Dalam pengamatan yang singkat kala itu. Penulis melihat masa depan musik Karo yang sempat redup sekian tahun dari panggung nasional, pada akhirnya akan menemukan momentumnya kembali. Melalui anak-anak muda yang berbakat dan punya idealisme bermusik ini, ada secercah harapan.
Selain bakat, racikan musik yang mereka sajikan juga memang jauh dari kesan konservatif. Keberanian mereka keluar dari pakem musik Karo dan menekankan sisi universal musik itu sendiri, membuat karya mereka lebih terdengar kaya. Tidak saja bagi pendengar musik Karo, tapi juga pendengar musik pada umumnya.
[caption caption="Plato Ginting bersama penggemar di PRSU 2016 (Foto Hendra Gunawan Kaban)"]
Atau Andre Elyedes Tarigan dengan rekan-rekannya yang menghasilkan kompilasi musik berjudul Langit Kembar. Dimana nada khas Karo bertemu dengan nada instrumen musik internasional dan juga nusantara yang khas. Akan terasa asing ketika pertama kali mencecap instrumen musiknya yang terdengar bersamaan bunyi Sape Dayak dari Kalimantan. Tetapi rasa musik itu sendiri harus diakui, memang sudah tak sepenuhnya Karo. Tapi yang paling penting, identitas musik Karo ada disana membentuk kualitas musik etnis Indonesia.
Ada beberapa lain yang tak pernah penulis kenal secara langsung. Namun melalui sosial media dapat dilihat dedikasi serta idealisme mudanya sebagai pecinta seni kebudayaan Karo. Yoel Kaban, misalnya satu diantaranya yang penulis kenal berkomitmen dan konsisten mengusung musik Karo dan instrumen musiknya agar dikenal lebih luas tak hanya oleh masyarakat Karo itu sendiri.
Jadi kembali bicara soal musik Karo pasca PRSU 2016 yang kemarin menampilkan musisi muda ini. Dihadiri nyaris seribuan pendengar musik Karo yang didominasi orang muda. Generasi baru pendengar musik Karo menyambut tumbuhnya genre baru dalam musik Karo itu sendiri. Seperti ungkapan Anggur Baru di Kantong yang Baru, rasanya momen kemarin akan menjadi satu titik penting dari sejarah musik Karo akan memasuki fase baru. Tentu saja tanpa menghilangkan titik dasar serta kekhasan lama yang telah menjadi milik masyarakat Karo itu sendiri.
Diversifikasi produk musik. Barangkali inilah yang lebih tepat untuk mengungkapkan bagaimana musik Karo akan eksis di masa depan. Bukan musik baru menggantikan yang lama. Sebaliknya musik baru menambah semarak eksistensi gaya bermusik lama. Anggur lama biarlah tetap berada di kantung yang lama, agar menjadi mahal sebagaimana lazimnya produk anggur yang dikhususkan.
Musik baru dengan ekspresi baru para penyanyinya juga akan menjadi penanda munculnya musik Karo yang berhasil menyesuaikan dinamika zaman. Berhasil keluar dari cangkangnya menjadi mutiara musik yang bisa dinikmati tak hanya oleh orang Karo, tetapi juga semua penikmat musik.
Bukankah akan menarik bila bahkan kelak musik Karo itu bisa muncul setara dengan musik lainnya. Atau dalam bayangan penulis kelak, instrumen musik khas Karo bisa saja menjadi bagian dari musik pengiring meditasi atau terapi penyembuhan psikis bagi yang membutuhkan. Pada fase ini kelak, musik Karo akan memasuki era revolusionernya menjadikan musik sebagai sarana kemanusiaan.
[caption caption="Plato Ginting Sapa Penggemar Musik Karo di PRSU (Foto Plato Ginting)"]
“Konser dimulai jam 20.30 sampai jam 10 lewat. Meski beraksi selama hampir 2 jam, aku tetap semangat bersama penonton yang ikut melompat dan menyanyi. Aku menyanyikan total 12 lagu malam itu. Dengan sepuluh lagu diantaranya merupakan lagu dari albumku. Dan sebagian besar laguku ternyata dinyanyikan bareng-bareng oleh penonton. Sekitar 700 an penonton memadati panggung utama malam itu dari total 2600 an pengunjung PRSU” ungkap Plato Ginting tentang kesannya pada 13 April lalu tampil di PRSU.