingga dirinya selalu menjadi sorotan publik dan mempertanyakan dimana kakinya berpijak saat itu. Sebenarnya situasi ini sejatinya adalah situasi yang cukup sulit untuk disikapi, tapi tidak bagi politikus sekelas Ahok, Ia justru menikmati kondisi itu, dimana Ia akan tetap menjadi pemenang. Jika Prabowo yang memenangkan pertarungan maka dirinya adalah tangan kanan Presiden tentunya posisi tawarnya terhadap Jokowi akan semakin besar, sebaliknya jika Jokowi yang memenangkan pertarungan maka secara resmi dirinya yang akan menjadi orang nomor 1 di DKI Jakarta.

Akhirnya Jokowi menjadi RI1 dan Ahok mulai menyusun rencana jangka panjang karir politiknya, dimulai dari strategi pindah rumah dimana Ia merasa rumahnya yang lama (yang sebenarnya baru saja ia tempati 2 tahun) sudah tidak akan membawa hoki lagi jika tepat tinggal disitu. Satu bulan sebelum pelantikan Jokowi jadi RI1 Ahok menyatakan diri mundur dari Gerindra yang telah mengantarnya menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta. Publik terkejut dengan peristiwa itu dan bertanya tanya apa sebabnya Ahok berhenti dan kemana Ahok akan berlabuh. 

Awam boleh saja heran dan bertanya apa gerangan yang menjadi sebab Ahok keluar dari Gerindra, tapi bagi pengamat politik maksud Ahok dapat dilihat dengan kasat mata, terlebih dengan alasan yang sepele dan menggelikan, karena wacana pemilihan kepala daerah yang akan dikembalikan ke DPRD bukanlah wacana baru, hal ini sudah mencuat sejak tahun 2009 dan tidak pernah benar benar terealisir dalam bentuk UU, sedangkan saat itu posisi Ahok bukan sebagai anggota legislatif dari Gerindra, tapi sebagai eksekutif yang tidak punya peran apapun dalam menentukan UU, artinya apapun sikap yang diambil oleh Ahok mengenai wacana tersebut tidak akan berpengaruh terhadap wacana tersebut. Kemana Ahok akan berlabuhpun sudah terang benderang, walaupun tidak terang terangan dinyatakan seperti  ketika Ia loncat dari Golkar ke Gerindra.

Kursi DKI1 sudah didepan mata dan sudah menjadi kepastian dalam genggaman, hingga yang terpikirkan saat itu adalah bagaimana memaksimalkannya, tak lain dan tak bukan adalah dengan cara bernaung di pusat kekuasaan yang tak lain dan tak bukan adalah Presiden Jokowi dan PDI Perjuangan, namun harus dilakukan dengan cara smart dan elegan hingga kesan oportunis tidak mencuat dan menciptakan citra buruk bagi dirinya. Jadilah kesan bahwa sejak saat itu Ahok resmi tidak kemana-mana tapi ada dimana-mana dan sepenuhnya menjadi milik masyarakat.

Jauh hari menjelang PILKADA 2017, sandiwara politikpun dimulai. Menyusul perseteruan yang berkepanjangan dengan DPRD, dibuatlah seolah-olah Ahok akan ditinggalkan oleh partai-partai yang tidak akan mengusungnya maju sebagai cagub petahana. Gerindra sudah sakit hati yang otomatis berpengaruh pula kepada partai koalisinya dipusat, sedangkan PDIP akan mencari calon dari internal, jadilah Ahok seolah terkatung-katung tanpa dukungan. Walaupun demikian wacana-wacana dukungan kepada Ahok tetap didengungkan secara individu oleh kader-kader PDIP namun dengan intonasi yang seolah memandang sebelah mata, demi menjaga ritme jika nanti sudah mendapat kepastian untuk diusung publikpun tidak lagi terkejut atas keputusan tersebut.

Melihat situasi ini dan ditambah dengan cuitan Ahok yang berharap bisa maju melalui jalur Independen secara berulang ulang yang secara sengaja memancing respon masyarakat, alhasil  tergeraklah beberapa orang yang dahulu menjadi pendukung Jokowi  membentuk Relawan Teman Ahok, demi memuluskan jalan Ahok maju melalui jalur independen. Mereka mencanangkan tekad mengumpulkan 1 juta KTP dukungan dengan membentuk posko-posko Teman Ahok.

Benarkah hal ini terjadi secara kebetulan, tentu saja tidak. Ini adalah konspirasi tingkat tinggi PDIP yang memainkan strategi politik untuk mengukur seberapa besar dukungan masyarakat terhadap Ahok, mengingat resistensi ganda yang dimiliki oleh Ahok yang berpotensi menjadi batu sandungan. PDIP tidak ingin berspekulasi dengan mengusung Ahok tanpa melihat seberapa besar dukungan masyarakat terhadap dirinya.

 

PDIP Menjaga Ritme Dukungan, Ahok Menjaga Mental Teman Ahok

PDIP memang piawai dalam memainkan isu politik, mereka memainkan isu pencalonan Ahok dengan ritme yang bergelombang namun isyaratnya jelas, yang memberikan sinyal kepada para kadernya untuk tidak terlalu serius merebut kursi cagub.

Desember 2014, Ketum PDIP merestui Djarot Saiful Hidayat sebagai calon wakil gubernur mendampingi Ahok melalui surat rekomendasi yang di serahkan oleh Boy Sadikin. Tonggak isyarat yang diberikan kepada Ahok merupakan statement kuat bahwa Ahok bakal diusung oleh PDIP dengan catatan mereka harus bersama-sama mengeleminir resistensi terhadap Ahok.

Perseteruan Ahok dengan DPRD DKI Jakarta semakin mendramatisir situasi  dan diblow up sedemikian rupa hingga menimbulkan kesan bahwa Ahok menjadi musuh bersama bagi partai-partai dan kemungkinan besar partai akan mencampakkan Ahok pada PILKADA 2017 termasuk PDIP. Ditambah pernyataan-pernyataan kader PDIP yang menyiratkan seolah Ahok bukan calon PDIP. Disisi lain Ahok mulai melemparkan wacana bahwa kemungkinan besar partai tidak mengusungnya dan Ia berencana maju melalui jalur Independen.

Mei 2015, Gembong Warsono mengatakan bahwa PDIP belum tentu mencalonkan Ahok karena PDIP sendiri punya kader kader berkualitas dan sistem kaderisasi dalam rangka pematangan calon, walaupun survey mengatakan elektabilatas Ahok masih yang tertinggi. Lebih lanjut ia mengatakan mengatakan, pihaknya akan menyiapkan calon terbaik untuk bisa menggantikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kini masih menjabat sebagai Gubernur DKI.

Gayungpun bersambut, statement ini mulai mendapat respon dari masyarakat dengan membentuk Relawan Teman Ahok yang bermaksud mengusung Ahok maju melalui jalur Independen, langkah awal berjalan mulus, secara tegas Ahok menyatakan akan maju melalui jalur Independen jika Teman Ahok mampu mengumpulkan KTP sebanyak 1 juta. Hal ini memang menjadi harapan bagi PDIP dan Ahok untuk mengukur seberapa besar respon masyarakat dalam upaya mendukung Ahok.

Menyikapi hasil pengumpulan KTP Teman Ahok yang masih berada dibawah  100 ribu pada pertengahan September 2015, PDIP mulai menggoyang mental Teman Ahok dengan mengeluarkan pernyataan, “Kita belum menetapkan soal calon Gubernur DKI. Masalah itu wewenang Ibu (Megawati),”kata Sekjen PDIP DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi, di Gedung DPRD DKI. Sedangkan Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat mengungkapkan, belum ada pembicaaraan soal nama-nama balon Gubernur DKI Jakarta pada Pilgub 2017 mendatang. "Di tingkat DPD dan DPP PDIP belum ada pembicaraan mengenai Pilgub DKI. Termasuk kabar dirinya akan maju jadi balon gubernur," kata Djarot di Balai Kota DKI Jakarta.

Oktober 2015, DPD PDIP DKI Jakarta mengatakan melalui juru bicaranya Steven Setiabudi Musa bahwa sampai saat ini belum ada pembicaraan untuk menarik Ahok sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Ia justru menegaskan bahwa tingkat akar rumput malah mendukung Boy Sadikin.

Dalam menyikapi hasil survey SRMC, kata Eva Sundari di Hotel Sari Pan Pacific, Rabu (14/10/2015) "Wagub Djarot mendapatkan suara. Nah, PDIP harus melakukan move-move kalau mau melawan Ahok sebelum ada kecenderungan pimpinan sekarang masih malu-malu. Kalau dalam PDIP bergerak menunggu keputusan dari dalam. Nama Boy Sadikin dan Djarot sementara ini saja yang ada, yang diam-diam belum ada. Semua masih sangat mungkin,".

Tiga hari kemudian Eva kepada Tempo mengatakan,  “Yang penting Ahok mau ikuti syarat PDIP. Kalau Ahok masuk PDIP, tentu peluangnya makin akan semakin besar untuk dicalonkan,”.

Eva mengatakan pencalonan dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 nanti masih memiliki banyak skenario terbuka. “Ada peluang untuk mempertemukan demand dan supply,” kata dia.

Statemen ini direspon oleh Teman Ahok dengan meningkatkan kinerja mereka yang mulai menunjukkan hasil dan mengumumkan bahwa perolehan KTP dukungan mereka sudah  melampaui suara Partai Demokrat pada Pemilu 2014 lalu, mereka memperoleh lebih dari 361 ribu KTP pada akhir bulan Oktober 2015. Namun perolehan tersebut bagi Ahok belum memuaskan, Ia tetap memacu Teman Ahok agar terus bergerilya mencari dukungan, target antaranya adalah mendapat KTP dukungan sebagai syarat maju yaitu sejumlah 523 ribu KTP.

Sekali lagi Ahok dan PDIP memainkan mental Teman Ahok sekaligus memberi sinyal bahwa sebetulnya PDIP sedari awal mendukung Ahok, Boy Sadikin mendatangi Ahok membawa pesan dari Ketum jika sekiranya Ia pro rakyat maka kemungkinan PDIP mencalonkannya kembali melalui PDIP. Tapi Ahok menyatakan jika Ia tetap konsisten dengan jalur Independen agar Teman Ahok tetap konsisten dengan target 1 juta KTP.    

Kegembiraan Ahok nampak pada Natal 2015 dengan mendapat kado KTP dukungan yang telah melampaui syarat calon Independen dengan mengumpulkan 533 ribu KTP, namun Ahok tetap menginginkan 1 juta KTP sesuai dengan target awal. Sampailah pada titik kritis di 730 ribu KTP dukungan dimana merasa sudah cukup mendapat gambaran dan PDIP pun sudah cukup puas dengan hasil tersebut sehingga tanpa sungkan lagi PDIP menyatakan akan mendukung Ahok tanpa menyertakan Teman Ahok.

Riak-riakpun terjadi menyusul pernyataan itu, namun pola penyelesaiannya sudah ditangan Ahok dengan solusi yang happy ending.

Bagi Teman Ahok mau tidak mau mereka yang sedari awal hanya berniat mengantarkan Ahok supaya dapat maju kembali dan memenangkan kursi DKI1, harus legowo menuruti kemauan Ahok dan menyerahkan Ahok untuk PDIP, toh secara substantif cita-cita mereka sudah tercapai dan kemenangan Ahok sudah didepan mata, namun dengan catatan bahwa mereka juga harus merelakan Ahok menjadi ‘Petugas Partai’ dan harus manut dengan keputusan partai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun