Akhirnya Jokowi menjadi RI1 dan Ahok mulai menyusun rencana jangka panjang karir politiknya, dimulai dari strategi pindah rumah dimana Ia merasa rumahnya yang lama (yang sebenarnya baru saja ia tempati 2 tahun) sudah tidak akan membawa hoki lagi jika tepat tinggal disitu. Satu bulan sebelum pelantikan Jokowi jadi RI1 Ahok menyatakan diri mundur dari Gerindra yang telah mengantarnya menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta. Publik terkejut dengan peristiwa itu dan bertanya tanya apa sebabnya Ahok berhenti dan kemana Ahok akan berlabuh.Â
Awam boleh saja heran dan bertanya apa gerangan yang menjadi sebab Ahok keluar dari Gerindra, tapi bagi pengamat politik maksud Ahok dapat dilihat dengan kasat mata, terlebih dengan alasan yang sepele dan menggelikan, karena wacana pemilihan kepala daerah yang akan dikembalikan ke DPRD bukanlah wacana baru, hal ini sudah mencuat sejak tahun 2009 dan tidak pernah benar benar terealisir dalam bentuk UU, sedangkan saat itu posisi Ahok bukan sebagai anggota legislatif dari Gerindra, tapi sebagai eksekutif yang tidak punya peran apapun dalam menentukan UU, artinya apapun sikap yang diambil oleh Ahok mengenai wacana tersebut tidak akan berpengaruh terhadap wacana tersebut. Kemana Ahok akan berlabuhpun sudah terang benderang, walaupun tidak terang terangan dinyatakan seperti  ketika Ia loncat dari Golkar ke Gerindra.
Kursi DKI1 sudah didepan mata dan sudah menjadi kepastian dalam genggaman, hingga yang terpikirkan saat itu adalah bagaimana memaksimalkannya, tak lain dan tak bukan adalah dengan cara bernaung di pusat kekuasaan yang tak lain dan tak bukan adalah Presiden Jokowi dan PDI Perjuangan, namun harus dilakukan dengan cara smart dan elegan hingga kesan oportunis tidak mencuat dan menciptakan citra buruk bagi dirinya. Jadilah kesan bahwa sejak saat itu Ahok resmi tidak kemana-mana tapi ada dimana-mana dan sepenuhnya menjadi milik masyarakat.
Jauh hari menjelang PILKADA 2017, sandiwara politikpun dimulai. Menyusul perseteruan yang berkepanjangan dengan DPRD, dibuatlah seolah-olah Ahok akan ditinggalkan oleh partai-partai yang tidak akan mengusungnya maju sebagai cagub petahana. Gerindra sudah sakit hati yang otomatis berpengaruh pula kepada partai koalisinya dipusat, sedangkan PDIP akan mencari calon dari internal, jadilah Ahok seolah terkatung-katung tanpa dukungan. Walaupun demikian wacana-wacana dukungan kepada Ahok tetap didengungkan secara individu oleh kader-kader PDIP namun dengan intonasi yang seolah memandang sebelah mata, demi menjaga ritme jika nanti sudah mendapat kepastian untuk diusung publikpun tidak lagi terkejut atas keputusan tersebut.
Melihat situasi ini dan ditambah dengan cuitan Ahok yang berharap bisa maju melalui jalur Independen secara berulang ulang yang secara sengaja memancing respon masyarakat, alhasil  tergeraklah beberapa orang yang dahulu menjadi pendukung Jokowi  membentuk Relawan Teman Ahok, demi memuluskan jalan Ahok maju melalui jalur independen. Mereka mencanangkan tekad mengumpulkan 1 juta KTP dukungan dengan membentuk posko-posko Teman Ahok.
Benarkah hal ini terjadi secara kebetulan, tentu saja tidak. Ini adalah konspirasi tingkat tinggi PDIP yang memainkan strategi politik untuk mengukur seberapa besar dukungan masyarakat terhadap Ahok, mengingat resistensi ganda yang dimiliki oleh Ahok yang berpotensi menjadi batu sandungan. PDIP tidak ingin berspekulasi dengan mengusung Ahok tanpa melihat seberapa besar dukungan masyarakat terhadap dirinya.
Â
PDIP Menjaga Ritme Dukungan, Ahok Menjaga Mental Teman Ahok
PDIP memang piawai dalam memainkan isu politik, mereka memainkan isu pencalonan Ahok dengan ritme yang bergelombang namun isyaratnya jelas, yang memberikan sinyal kepada para kadernya untuk tidak terlalu serius merebut kursi cagub.
Desember 2014, Ketum PDIP merestui Djarot Saiful Hidayat sebagai calon wakil gubernur mendampingi Ahok melalui surat rekomendasi yang di serahkan oleh Boy Sadikin. Tonggak isyarat yang diberikan kepada Ahok merupakan statement kuat bahwa Ahok bakal diusung oleh PDIP dengan catatan mereka harus bersama-sama mengeleminir resistensi terhadap Ahok.
Perseteruan Ahok dengan DPRD DKI Jakarta semakin mendramatisir situasi  dan diblow up sedemikian rupa hingga menimbulkan kesan bahwa Ahok menjadi musuh bersama bagi partai-partai dan kemungkinan besar partai akan mencampakkan Ahok pada PILKADA 2017 termasuk PDIP. Ditambah pernyataan-pernyataan kader PDIP yang menyiratkan seolah Ahok bukan calon PDIP. Disisi lain Ahok mulai melemparkan wacana bahwa kemungkinan besar partai tidak mengusungnya dan Ia berencana maju melalui jalur Independen.