Lalu cilakanya lagi Kartu Uang Digital ini, kalau kartunya hilang maka nilai uangnya pun turut hilang. Sebuah kerugian tak terlihat bagi pengguna kartu, tapi tentu saja menarik benefit bagi perbankan. Seharusnya pengguna dapat benefit, ini malah cuma dapat pilihan terjepit. Jadi tolong hal ini dipikirkan kembali oleh para bankir dengan sesekali teriak sendiri "Saya Pancasila", supaya paham kebijakan juga mesti Pancasilais di sektor perbankan.
Tentu saja bahwa sesuai aturan, Bank Indonesia memiliki independensi. Terlepas kebijakannya dari pemerintah dan memiliki kewenangan sendiri untuk memutuskan. Tapi bukan berarti kemudian Bank Indonesia tidak menghargai situasi rakyat. Untuk itu, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat mesti mencari cara menghentikan kebijakan ini.Â
Benar bahwa belakangan setelah marak penolakan, Gubernur BI menyebut penggunaannya akan memakai skema segmen dimana intensitas pengguna dan jenis penggunaan turut berpengaruh. Konon katanya, pengguna menengah ke bawah yang memakai untuk transportasi dimungkinkan gratis. Tapi sayang, kita sudah terbiasa ditarik Rp 2000 setiap transaksi Top Up dan saya baru sadari belakangan ini tak ada aturan yang memayungi penarikan di halte Trans Jakarta tersebut.
Kalau diminta Rp 2.000 x  12 12 untuk menyumbang negara langsung, rela saja Pak. Tapi menyumbang  perbankan yang sudah punya aset besar untuk memenuhi kewajiban mereka  dalam melayani, rasanya kok seperti hidup di era sebelum tahun 45 dulu. Jadi tolong, rakyat kita belajar memasuki era uang digital tanpa harus dibuat semakin kesal. Masakan tidak malu para bankir dan lembaganya disumbang dari recehan yang setengah mati diperoleh kelas menengah ke bawah.
Kebijakan kok terdengar sumBANK ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H