Mohon tunggu...
ahmad hanif
ahmad hanif Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kejadian di Pinggir Jalan

27 Oktober 2016   14:01 Diperbarui: 27 Oktober 2016   14:11 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kedua: Pentingnya Menjaga Mulut

Memang mengeluarkan kata-kata mudah sekali. Tapi tentu tak semudah menerima konsekwensi yang muncul. Seperti kejadian adu mulut antar pengendara diatas. Penyebab awalnya padahal hanya teriakan yang tak jelas. Kalau saja orang itu diam, tidak mengeluarkan teriakan, tentu tidak akan terjadi adu mulut itu. Tapi mungkin karena didasari tidak tahannya mulut untuk berkomentar, ya sudah. Akhirnya pengendara lain merasa tersinggung, dan berlanjut menanggapi teriakan orang tadi. Hasilnya adu mulut itu tidak dapat dihindar.

Pepatah mengatakan, “Mulutmu Harimaumu”. Mulut yang tidak terkendali seakan menjadi harimau yang menerkam dan melukai pemiliknya.

Kenapa Allah membuat satu mulut dan dua telinga? Karena memang didesain untuk lebih banyak mendengar dari pada banyak bicara.  

Mulut bahkan bisa menjadi cerminan isi dari hati kita. Pepatah mengatakan, “Tong kosong nyaring bunyinya”. Mengibaratkan  orang yang banyak bicara yang tak bermanfaat, kwalitasnya tidak ada.

Perhatikanlah burung elang. Tidak banyak bicara, tapi mudah menyergap mangsanya. Seekor burung dengan suara yang bagus, mudah menjadi incaran empuk para pemburu. Mudah ditemukan karena suaranya.

Itulah dua hal yang perlu kita tanamkan dan kita jaga. Pentingnya menahan amarah, dan pentingnya menjaga mulut. Dua macam itu adalah refleksi dari sikap sabar. Memiliki sifat sabar banyak sekali yang akan dituai. Diantaranya mampu mengendalikan amarah dan perkataan yang sia-sia. Terkadang orang yang melampiaskan amarahnya seakan menjadi pemenang. Tapi belum tentu dia menang mengendalikan amarahnya. Dan terkadang mudah mengucapkan segala perkataan, tapi belum tentu mudah menerima konskwensi yang muncul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun