[caption caption="Ilustrasi perang air (sumber: tcch.or.th)"][/caption]Saya baru-baru ini menyaksikan sebuah tayangan video dari akun Facebook KOMPAS TV. Ulasan tentang sebuah praktik pemanggilan hujan yang di Tanah Karo kerap disebut sebagai acara Erlau-lau. Tradisi yang unik dan khas dari Etnis Karo di Sumatera Utara. Melihat video ini jadi terkenang pengalaman masa kanak-kanak dulu. Dulu sekali, kami bangsa Karo di Aceh Tenggara masih memakai tradisi ini sebagai upaya kultural untuk memanggil hujan. Sebuah pemandangan yang hari ini mungkin semakin sulit ditemui di Tanah Karo ataupun di komunitas-komunitas Karo yang menjadi diaspora.
"Dirr Ko Wari" begitu teriakan warga biasanya sembari memercikkan air kepada siapa saja disekitarnya. Kalimat dalam bahasa Karo itu bisa diartikan sepintas, deraslah hujan menghiasi hari. Tradisi erlau-lau (lau dalam bahasa Karo bermakna Air) merupakan bagian dari ritual budaya untuk memanggil hujan. Ekspresi pengharapan masyarakat Karo pada Sang Maha Memberi agar mereka mendapatkan curahan hujan ditengah kemarau yang panjang. Entah mengapa praktik demikian semakin sulit ditemui.
Diduga oleh pengaruh agama yang kini banyak dianut oleh masyarakat Karo, ritual kultural ini semakin banyak ditinggalkan. Baik penganut Islam dan Kristen, agama yang dominan dianut oleh masyarakat Karo diluar animisme, tampaknya risih menggunakan tradisi ini karena khawatir dituding tak beragama. Tidak percaya pada kuasa Tuhan. Seperti halnya sinisme beberapa komentator di video tersebut yang menuding praktik kebudayaan ini sebagai sebuah tindakan yang tak sesuai dengan ajaran agama. Dipandang tak sesuai syariat dan sebagainya.
Padahal bila ditelisik lebih jauh, ritual ini sejatinya bisa dimaknai sebagai doa. Doa tak serta merta selalu harus berwujud sholat istiqosah atau ibadah ke gereja. Tuhan yang menyatu dan mewujud dalam peristiwa harian kita dan semesta, rasanya tak melulu disapa dengan ritual doa versi agama. Tuhan bagi saya juga hadir dalam suasana gembira dan percikan air yang menepis sejenak muka masam karena efek kemarau.
Bukankah dalam tradisi suci beberapa agama tertentu, membasuh diri dengan air dipandang menyucikan diri agar layak menghadap serta memohon pada Sang Kuasa? Saya kira demikian pula ritual kultural ini yang dalam perspektif baru harus dilepaskan dari bayang-bayang animisme. Erlau-lau sebagai sebuah doa kultural, bagaimanapun adalah peristiwa sosial yang menarik. Melibatkan tumpukan keluh kesah warga tani yang sekian waktu didera oleh kemarau panjang. Pada titik puncaknya, dengan membasahi diri dan sesama serta tanah kampung, dalam suasana gembira dan percaya meminta agar Sang Kuasa terlibat memberikan hujan. Sebuah pesan kultural yang secara simbolik justeru menyiratkan azas dari sebuah doa.
Beberapa komen di tautan video tersebut juga menyamakannya seperti sebuah tradisi dan festival perang air sebelum memasuki tahun baru kultural khas Thailand yaitu Songkran. Songkran disebut sebagai perayaan penting bagi umat Buddha dan juga pesta kerajaan disana. Nama Songkran sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ayat astrological. Songkran biasanya menandai akhir dari musim kemarau dan awal musim hujan tahunan di bulan keluma tahun lunar Thailand. Bagi warga Thailand, April adalah bulan terpanas. Momen ini biasanya dikelola sebagai bagian dari komoditas wisata di negeri tersebut.
Dalam hal ini, tentu saja memang menilik sejarahnya, kedekatan kultur serta keyakinan pada masa nusantara bisa membuat timbulnya kemiripan. Persis seperti tradisi pembakaran jenazah di Tanah Karo yang terjadi pada dekade-dekade silam. Dimana kemudian abu jenzah lalu di larung di Sungai Biang di Tanah Karo sana. Praktik peninggalan hindu yang kini tampaknya sudah tak lagi berbekas. Beberapa hal unik lainnya berkaitan dengan kesamaan dengan kultur bangsa-bangsa di Asia lainnya adalah bahwa fakta sebagian dari pemilik marga Karo berasal dari India. Jadi berbeda sedikit berbeda dengan suku bangsa lainnya di Sumatera Utara, Karo memiliki sejarah pluralitas dalam merga (marga) yang dimiliki. Ini secara khusus terjadi pada sub merga Sembiring seperti Sembiring Brahmana, Sembiring Brahma, Sembiring Colia dan lainnya. Termasuk penulis, dengan sub merga Depari. Maka tak jarang penulis membuat guyonan kalau kami masih kerabatnya Shah Rukh Khan.
[caption caption="Ilustrasi Pesta Bunga dan Buah di Tanah Karo yang sudah eksis saat ini (Sumber: Medanbisnisdaily.com)"]
Tradisi Erlau-lau bisa dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah festival tani, mengingat Tanah Karo dikenal sebagai daerah tani yang subur di Sumatera Utara. Festival ini bisa dikembangkan sebagai sebuah ajang doa kebudayaan Karo agar seluruh usaha pertanian di Tanah Karo bisa memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Sebab toh, meski setiap desa memiliki otoritas untuk menggelar pesta panen versi mereka tetapi belum pernah rasanya terjadi sebuah pesta panen yang digelar massal. Digelar massal artinya seluruh desa di wilayah Tanah Karo bahkan warga Karo dimanapun berada menggelar pesta panen, secara bersamaan.
Bayangkan bilamana sebuah tradisi baru diinisasi dan dilahirkan dari konsensus berbagai tokoh desa hingga lintas kabupaten. Mengingat diaspora Karo tersebar tak sebatas di Tanah Karo saja. Dengan demikian, Tanah Karo bisa terus menanamkan kecintaan budaya pada generasi mudanya. Melalui sebuah rangkaian festival baru yang mengembangkan tradisi kebudayaannya, generasi muda dilatih mengenali kearifan kultural leluhurnya. Mencintai tanah pertanian yang telah memelihara keluarga mereka turun temurun. Juga sekaligus kesempatan menjadikan ajang ini sebagai agenda wisata selain festival Pesta Buah dan Bunga yang gemanya di tingkat nasional belum begitu popular.
Belum lagi rencana pengembangan wisata Danau Toba oleh badan otoritas yang baru-baru ini digagas oleh pemerintah Jokowi bisa berjalan sesuai rencana. Maka Pemerintah Kabupaten Karo haruslah jeli melihat bagaimana peluang pengembangan wisata kawasan Danau Toba dimana termasuk Tanah Karo termasuk sebagai pemilik di dalamnya, menjadi momen tersendiri. Kesempatan menyiapkan agenda wisata tersendiri saat nanti rencana pengembangan tersebut berhasil meningkatkan kunjungan wisatawan ke Sumatera Utara.
Lebih dari itu, kesempatan tersebut bisa menjadi momentum dimana Pemerintah Kabupaten Karo, intelektual serta pemerhati kebudayaan Karo, hingga diaspora Karo terlibat dalam sebuah sinergi kebudayaan. Sinergi yang mengedepankan pelestarian kebudayaan Karo bagi generasi penerusnya.
Sebab barangsiapa yang mengabaikan budaya luhur yang diberikan Tuhan kepadanya, tentu akan kehilangan akar sejarah dan identitas dirinya. Tak selamanya agama memberangus praktik budaya yang tafsir sesatnya bisa diberi makna baru sesuai dengan perkembangan peradaban, agama dan pendidikan masyarakat. Menjaga budaya adalah tanggungjawab kita. Sebab bila kita percaya bahwa Tuhan itu Maha Segala, maka segala kebaikan yang masih ada di dalam kebudayaan pantas dipertahankan agar tidak punah. Sehingga dengan demikian generasi muda Karo di era modern kelak bisa bersyukur atas sisi spiritual leluhurnya yang tak pernah melupakan kekuatan Sang Pencipta lewat berbagai tradisinya.
Â
Mejuah-juah!
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H