[caption caption="Pentas Musik Karo di Pekan Raya Sumatera Utara 2016 (Foto: Hendra Gunawan Kaban)"][/caption]Pagelaran Pekan Raya Sumatera Utara 2016 sebagai salah satu hajatan besar di wilayah Medan, dalam promonya berjanji untuk menyajikan tampilan yang lebih inovatif tahun ini. Sebagian dari janji tersebut, dalam skala tertentu bagi masyarakat Karo setidaknya mesti sudah terpenuhi.
Hal ini tercermin dari masuknya musisi muda Karo pendatang baru ditengah hajatan tersebut. Bukan saja karena musisi Karo ini masih muda dan baru. Tetapi lebih dari itu manajemen PRSU membawa serta usungan musik yang selama ini dicecep baru dalam telinga pendengar musik Karo, melalui sosok si musisi.
Plato Ginting adalah musisi yang beruntung itu. Sebagaimana kita beruntung sebagai orang Karo, mendapatkan kesempatan tampil di panggung utama penampilan seni musik melalui sosoknya. Syukurnya, bahwa penampilannya bukan semata mengusung dirinya tetapi juga semangat pembaharuan musik Karo. Musik yang lebih segar dan dinamis dengan arransemen yang tak biasa. Ya, tidak biasa untuk sedikit mengurangi kesan yang sesungguhnya memang luar biasa untuk ukuran musik Karo itu sendiri.
Sejak komponis besar Djaga Depari melahirkan karya besarnya yang terus terjaga sampai hari ini. Telah lahir banyak seniman Karo yang dengan perjuangannya mencoba melestarikan kesenian budaya masyarakatnya. Sebagian dari mereka bahkan sudah pernah menapaki terjalnya perjuangan memasuki kancah musik nasional. Sebut saja dalam ingatan penulis, para musisi Karo yang luar biasa berjuang untuk tampil di layar kaca pemirsa TVRI pada masanya seperti Tio Fanta Pinem dan Ramona Purba.
Tak sekadar tampil tetapi juga berjuang menunjukkan bahwa musisi Karo bisa. Bisa tampil sejajar dengan para musisi dari berbagai daerah lain yang ada di Indonesia.
Sungguh, sebagai seorang awam di dunia musik. Pantas rasanya para seniman, musisi dan artis Karo lintas generasi ini diapresiasi. Diakui dan dihargai sebagai bagian dari sejarah eksisnya kesenian dan budaya Karo ditengah berkembangnya budaya lain, termasuk budaya asing di layar televisi hingga layar ponsel kita.
Meski demikian, harus diakui bahwa setiap zaman memiliki perjuangannya dan pejuangnya sendiri. Setiap zaman membutuhkan inovasinya sendiri. Tak terlepas dari evolusi musik Karo itu sendiri.
Penulis masih ingat sedikit. Tahun lalu salah satu ulasan harian Kompas mengangkat bagaimana perjuangan musisi daerah untuk bisa eksis ditengah dinamisnya sajian musik pop saat ini di panggung televisi nasional. Pada salah satu ulasan itu tak ketinggalan perjuangan musisi dan produser musik Karo yang terus berjuang setidaknya untuk segmen pendengar lokalnya. Salah satu artis yang diambil sebagai contoh misalnya Netty Vera yang sudah tak asing suaranya di telinga penikmat musik Karo.
Sungguh ulasan itu menyingkap sisi lain kesan glamournya hidup para artis lokal. Di mata para fans atau penikmat musik Karo, para artis ini barangkali tampak luar biasa dan hidupnya terkesan wah. Namun sajian itu sekaligus mengungkap bagaimana tidak kurang dari keringat dan air mata harus tumpah dalam kreativitas bertahan dari arus musik nasional serta gempuran digitalisasi musik. Gempuran terakhir yang lebih mengerikan karena dengan berbagai upaya mereka harus berjuang dan bahkan terkesan harus pasrah menghadapi penjualan CD bajakan hingga download gratisan dari internet.
Pada lintasan masa yang tak jauh berbeda saat ulasan itu diangkat, penulis sudah mengenal beberapa calon musisi Karo di Yogyakarta. Mereka yang kebanyakan merupakan mahasiswa Institut Seni Indonesia di kota pelajar tersebut, berjuang dengan aras baru perkembangan musik tanah air.
Beberapa diantaranya yang sempat penulis kenal meski tak dekat misalnya adalah Plato Ginting dan Andre Elyedes Tarigan. Perkenalan dengan mereka melalui persiapan musik untuk Perayaan Paskah Karo Katolik hingga gelaran Malam Amal Sinabung yang kala itu melibatkan masyarakat luas di Jogja termasuk suporter PSS Sleman.
Dalam pengamatan yang singkat kala itu. Penulis melihat masa depan musik Karo yang sempat redup sekian tahun dari panggung nasional, pada akhirnya akan menemukan momentumnya kembali. Melalui anak-anak muda yang berbakat dan punya idealisme bermusik ini, ada secercah harapan.
Selain bakat, racikan musik yang mereka sajikan juga memang jauh dari kesan konservatif. Keberanian mereka keluar dari pakem musik Karo dan menekankan sisi universal musik itu sendiri, membuat karya mereka lebih terdengar kaya. Tidak saja bagi pendengar musik Karo, tapi juga pendengar musik pada umumnya.
[caption caption="Plato Ginting bersama penggemar di PRSU 2016 (Foto Hendra Gunawan Kaban)"]
Atau Andre Elyedes Tarigan dengan rekan-rekannya yang menghasilkan kompilasi musik berjudul Langit Kembar. Dimana nada khas Karo bertemu dengan nada instrumen musik internasional dan juga nusantara yang khas. Akan terasa asing ketika pertama kali mencecap instrumen musiknya yang terdengar bersamaan bunyi Sape Dayak dari Kalimantan. Tetapi rasa musik itu sendiri harus diakui, memang sudah tak sepenuhnya Karo. Tapi yang paling penting, identitas musik Karo ada disana membentuk kualitas musik etnis Indonesia.
Ada beberapa lain yang tak pernah penulis kenal secara langsung. Namun melalui sosial media dapat dilihat dedikasi serta idealisme mudanya sebagai pecinta seni kebudayaan Karo. Yoel Kaban, misalnya satu diantaranya yang penulis kenal berkomitmen dan konsisten mengusung musik Karo dan instrumen musiknya agar dikenal lebih luas tak hanya oleh masyarakat Karo itu sendiri.
Jadi kembali bicara soal musik Karo pasca PRSU 2016 yang kemarin menampilkan musisi muda ini. Dihadiri nyaris seribuan pendengar musik Karo yang didominasi orang muda. Generasi baru pendengar musik Karo menyambut tumbuhnya genre baru dalam musik Karo itu sendiri. Seperti ungkapan Anggur Baru di Kantong yang Baru, rasanya momen kemarin akan menjadi satu titik penting dari sejarah musik Karo akan memasuki fase baru. Tentu saja tanpa menghilangkan titik dasar serta kekhasan lama yang telah menjadi milik masyarakat Karo itu sendiri.
Diversifikasi produk musik. Barangkali inilah yang lebih tepat untuk mengungkapkan bagaimana musik Karo akan eksis di masa depan. Bukan musik baru menggantikan yang lama. Sebaliknya musik baru menambah semarak eksistensi gaya bermusik lama. Anggur lama biarlah tetap berada di kantung yang lama, agar menjadi mahal sebagaimana lazimnya produk anggur yang dikhususkan.
Musik baru dengan ekspresi baru para penyanyinya juga akan menjadi penanda munculnya musik Karo yang berhasil menyesuaikan dinamika zaman. Berhasil keluar dari cangkangnya menjadi mutiara musik yang bisa dinikmati tak hanya oleh orang Karo, tetapi juga semua penikmat musik.
Bukankah akan menarik bila bahkan kelak musik Karo itu bisa muncul setara dengan musik lainnya. Atau dalam bayangan penulis kelak, instrumen musik khas Karo bisa saja menjadi bagian dari musik pengiring meditasi atau terapi penyembuhan psikis bagi yang membutuhkan. Pada fase ini kelak, musik Karo akan memasuki era revolusionernya menjadikan musik sebagai sarana kemanusiaan.
[caption caption="Plato Ginting Sapa Penggemar Musik Karo di PRSU (Foto Plato Ginting)"]
“Konser dimulai jam 20.30 sampai jam 10 lewat. Meski beraksi selama hampir 2 jam, aku tetap semangat bersama penonton yang ikut melompat dan menyanyi. Aku menyanyikan total 12 lagu malam itu. Dengan sepuluh lagu diantaranya merupakan lagu dari albumku. Dan sebagian besar laguku ternyata dinyanyikan bareng-bareng oleh penonton. Sekitar 700 an penonton memadati panggung utama malam itu dari total 2600 an pengunjung PRSU” ungkap Plato Ginting tentang kesannya pada 13 April lalu tampil di PRSU.
Tentu saja sulit rasanya membayangkan situasi yang dideskripsikan Plato Ginting dengan baik. Hanya rasa dan kesan indah yang bisa ditangkap meski penulis sebenarnya ingin mendengar dan menyaksikan langsung antusiasme penikmat musik Karo pada keseniannya sendiri.
Tetapi apa yang menjadi cerita langsung dari Plato Ginting yang merasakan suasana itu semoga tak sebatas menjadi euforia. Selain bersyukur, momen itu harus dilihat sebagai kesempatan berbenah bagi musisi muda yang semasa dengannya. Selain membenahi cara menciptakan musik yang berkualitas dengan cita rasa baru, juga membenahi cara penyajian musik Karo yang lebih elegan.
Sebagai contoh manajemen panggung hingga seluruh keperluannya mesti membutuhkan orang-orang khusus yang bukan berlatar musisi. Perkembangan musik Karo dan musisinya butuh ditopang oleh manajemen musik yang juga berkualitas. Didukung oleh pengelolaan fans yang juga lebih profesional. Hingga tak lepas didukung oleh pecinta kebudayaan hingga Pemerintah Kabupaten Karo sendiri untuk memastikan perkembangan musik ini bisa menjadi bagian perkembangan kebudayaan, mental hingga ekonomi masyarakat Karo.
Bercermin dari acara di PRSU yang ramai itu, kehadiran manajemen Lalume Indonesia dibawah kordinasi Hendra Gunawan Kaban misalnya adalah salah satu bentuk profesionalitas level baru dalam penyajian tampilan seni Karo. Selain panggung seni kerakyatan yang khas swakelola serta mengandalkan spirit gotong royong, panggung seni musik kontemporer Karo juga harus didukung oleh manajemen yang mengusung spirit profesionalitas.
[caption caption="Andre Elyedes Tarigan tampil dengan gaya rambutnya yang khas di PRSU (Foto: Hendra Gunawan Kaban)"]
Sebab suka tidak suka, perubahan akan datang. Hari ini di sosial media, dengan berbagai kemudahan teknologi yang ada. Sikap permela atau malu-malu yang dulu tampaknya dimiliki oleh para kreator muda musik Karo mulai bergerak positif. Tak jarang sekarang penulis bisa melihat beberapa pemuda atau pemudi Karo berkreasi menciptakan karya meski sebatas dikonsumsi komunitas hingga teman-temannya di sosial media. Dan ini adalah bibit unggul seniman Karo yang mesti didukung untuk terus tumbuh di tanah yang kiranya subur.
Seperti diakui oleh Plato Ginting yang sejatinya masih baru memulai langkahnya, butuh keberanian untuk berkarya. Jelas itu pula yang mulai tampak dalam amatan penulis. Era tampilnya generasi muda Karo untuk merawat kesenian dan budaya hingga berani tampil melampauinya sudah datang.
Pasca PRSU 2016, dari getar semangat Plato Ginting yang berkisah, penulis berkeyakinan. Bahwa musik Karo akan terus eksis dan berkembang mengiringi peradaban masyarakat Karo itu sendiri. Almarhum komponis termasyur Karo, Djaga Depari tidak akan kecewa sebagai musisi. Guru Patimpus Pelawi, Kalak Karo yang merupakan pendiri Kota Medan pun tidak akan dilupakan dalam sepi dengan makin tampilnya pejuang musik Karo masa depan.
Penulis sekali percaya, musik Karo dan pegiatnya akan terus eksis berkembang bersama dengan entitas etnik Karo itu sendiri. Syukur-syukur bisa masuk kembali dalam kancah musik nasional dalam satu dekade mendatang. Meski tak sepenuhnya mereka mendapat sokongan dari pemerintah kabupaten Karo yang mestinya melihat kesenian dan musik bukan semata tradisi masyarakat, tetapi juga akar serta pembentuk karakter unggul masyarakat Karo dimanapun berada.
Selamat berjuang para musisi muda Karo, pengawal dan pejuang kebudayaan masyarakat Karo.
Mejuah-juah, Mpal!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H