“Tak lela lela lela ledhung, cep menenga aja pijer nangis. Anakku sing ayu rupane, yen nangis ndhak ilang ayune."
Malam sunyi pecah oleh tangisan bayi. Namun, bising rengekan hanya berlangsung sesaat.
Bayi mungil tenang lagi, terbius oleh nyanyian “Tak Lela Ledhung” yang mengalun bak mantra sakti.
Lagu yang sama dinyanyikan oleh Sekar Sari dalam pementasan tari bertajuk “Pada Suatu Rumah” di Galeri Indonesia Kaya, Sabtu (12/11/16). Sekar yang memenangi penghargaan artis pendatang baru terbaik Indonesian Movie Actors Awards 2016 atas perannya dalam film SITI, bernyanyi memakai cengkok Jawa pada bait-bait awal.
Nuansa barat kemudian sedikit terasa di bait berikut, walau lirik yang dilagukan tetap dalam bahasa Jawa. Lantunan suara Sekar berlatar kord piano Gardika Gigih yang berubah lebih nge-pop.
Sekar tak menggendong bayi. Ia tak sedang berupaya menenangkan siapa-siapa, kecuali hatinya sendiri yang tengah gundah.
Skena awal “Pada Suatu Rumah” menceritakan seorang anak perempuan (Sekar Sari) yang pulang menuju pelukan sang ayah (Iwan Dadijono). Pulang selalu terasa menyenangkan.
Apalagi ke rumah yang senantiasa dibangun dengan rasa nyaman. Sudah sangat lama sang anak perempuan tak pulang ke rumah.
Ia kini tak cuma bisa melagukan “Tak Lela Ledhung” dengan cengkok Jawa, tapi juga dengan gaya ala barat. Khazanah ilmu bertambah, tapi sang anak malah tiba-tiba gundah.
Rasa itu mengikuti aura bahagia ketika berjumpa dengan ayah tercinta. Ayah terkejut dengan kepulangan buah hatinya.
Tapi, si buah hati juga galau karena mendapati Ayahnya sakit, cukup serius. Dialog yang terekam lewat simbol dan koreografi menarik pun muncul.
Pada suatu skena, Sekar menginjak-injak bantal dengan lincahnya. Ia juga melempar celana dalam ke atas genteng rumahnya, dengan harapan agar hujan badai bisa segera berhenti.
Budaya Jawa adalah soal etika dan unggah-ungguh. Menginjak bantal akan dianggap sebagai tindakan tak sopan.
Bantal sejatinya diperuntukkan untuk kepala bersandar, bukan kaki. “Pada Suatu Rumah” mencoba mendekonstruksi hal tersebut.
Sekar sedang mencoba menjadi “tidak sopan” kepada ayahnya yang sakit. Tujuannya jelas untuk kebaikan dan kesehatan sang ayah.
Sikap itu muncul karena sang ayah kadang terlalu santai dan sering menyepelekan sakitnya. Sebagai anak, Sekar punya kewajiban mengingatkan, tanpa sekalipun membuang norma bernama respek.
“Pada prinsipnya rumah harus dibangun dengan rasa nyaman,” ujar Sekar dalam sesi tanya jawab usai pertunjukkan.
Bukan sekadar rumah. Tapi rumah yang nyaman. Agar nyaman dia harus dipenuhi asap mengepul dari dapur, diiringi suara sengit perdebatan dan ketidaksetujuan, atau dilempari celana dalam supaya tidak mengkerut karena kehujanan.
Seperti kata Sekar, rumah merupakan wujud konstruksi mimpi, mitos, kerinduan, serta harapan. Fragmen-fragmen yang ditampilkan dalam pementasan “Pada Suatu Rumah” terbilang begitu bias.
Penonton dibuat sibuk menerka dan menebak makna, karena memang tak ada sinopsis cerita yang dibagikan. Pengunjung hanya diberikan gelang warna hijau bertuliskan “Penikmat Seni” kala memasuki area Galeri Indonesia Kaya.
Sekar hari itu sukses membuat penonton untuk tak hanya sekadar menjadi penikmat seni, tapi juga pelaku. Semua orang punya rumah dan jelas memiliki pemaknaan serta konsep berbeda tentang tempat tinggal yang senantiasa mereka rindukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H