Mohon tunggu...
Lyfe Artikel Utama

Pada Suatu Rumah, Pentas yang Mendekonstruksi Kerinduan Pulang

13 November 2016   13:44 Diperbarui: 14 November 2016   19:08 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


“Tak lela lela lela ledhung, cep menenga aja pijer nangis. Anakku sing ayu rupane, yen nangis ndhak ilang ayune."

Malam sunyi pecah oleh tangisan bayi. Namun, bising rengekan hanya berlangsung sesaat.

Bayi mungil tenang lagi, terbius oleh  nyanyian “Tak Lela Ledhung” yang mengalun bak mantra sakti.

Lagu yang sama dinyanyikan oleh Sekar Sari dalam pementasan tari bertajuk “Pada Suatu Rumah” di Galeri Indonesia Kaya, Sabtu (12/11/16). Sekar yang memenangi penghargaan artis pendatang baru terbaik Indonesian Movie Actors Awards 2016 atas perannya dalam film SITI, bernyanyi memakai cengkok Jawa pada bait-bait awal.

Nuansa barat kemudian sedikit terasa di bait berikut, walau lirik yang dilagukan tetap dalam bahasa Jawa. Lantunan suara Sekar berlatar kord piano Gardika Gigih yang berubah lebih nge-pop.

Sekar tak menggendong bayi. Ia tak sedang berupaya menenangkan siapa-siapa, kecuali hatinya sendiri yang tengah gundah.

Skena awal “Pada Suatu Rumah” menceritakan seorang anak perempuan (Sekar Sari) yang pulang menuju pelukan sang ayah (Iwan Dadijono). Pulang selalu terasa menyenangkan.

Apalagi ke rumah yang senantiasa dibangun dengan rasa nyaman. Sudah sangat lama sang anak perempuan tak pulang ke rumah.

Dialog muncul via koreografi dan simbol. Foto: Sem Bagaskara
Dialog muncul via koreografi dan simbol. Foto: Sem Bagaskara
Kapal-kapal dari kertas yang banyak terlihat di sekitar panggung menjadi secercah petunjuk bahwa sang anak telah lama pergi merantau membelah samudera guna menimba ilmu.

Ia kini tak cuma bisa melagukan “Tak Lela Ledhung” dengan cengkok Jawa, tapi juga dengan gaya ala barat. Khazanah ilmu bertambah, tapi sang anak malah tiba-tiba gundah. 

Rasa itu mengikuti aura bahagia ketika berjumpa dengan ayah tercinta. Ayah terkejut dengan kepulangan buah hatinya.

Tapi, si buah hati juga galau karena mendapati Ayahnya sakit, cukup serius. Dialog yang terekam lewat simbol dan koreografi menarik pun muncul.

Pada suatu skena, Sekar menginjak-injak bantal dengan lincahnya. Ia juga melempar celana dalam ke atas genteng rumahnya, dengan harapan agar hujan badai bisa segera berhenti.

Budaya Jawa adalah soal etika dan unggah-ungguh. Menginjak bantal akan dianggap sebagai tindakan tak sopan.

Bantal sejatinya diperuntukkan untuk kepala bersandar, bukan kaki. “Pada Suatu Rumah” mencoba mendekonstruksi hal tersebut.

Sekar sedang mencoba menjadi “tidak sopan” kepada ayahnya yang sakit. Tujuannya jelas untuk kebaikan dan kesehatan sang ayah.

Sikap itu muncul karena sang ayah kadang terlalu santai dan sering menyepelekan sakitnya. Sebagai anak, Sekar punya kewajiban mengingatkan, tanpa sekalipun membuang norma bernama respek.

“Pada prinsipnya rumah harus dibangun dengan rasa nyaman,” ujar Sekar dalam sesi tanya jawab usai pertunjukkan.

Bukan sekadar rumah. Tapi rumah yang nyaman. Agar nyaman dia harus dipenuhi asap mengepul dari dapur, diiringi suara sengit perdebatan dan ketidaksetujuan, atau dilempari celana dalam supaya tidak mengkerut karena kehujanan.

Seperti kata Sekar, rumah merupakan wujud konstruksi mimpi, mitos, kerinduan, serta harapan. Fragmen-fragmen yang ditampilkan dalam pementasan “Pada Suatu Rumah” terbilang begitu bias.

Penonton dibuat sibuk menerka dan menebak makna, karena memang tak ada sinopsis cerita yang dibagikan. Pengunjung hanya diberikan gelang warna hijau bertuliskan “Penikmat Seni” kala memasuki area Galeri Indonesia Kaya.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
“Saya sengaja membuat cerita yang multiinterpretatif. Karena saya ingin mengajak Anda sekalian merasa, bukan hanya melihat,” kata Sekar yang menyebut “Pada Suatu Rumah” adalah wujud nyata dari curahan hatinya .

Sekar hari itu sukses membuat penonton untuk tak hanya sekadar menjadi penikmat seni, tapi juga pelaku. Semua orang punya rumah dan jelas memiliki pemaknaan serta konsep berbeda tentang tempat tinggal yang senantiasa mereka rindukan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun