Beberapa waktu lalu, Gubernur BI Agus Martowardojo mengakomodir kepentingan perbankan yang menerbitkan kartu uang digital dengan mengaku akan menerbitkan aturan tentang fee top up kartu uang digital. Dengan dalih mendukung bank untuk memperluas infrastruktur mereka, masyarakat disebut akan dikenakan tarif wajar sebagai fee saat top up kartu mereka. Agus mengaku bahwa jumlah fee akan kecil.Â
Tampaknya bagi seorang Gubernur BI, angka kecil itu tak bakalan membuat rakyat terbebani. Mungkin saja dia betul, mungkin saja tidak. Tapi ini bukan soal angka kecil bagi rakyat. Melainkan angka besar, terlalu besar bahkan untuk perbankan menarik pungutan dari rakyat untuk program yang sebenarnya telah menguntungkan mereka dan pemerintah.Â
Sebagai sebuah ilustrasi saja. Katakanlah rata-rata sekali sebulan top up kartu uang digital sekitar Rp 300.000 saja. Baik untuk kartu e-Money Mandiri, BRIzzi atau  Flazz BCA atau kartu yang lainnya. Fee untuk top up Rp. 2.000 per  transaksi.Â
Merujuk laporan Detik, hingga semester I-2017 jumlah  uang elektronik berbasis kartu atau e-Money milik Bank Mandiri tercatat  9,5 juta. Kemudian untuk TapCash milik BNI tercatat 1,5 juta kartu. Lalu  untuk Brizzi milik BRI pengguna aktifnya tercatat 6,6 juta user.  Sedangkan untuk BCA tercatat sekitar 10 juta kartu. Jika ditotal dari  empat bank tersebut saja jumlah kartu e-Money tercatat 27,6 juta kartu.
Maka sebagai simulasi saja, dengan asumsi diatas. Maka untuk Bank  Mandiri saja untuk semester I tahun ini kira-kira bisa memperoleh:
1. Akumulasi uang deposit yang mengendap, katakanlah 50% dari dana yang disimpan selama  1 bulan (asumsi untuk setengah bulan saja) sebanyak Rp. 150.000 x  9.500.000 pengguna = Rp. 1,425 Triliun.Â
Dalam 2 pekan, pihak  bank bisa menikmati setidaknya dana sebesar itu yang bagi pengguna,  rencananya bakal dipakai untuk pekan-pekan berikutnya. Kalau dihitung 12  bulan dalam setahun akan terkumpul sekitar Rp. 17,1 Triliun deposit  yang bisa dikelola pihak bank sementara waktu.
2. Akumulasi biaya  potongan isi ulang sekitar Rp 2.000 x 9.500.000 pengguna dalam sebulan  maka dihasilkan pendapatan bank Rp 19 Miliar setiap bulan dari kartu  ini. Dalam setahun artinya ada pendapatan fee top up Rp 228 Miliar.
Jadi darimana asumsi Gubernur BI bahwa jumlah potongan ini kecil? Perbankan sudah mendapat benefit lebih dari cukup untuk program ini. Rasanya keterlaluan bila rakyat mesti iuran untuk membiayai layanan yang sudah menjadi tanggungjawab perseroan. Bank Indonesia pun rasanya paham akan hal itu. Sehingga sesekali, perlu rasanya para bankir buat kebijakan dan pernyataan yang turut mencerdaskan rakyat hingga lapisan bawah pak. Bagi seorang Gubernur BI, Deputi Gubernur dan jajarannya mungkin  uang itu kecil terlihat. Tak berarti, karena gaji sudah melampui daya beli masyarakat berkali lipat. Hal ini membuat mereka sulit membayangkan arti Rp 2.000 bagi rakyat kecil.
Ini rasanya seperti menghindari biaya dan tanggungjawab sosial dengan melemparkan bebannya ke rakyat. Mirip gerai-gerai belanja yang suka berkompetisi lokasi itu. Gerai yang seharusnya wajib melakukan CSR tapi dengan kreatif menarik sumbangan dari konsumen dengan pengantar pelayan yang manis, "pecahan Rp 500 mau disumbangkan pak?" atau kali berikut dengan gampang mengatakan "Tak ada Rp 200 tak apa kan pak? Disumbangkan?" Bayangkan mereka bisa menarik dana berapa dari ketidaksadaran akan potensialnya angka kecil  yang disebut itu.
Belum lagi sebenarnya kalau dipikir. Banyak kartu-kartu yang terlalu membebani kantong. Uang tak seberapa tebal, tapi kartunya saja sudah minta ampun. Kartu ATM, emoney, e-KTP, dll yang entah bagaimana kok sulit sekali diintegrasikan di era yang katanya serba pakai teknologi.Â
Lalu cilakanya lagi Kartu Uang Digital ini, kalau kartunya hilang maka nilai uangnya pun turut hilang. Sebuah kerugian tak terlihat bagi pengguna kartu, tapi tentu saja menarik benefit bagi perbankan. Seharusnya pengguna dapat benefit, ini malah cuma dapat pilihan terjepit. Jadi tolong hal ini dipikirkan kembali oleh para bankir dengan sesekali teriak sendiri "Saya Pancasila", supaya paham kebijakan juga mesti Pancasilais di sektor perbankan.
Tentu saja bahwa sesuai aturan, Bank Indonesia memiliki independensi. Terlepas kebijakannya dari pemerintah dan memiliki kewenangan sendiri untuk memutuskan. Tapi bukan berarti kemudian Bank Indonesia tidak menghargai situasi rakyat. Untuk itu, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat mesti mencari cara menghentikan kebijakan ini.Â
Benar bahwa belakangan setelah marak penolakan, Gubernur BI menyebut penggunaannya akan memakai skema segmen dimana intensitas pengguna dan jenis penggunaan turut berpengaruh. Konon katanya, pengguna menengah ke bawah yang memakai untuk transportasi dimungkinkan gratis. Tapi sayang, kita sudah terbiasa ditarik Rp 2000 setiap transaksi Top Up dan saya baru sadari belakangan ini tak ada aturan yang memayungi penarikan di halte Trans Jakarta tersebut.
Kalau diminta Rp 2.000 x  12 12 untuk menyumbang negara langsung, rela saja Pak. Tapi menyumbang  perbankan yang sudah punya aset besar untuk memenuhi kewajiban mereka  dalam melayani, rasanya kok seperti hidup di era sebelum tahun 45 dulu. Jadi tolong, rakyat kita belajar memasuki era uang digital tanpa harus dibuat semakin kesal. Masakan tidak malu para bankir dan lembaganya disumbang dari recehan yang setengah mati diperoleh kelas menengah ke bawah.
Kebijakan kok terdengar sumBANK ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H