Tapi, si buah hati juga galau karena mendapati Ayahnya sakit, cukup serius. Dialog yang terekam lewat simbol dan koreografi menarik pun muncul.
Pada suatu skena, Sekar menginjak-injak bantal dengan lincahnya. Ia juga melempar celana dalam ke atas genteng rumahnya, dengan harapan agar hujan badai bisa segera berhenti.
Budaya Jawa adalah soal etika dan unggah-ungguh. Menginjak bantal akan dianggap sebagai tindakan tak sopan.
Bantal sejatinya diperuntukkan untuk kepala bersandar, bukan kaki. “Pada Suatu Rumah” mencoba mendekonstruksi hal tersebut.
Sekar sedang mencoba menjadi “tidak sopan” kepada ayahnya yang sakit. Tujuannya jelas untuk kebaikan dan kesehatan sang ayah.
Sikap itu muncul karena sang ayah kadang terlalu santai dan sering menyepelekan sakitnya. Sebagai anak, Sekar punya kewajiban mengingatkan, tanpa sekalipun membuang norma bernama respek.
“Pada prinsipnya rumah harus dibangun dengan rasa nyaman,” ujar Sekar dalam sesi tanya jawab usai pertunjukkan.
Bukan sekadar rumah. Tapi rumah yang nyaman. Agar nyaman dia harus dipenuhi asap mengepul dari dapur, diiringi suara sengit perdebatan dan ketidaksetujuan, atau dilempari celana dalam supaya tidak mengkerut karena kehujanan.
Seperti kata Sekar, rumah merupakan wujud konstruksi mimpi, mitos, kerinduan, serta harapan. Fragmen-fragmen yang ditampilkan dalam pementasan “Pada Suatu Rumah” terbilang begitu bias.
Penonton dibuat sibuk menerka dan menebak makna, karena memang tak ada sinopsis cerita yang dibagikan. Pengunjung hanya diberikan gelang warna hijau bertuliskan “Penikmat Seni” kala memasuki area Galeri Indonesia Kaya.